Ketika Tetamu Allah
Dijamu Raja
KH Zainul Arifin dan
Menteri Agama KH Masykur melakukan pembicaraan formal kenegaraan dengan Wakil
Perdana Menteri Kerajaan Arab Saudi di istana Riyadh 1955
Wakil Perdana Menteri
Kabinet Ali Sastroamijoyo I atau Kabinet Ali-Arifin (1953-1955), KH Zainul
Arifin dan Menteri Agama KH Masykur mendampingi Presiden Sukarno melakukan
kunjungan kenegaraan sekaligus melaksanakan ibadah haji ke Arab Saudi
dilanjutkan kunjungan ke Mesir selama 18 Juli hingga 4 Agustus 1955. Muhibah
tersebut merupakan catatan bersejarah tersendiri, bukan saja karena bertepatan
dengan haji akbar di mana puncak pelaksanaan ibadah wukuf pada hari Arafah 9
Dzulhijjah jatuh pada hari Jumat, melainkan karena perjalanan dilangsungkan
tidak lama setelah berlangsungnya Konferensi Asia Afrika di Bandung yang
mencetuskan Dasa Sila Bandung.
Konferensi
negara-negara baru merdeka Asia-Afrika yang dilangsungkan di tengah-tengah
berlangsungnya perang dingin antara kubu AS dan kubu Uni Soviet itu memang
mendapat perhatian internasional. Apalagi dengan berkembangnya isu untuk
mendirikan kubu tengah yang kelak dikenal sebagai Gerakan Non-Blok.
Shalat dalam Kabah
Di Arab Saudi
rombongan kenegaraan diterima oleh Raja Saud bin Abdul Aziz, raja kedua Saudi
yang merupakan putra pendiri kerajaan Raja Abdul Aziz bin Saud yang wafat dua
tahun berselang. Raja Saud menemani sendiri rombongan presiden melaksanakan
ibadah haji sesuai dengan tradisi kerajaan. Ketika melaksanakan ibadah Sa'i,
lari-lari kecil antara bukit Marwah dan Safa Sukarno sempat memberikan usulan
agar kawasan ibadah diperbaiki dan dibersihkan dari para pedagang yang kala itu
masih berbaur dengan jamaah yang sedang beribadah.
Usulan tersebut
mendapat perhatian raja yang memang sangat gandrung memperbaiki sarana-sarana
ibadah haji. Zainul Arifin juga menceritakan kepada keluarganya pengalaman
melakukan upacara pencucian Kabah bersama raja dilanjutkan dengan memasuki
bangunan Kabah dan melaksanakan shalat sunah dua rakaat di dalamnya. Jamaah
haji biasa melakukannya di Hijir Ismail yang dipandang sebagai bagian dari
dalam bangunan Kabah.
Setelah itu, sebagai
cindera mata Raja Saudi memotong-motong kiswah atau kain penutup Kabah dibikin
dari tenunan kain sutera berhiaskan kaligrafi terbuat dari 120kg kilo emas
murni dan berpuluh-puluh kilogram perak. Potongan-potongan kiswah
tersebut kemudian dibagikan kepada tamu-tamu kerajaan. Zainul sendiri kemudian membagi
potongan kiswah yang diterimanya dari Raja Saud menjadi empat bagian dan
menyerahkan keempat potongan masing-masing kepada ibundanya, Siti Baiyah
Nasution, kedua istrinya: Hamdanah dan Quraisin serta menyimpan satu untuk
dirinya sendiri.
Hadiah Pedang Emas
Khusus kepada Arifin,
Raja Saud juga memberikan sebilah pedang tradisional Arab Saudi berlapis emas,
Zambea. Pedang ini pada bendera nasional Arab Saudi digambarkan tepat di bawah
kalimat tauhid warna putih berlatar warna hijau polos. Zambea melambangkan
keadilan. Konon, di zaman sekarang ini pedang Zambea hanya digunakan untuk
pelaksanaan eksekusi pemenggalan kepala pesakitan yang dijatuhi hukuman mati.
Zambea yang diterima Zainul hingga kini masih disimpan oleh keluarga salah
seorang anaknya, Hj Ratna Qomariah A Sutjipto.
