Sayyidah Nafisah,
Ulama Perempuan Guru Imam Syafi’i
Ini kisah tentang
perempuan suci, cicit dari Nabi Muhammad Saw. Ia juga seorang ilmuwan terkemuka
di masanya, sehingga Imam Syafi’i pun berguru padanya. Sayyidah Nafisah (145 H
-208 H), itulah namanya. Makamnya di Kairo, Mesir, sampai sekarang masih
dipenuhi para peziarah.
Di luar masjid
Sayyidah Nafisah, dijual buku yang mengupas biografi perempuan yang
disebut-sebut sebagai sumber pengetahuan keislaman yang berharga (Nafisah
al-‘Ilm), pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan
asketis). Bahkan, sebagian orang mengatagorikannya sebagai wali perempuan
dengan sejumlah keramat.
Sejak kecil, Sayyidah
Nafisah sudah hafal Al-Qur’an dan setiap selesai membaca Al-Qur’an beliau
selalu berdoa, “Ya Allah, mudahkanlah aku untuk berziarah ke makam Nabi
Ibrahim”. Ia memahami bahwa Nabi Ibrahim adalah bapak moneteisme sejati,
sekalligus bapak Nabi Muhammad lewat jalur Nabi Ismail yang notabene keturunan
Nabi Ibrahim. Sedangkan Sayyidah Nafisah sendiri adalah keturunan dari Nabi
Muhammad.
Dengan mengunjungi
makam Nabi Ibrahim, boleh jadi ia berharap menarik benang merah perjuangan para
leluhurnya. Ketika Allah mengabulkan doanya dan ia bisa berziarah ke makam
kakek moyangnya, Nabi Ibrahim, terjadilah peristiwa spiritual (yang sebaiknya
tidak perlu diceritakan di sini).
Ketika ia berusia 44
tahun, ia tiba di Kairo pada 26 Ramadhan 193 H. Kabar kedatangan perempuan yang
luar biasa ini telah menyebar luas. Ia pun disambut oleh pebduduk Kairo yang
merasa bersyukur didatangi oleh Sayyidah Nafisah. Ratusan orang tiap hari datang
hendak menemuinya. Dari mulai berkonsultasi, meminta doa ataupun mendengar
nasihat dan ilmu darinya.
Bahkan, dikabarkan
banyak yang sampai kamping bermalam di luar kediamannya, menunggu kesempatan
untuk bisa bertemu. Lambat laun, Sayyidah Nafisah merasa waktunya tersita
melayani umat. Ia memutuskan untuk meninggalkan Kairo dan kembali ke Madinah
agar bisa berdekatan dengan makam kakeknya, Nabi Muhammad Saw.
Tapi, penduduk Kairo
keberatan dan memelas agar Sayyidah Nafisah membatalkan keputusannya untuk mudik
ke Madinah. Gubernur Mesir turun tangan. Ia melobi Sayyidah Nafisah untuk
bertahan di Kairo. Gubernur menyediakan tempat yang lebih besar baginya,
sehingga kediamannya bisa
menampung umat lebih
banyak. Gubernur juga menyarankan agar ia menerima umat hanya pada hari Rabu
dan Sabtu saja. Di luar waktu itu, ia bisa kembali berkhalwat beribadah
menyendiri.
Gubernur menunggu
beberapa saat. Sementara Sayyidah Nafisah terlihat diam, menunggu petunjuk
Allah. Akhirnya, setelah mendapat izinNya, ia pun menerima tawaran Gubernur dan
memutuskan tinggal di Kairo sampai ajal menjemputnya.
Sebelum tiba di
Mesir, Imam al-Syafi’i sudah lama mendengar ketokohan perempuan ulama ini dan
mendengar pula bahwa banyak ulama yang datang ke rumahnya untuk
mendengarkan pengajian
dan ceramahnya. Al-Syafi’i datang ke kota ini lima tahun sesudah Sayidah
Nafisah.
Beberapa waktu
kemudian, al-Syafi’i meminta bertemu dengannya di rumahnya. Sayidah Nafisah
menyambutnya dengan seluruh kehangatan dan kegembiraan. Perjumpaan itu dilanjutkan
dengan pertemuan-pertemuan yang sering. Masing-masing saling mengagumi tingkat
kesarjanaan dan intelektualitasnya.
Bila al-Syafi’i
berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, ia mampir ke rumahnya. Begitu
juga ketika pulang kembali ke rumahnya. Dikabarkan bahwa al-Syafi’i adalah
ulama yang paling sering bersama Sayyidah Nafisah dan mengaji kepadanya, justru
dalam status Imam al-Syafi’i sebagai tokoh besar dalam bidang usul al-fiqh dan
fiqh.
Kita tahu bahwa
sebelum datang ke Mesir, Imam al-Syafi’i sudah terlebih dahulu terkenal dan
harum namanya di Baghdad. Fatwa-fatwa Imam al-Syafi’i di Baghdad dikenal
sebagai ‘qaul qadim’, sedangkan fatwa beliau di Kairo dikategorikan sebagai
‘qaul jadid’. Pada Ramadhan, al-Syafi’i juga sering shalat Tarawih bersama
Sayyidah Nafisah di masjid ulama perempuan ini.
Begitulah kedekatan
kedua orang hebat ini. Manakala Imam al-Syafi’i sakit, ia mengutus sahabatnya
untuk meminta Sayidah Nafisah mendoakan bagi kesembuhannya. Begitu sahabatnya
kembali, sang Imam tampak sudah sembuh. Ketika dalam beberapa waktu kemudian
al-Syafi’i sakit parah, sahabat tersebut dimintanya kembali menemui Sayyidah
Nafisah untuk keperluan yang sama, meminta didoakan.
Kali ini, Sayyidah
Nafisah hanya mengatakan, “Matta’ahu Allah bi al-Nazhr Ila Wajhih al-Karim”
(Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa denganNya). Mendengar
ucapan sahabat sekaligus gurunya itu, al-Syafi’i segera paham bahwa waktunya
sudah akan tiba.
Al-Imam kemudian
berwasiat kepada murid utamanya, al-Buwaithi, meminta agar Sayyidah Nafisah
menyalati jenazahnya jika kelak dirinya wafat. Ketika al-Syafi’i kemudian
wafat, jenazahnya dibawa ke rumah sang ulama perempuan tersebut untuk
dishalatkan.
Menurut KH. Husein
Muhammad, di antara nasihat Sayyidah Nafisah kepada para muridnya adalah:
1. Jika kalian ingin
berkecukupan, tidak menjadi miskin, bacalah QS. al-Waqi’ah [56].
2. Jika kalian ingin
tetap dalam keimanan Islam, bacalah QS. al-Mulk [67].
3. Jika kalian ingin
tidak kehausan pada hari dikumpulkan di akhirat, bacalah QS. al-Fatihah [1].
4. Jika kalian ingin
minum air telaga Nabi di akhirat, maka bacalah QS. al-Kautsar [108].
Sayyidah Nafisah
adalah fakta sejarah bahwa seorang perempuan bisa menjadi seorang ulama
tersohor, bahkan menjadi guru bagi seorang Imam Syafi’i. Kita merindukan
munculnya Sayyidah Nafisah berikutnya di dunia Islam. []
Nadirsyah Hosen, Rais
Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama, Australia dan New Zealand
Tidak ada komentar:
Posting Komentar