Di Madinah, rombongan
Presiden Sukarno diberi kehormatan untuk melakukan upacara inagurasi menandai
selesainya pemugaran Masjid Nabawi yang telah dimulai sejak Raja Saud bertahta
pada 1953. Menurut sejarahnya masjid terpenting kedua di Arab Saudi setelah
Masjidil Haram di Mekkah ini dibangun sendiri setelah Muhammad SAW hijrah ke
Madinah. Selama tujuh bulan rasullah menyelesaikan masjid seluas 1.050 m2
tersebut. Sejalan dengan berkembangnya agama Islam, Muhammad SAW memperluas Masjid
Nabawi menjadi 2.475 m2 pada tahun 629 Masehi. Inilah pemugaran pertama mesjid.
Selanjutnya, di era sahabat perluasan masjid dilakukan oleh masing-masing Umar
bin Khatab pada 638 dan Usman bin Affan yang melakukannya pada 650.
Pemugaran-pemugaran sesudahnya dilakukan oleh para penguasa Madinah
masing-masing Walid bin Abdul Malik, Muhammad Al-Mahdi, Sultan Ashraf Qaytaby
dan Sultan Ottoman Abdul Majid. Peresmian yang dilakukan Raja Saud beserta
tamu-tamunya dari Indonesia pada 1955 merupakan perluasan masjid yang kedelapan
dengan luas keseluruhan menjadi 163.260 m2.
KH Masykur
menceritakan pengalaman ini dipenuhi rasa haru dalam buku biografinya, KH
Masykur: Sebuah Biografi yang ditulis oleh Subagyo IN.
Zainul Arifin dalam
kapasitasnya sebagai wakil perdana menteri juga melakukan kunjungan kenegeraan
kepada putra mahkota kerajaan yang memang memangku jabatan Wakil Perdana
Menteri Saudi, Pangeran Faisal. Zainul didampingi Masykur beraudiensi dengan
wakil perdana menteri di istananya di Riyadh. Pangeran Faisal adalah adik
berlainan ibu dari Raja Saud. Ketika kunjungan kenegeraan berlangsung, hubungan
antara Saud dan Faisal masih baik. Namun sejarah kemudian mencatat, hubungan
keduanya bakal memburuk hingga akhirnya Raja Saud digulingkan oleh Pangeran
Faisal pada 28 Maret 1964.
Sejak itu Saud hidup
terasing di Eropa hingga mangkatnya pada 23 Februari 1969 di Athena, Yunani.
Faisal sendiri, kemudian menjadi raja Arab Saudi hingga akhirnya dia pun tewas
ditembak oleh keponakannya sendiri yang juga bernama Faisal (bin Musaid) pada
25 Maret 1975.
Di Negeri Firaun
Dari Arab Saudi
kunjungan dilanjutkan ke Mesir, di mana rombongan diterima oleh Presiden Gamal
Abdel Nasser. Nasser merupakan presiden kedua Mesir yang oleh sejarah dicatat
sebagai politikus terpenting dunia Arab dan dunia berkembang. Ketika menghadiri
Konferensi Asia Afrika di Bandung, dia sempat bersama dengan Sukarno, PM India
Nehru dan Presiden Yugoslavia Tito membahas pembentukan Gerakan Non-Blok.
Gerakan tersebut akhrinya resmi berdiri pada 1961 di Belgrade, Yugoslavia.
Nasser menyambut
rombongan Presiden Sukarno dengan hangat dan sangat antusias. Selain melakukan
kunjungan ke Piramid, rombongan juga disuguhi acara-acara kesenian tradisional
khas Mesir. Kunjungan Sukarno beserta rombongan berakhir pada 4 Agustus
1955.
Begitu tiba kembali
di tanah air, Wapres Hatta sedang sibuk menyiapkan pembentukan Kabinet
Burhanuddin Harahap sebagai pengganti Kabinet Ali-Arifin yang bubar dua hari
setelah rombongan presiden berangkat ke Tanah Suci. []
Ario Helmy, KH Zainul
Arifin Pohan Panglima Santri Ikhlas Membangun Negeri” (2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar