Kamis, 24 Juni 2021

(Do'a of the Day) 14 Dzulqa'dah 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Allaahumma innii as'aluka maa qadhaita lii min amrin an taj'ala 'aaqibatahuu rasyada.

 

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu apa yang Engkau putuskan kepadaku tentang sesuatu yang Kau jadikan berakibat baik.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

(Ngaji of the Day) Tiga Hak Tubuh dan Cara Memenuhinya (2)

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah paparkan satu hak tubuh yang kerap kali diabaikan banyak orang, tanpa mengecualikan diri saya sendiri, yaitu tentang hak tubuh untuk mendapatkan asupan makanan yang halal dan bergizi (kitab Manba’ussa’âdah karya Kiai Faqihuddin Abdul Qadir menyebutnya, at-tagadzi bi al-halal at-thayyib). Dan, tulisan kali ini, akan membahas tentang hak tubuh untuk memperoleh porsi istirahat yang cukup. Dalam Manba’ussa’âdah pada fashal pertama, pembahasan ini terdapat dalam poin kedua dari tiga poin tentang hak-hak tubuh.

 

Sebelum benar-benar masuk, sekadar mengingatkan kisah sahabat Salman al-Farisi dan Abu Darda’ yang diabadikan dalam kitab-kitab hadits induk. Salman al-Farisi berkali-kali menahan niat baik Abu Darda’ untuk mendirikan shalat tahajud sejak awal malam. Setiap kali beranjak dari tempat tidur, Salman pun menyarankannya untuk tidur lagi. Sampai pada sepertiga malam, ia sendiri yang membangunkan saudaranya itu untuk beribadah kepada Allah . Dilihat sekilas, sahabat Salman cukup aneh dengan menyarankan saudaranya tidur ketika hendak sembahyang.

 

Namun, baginda Nabi malah membenarkan nasihat sahabat Salman, bahwa tubuh juga memiliki hak yang wajib dipenuhi selain hak Allah dan keluarga (relasi sosial). Itu artinya, dibandingkan apa yang dilakukan Abu Darda’ sepanjang itu, jauh lebih baik saran saudranya, Salman. Itu juga berarti, agama ini tidak melulu tentang shalat, puasa, dan ibadah vertikal lainnya, tetapi mengurusi soal kesehatan, relasi sosial, politik, ekonomi dan seterusnya secara serius. Dalam hal ini, kiai Faqih pertama-tama merujuk kepada Al-Qur’an surah al-Furqan ayat 47. Allah berfirman:

 

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِبَاسًا وَّالنَّوْمَ سُبَاتًا وَّجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا

 

Artinya, “Dan, Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha.”

 

Terkait kalimat an-nauma subata dan an-nahara nusyura, Kang Faqih mengutip Tafsir Ibnu Katsir (juz 3, hal. 288), berikut redaksinya:

 

{والنوم سباتا} أي قاطعاً للحركة لراحة الأبدان, فإن الأعضاء والجوارح تكل من كثرة الحركة في الانتشار بالنهار في المعاش, فإذا جاء الليل وسكن, سكنت الحركات فاستراحت, فحصل النوم الذي فيه راحة البدن والروح معاً {وجعل النهار نشورا} أي ينتشر الناس فيه لمعايشهم ومكاسبهم وأسبابهم

 

Artinya, “an-nauma subata, maknanya, menghentikan diri dari berbagai aktivitas guna merehatkan badan. Sebab, seluruh anggota tubuh-dengan banyaknya aktivitas di siang hari-pasti payah dan letih. Maka, saat malam tiba, dan si empunya berhenti, anggota tubuh pun merasakan kenyamanan sampai ia tertidur. Sehingga, jasmani dan rohani berada dalam ketenangan sepanjang malam. Adapun an-nahara nusyura maksudnya, umat manusia bisa kembali beraktivitas di siang hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pelbagai macam usaha.”

 

Terkait ayat di atas, kiai Faqih menyebutkan beberapa manfaat dan kegunaan tidur selain kebutuhan hewani kita. Di antaranya, mampu menyintesis nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan otak, sehingga ia mampu kembali bekerja dengan sempurna. Selain itu, juga berguna untuk menyatukan kembali daya nalar sehat yang sempat pecah karena kepayahan. Setelah terjaga, otak kita sudah siap menyelesaikan berbagai tugas dan persoalan.

 

Terlampau ekstrem, dalam hal apapun memang tidak baik. Jangankan urusan duniawi murni, urusan ibadah dan menyembah pun-yang mana merupakan tujuan kita diciptakan-tidak boleh ekstrem. Bukan bermaksud menyampingkan sujud dan sembah, tapi karena itu bukanlah satu-satunya. Bahkan, untuk meraih kualitas penghambaan yang tinggi, butuh media-media seperti raga, jiwa, dan pikiran yang sehat. Dalam Manba’ussa’âdah (hal. 12), kiai Faqih menulis Hadits Rasulullah yang berbunyi:

 

إن هذا الدين متين فأوغل فيه برفق ولا تُبغض إلى نفسك عبادة الله تعالى فإن المنبتّ لا أرضا قطع ولا ظهرا أبقى

 

Artinya, “Sungguh, agama ini sangatlah kokoh, maka masuklah (selami) agama dengan ramah dan lembut, jangan engkau siksa dirimu karena ibadah kepada Allah . Sebab, hal ini laiknya orang yang terpisah dari rombongan (dalam safar yang jauh), ia tak lagi dapat melanjutkannya, juga tiada kendaraan yang dapat ditunggangi.”

 

Kebutuhan istirahat bagi tubuh demi sebuah kesehatan dan keafiatan, harus dipenuhi secara sempurna. Kendatipun, tidak selalu hanya dengan tidur. Tetapi bisa ditambah dengan kegiatan-kegiatan yang menghibur, seperti kumpul-kumpul dalam obrolan santai ditemani kopi dan rokok, misalnya (bagi yang menikmati), bisa dengan beryoga, membaca Al-Qur’an, menyenandungkan syair-syair pujian kepada Rasulullah, bahkan lagu-lagu yang memberi energi positif lainnya. Semua itu sah saja dilakukan, selama masih dalam garis kehalalan menurut syariat.

 

Al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin (juz 2, hal. 31) pada pembahasan Kitabu Adab an-Nikah, menjelaskan tentang lima faedah pernikahan. Tepat pada poin ketiga, ia menulis hal senada dengan pembahasan di sini. Di mana, dalam relasi pernikahan, sepasang Pasutri--melalui pandangan kasih--sayang dan cumbu ria yang dilakukan dengan pasangan-akan sangat mudah mendapatkan kenyamanan dan ketentraman dalam jiwa dan hati mereka. Tentunya, itu menjadi pupuk terampuh untuk menumbuhkan semangat beribadah kepada Allah . Berikut redaksinya:

 

الفائدة الثالثة ترويح النفس وإيناسها بالمجالسة والنظر والملاعبة إراحة للقلب وتقوية له على العبادة فإن النفس ملول وهي عن الحق نفور لأنه على خلاف طبعها فلو كلفت المداومة بالإكراه على ما يخالفها جمحت وثابت وإذا روحت باللذات في بعض الأوقات قويت ونشطت

 

Artinya, “Faedah (nikah) ketiga, yaitu menyegarkan jiwa dan membuatnya tentram dengan bersenda gurau, memberi tatapan kasih-sayang dan bercumbu ria dengan pasangan. Hal itu, pastinya membuat hati berbunga dan bisa meningkatkan semangat ibadah kepada Allah . Karena sejatinya, jiwa itu bisa letih, dampaknya, ia lekas berpaling dari kebenaran. Sebab, kebenaran tidak lagi sejalan dengan tabiat jiwanya yang payah itu. Bila terus dibebani, jiwanya akan mogok dan penuh beban. Namun, jika sekali-kali disegarkan dengan hal-hal yang membahagiakan maka dia akan kembali kuat dan semangat.”

 

Jadi, kata kuncinya, segala bentuk refreshing dan penenang jiwa sebagaimana di atas, sekali-kali penting dilakukan selama tidak melanggar batas-batas keharaman.

 

Dalam pembahasan dan halaman yang sama, al-Ghazali mengutip penggalan Hadits riwayat Ibnu Hibban, Rasulullah bersabda:

 

لا يكون العاقل ظاعناً إلا في ثلاث تزود لمعاد أو مرمة لمعاش أو لذة في غير محرم

 

Artinya, “Seorang yang berakal sehat, tidak mungkin melakukan sesuatu kecuali untuk tiga hal; mempersiapkan bekal ukhrawinya, mereparasi kualitas hidupnya, dan mendapatkan kenikmatan pada sesuatu yang tidak diharamkan.”

 

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat baik untuk peningkatan wawasan intelektual maupun kualitas spiritual. Amin. Wallahu a’lam bisshawâb. []

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

(Ngaji of the Day) Tiga Hak Tubuh dan Cara Memenuhinya (1)

Masih sangat terang dalam ingatan bagaimana Rasulullah menyikapi persoalan dua sahabat yang dipersaudarakannya, Salman al-Farisi dan Abu Darda’ yang berselisih dalam amaliah. Sahabat Salman, ia beribadah (menunaikan hak-hak Allah) semampunya tanpa menyampingkan hak diri, keluarga, dan sosialnya. Lain dengan Abu Darda’ yang membangun hubungan vertikal dengan Allah secara ekstra tanpa peduli akan hak keluarga, sosial, bahkan dirinya sendiri.

 

Ceritanya, dalam Shahih al-Bukhari (Kitab al-Adab, pada bab Shun’i at-Tha’am wa at-Takalluf li ad-Dhaif, hadits ke 6139 (hal. 1125-1126)), Imam al-Bukhari menulis hadits riwayat Abu Juhaifah, bahwa sahabat Salman al-Farisi pernah berkunjung ke gubuk saudaranya, Abu Darda’. Di sana, ia mendapati Ummu Darda’ sedang dalam kegelisahan, mukanya murung dengan gaya berpakaian (style of dress) sehari-hari yang kusut. Mengetahui hal itu, Salman pun langsung bertanya apa gerangan yang menimpa istri saudaranya ini. Ummu Darda’ menjawab, Akhuka Abu ad-Darda’ laisa lahu hâjatun fid-dun-yâ, “Saudaramu itulah dalangnya, ia sama sekali tiada gairah urusi duniawinya,” jawabnya menyesali sikap sang suami.

 

Rupa-rupanya, Abu Darda’ adalah orang yang terlampau giat beribadah kepada Allah . Setiap harinya selalu berpuasa, malam-malamnya padat dengan ritual shalat sunnah, sampai tidak punya waktu untuk penuhi kewajibannya terhadap keluarga, sosial, dan dirinya. Ia sedang berada dalam candu ibadah (nasywatul ibadah) yang tinggi.

 

Ketika Abu Darda’ datang, dan menyiapkan makanan, lalu menyuguhkannya kepada Salman, ia pun menolak seraya mengatakan, “Saya tidak akan memakannya kecuali engkau juga turut makan bersamaku”. Dia yang hari itu berpuasa pun akhirnya membatalkan puasanya. Demikian juga saat hendak menunaikan shalat malam, berkali-kali ia beranjak, namun disuruh tidur kembali oleh sahabat Salman al-Farisi. Baru setelah tiba sepertiga malam, Salman membangunkan saudaranya, Abu Darda’ untuk shalat malam berjamaah.

 

Seusai shalat, ia berkata kepada Abu Darda’:

 

إن لربك عليك حقا ولنفسك عليك حقا ولأهلك عليك حقا فأعط كل ذي حق حقه

 

Artinya, “Sungguh, Tuhanmu memiliki hak yang harus kaupenuhi, dirimu memiliki hak yang harus kaupenuhi, keluargamu juga memiliki hak yang harus kaupenuhi, maka berikanlah hak mereka secara proporsional.”

 

Keesokan harinya, persoalan tersebut dihaturkan kepada baginda Nabi . Lalu bersabda, Shadaqa Salman, “Benar apa yang dikatakan Salman al-Farisi”. Dari sinilah kemudian para ulama seantero dunia, termasuk Kiai Faqihuddin Abdul Qadir—dalam fashal pertama kitab Manba’ussa’adah—menjelaskan tiga hak tubuh yang harus dipenuhi secara sempurna. Di antaranya, hak konsumsi makanan yang halal dan bergizi baik (at-taghadzi bi al-halal at-thayyib), hak atas istirahat yang cukup (akhdzu ar-rahah), dan hak menyalurkan hasrat seksual secara halal dan layak (talbiyyah al-gharizah al-jinsiyyah). Berikut penjelasannya.

 

Hak Konsumsi Makanan yang Halal dan Bergizi Baik (at-taghadzi bi al-halal at-thayyib)

 

Mengonsumsi makanan dan minuman halal dengan kualitas gizi yang baik secara tidak berlebihan adalah hak tubuh yang harus dipenuhi setiap orang. Anugerah sehat yang Allah berikan wajib dijaga dengan cara demikian. Mengingat, sebagian besar penyakit timbul dari makanan yang kita konsumsi. Penting dicatat, bahwa term ‘at-thayyib’ di sini, tidak untuk dipahami sempit yang berlaku bagi umat Islam saja. Melainkan juga untuk umat agama lain. Hal ini, bermula dari logika agama yang mustahil menganjurkan pemeluknya agar mengonsumsi sesuatu yang berbahaya bagi tubuh. Baik bahaya yang timbul dari kandungan bakteri makanan, atau bahaya secara sosial. Pasalnya, semua agama samawi mengajarkan bahwa mengusik ketenangan sosial merupakan laku biadab yang sangat dimurkai Tuhan. Karena itu, kita dilarang mencuri, merampok, dan lain-lain.

 

Terkait ini, Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 168 merespons:

 

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

 

Artinya, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

 

Imam Fakhruddin ar-Razi (604 H) dalam Mafâtîhul Ghaib (juz 5, hal. 3) menjelaskan makna dua kata kunci tersebut sebagai berikut:

 

فإن قوله (حلالا) المراد منه ما يكون جنسه حلالا، وقوله (طيبا) المراد منه لا يكون متعلقا به حق الغير فإن أكل الحرام وإن إستطابه الآكل فمن حيث يفضي إلى العقاب يصير مضرة ولا يكون مستطابا

 

Artinya, “Terma halal(an) dalam ayat di atas, bermakna suatu jenis makanan atau minuman yang memang halal (halal min dzatihima). Dan, kata thayyib(an) sendiri mengecualikan makanan atau minuman milik orang lain (tanpa izin mengonsumsinya). Oleh karena itu, kalau dikonsumsi, walaupun memiliki kandungan gizi yang baik, namun tetap tergolong tidak thayyib, karena dapat membuat Tuhan murka.”

 

Dari keterangan ini, lekas dicerna bahwa thayyib tidak hanya dimaknai baik dari sudut pandang gizi dan kesehatan jasmani, tetapi juga baik secara sosial. Salah satunya, bisa kita lihat dalam surah an-Nisa’ ayat 10, di mana Allah melarang keras orang yang memakan harta anak yatim secara zalim. Bahkan, tegas Allah menyatakan bahwa sebenarnya mereka menelan api, dan juga akan dimasukkan ke neraka sebagai ancamannya.

 

Menjaga tubuh tetap sehat, bukan hanya dengan menjaga kualitas makanan dan pola makan semata, tetapi, tentang porsi makan yang tak berlebihan harus pula dikondisikan. Terbiasa dengan porsi konsumsi yang berlebihan, sangat tidak baik bagi tubuh. Karena, secara tidak langsung, kita sedang membentuk pola makan yang tidak sehat. Teruntuk persoalan ini, Al-Qur’an tak kalah tegas menyikapinya sebagaimana kepada yang lain. Allah dalam surah al-A’raf ayat 31 bertitah:

 

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

 

Artinya, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

 

Dalam Manba’ussa’âdah (hal. 11) Kiai Faqih mengutip statemen Syekh Nawawi al-Bantani pada at-Tafsîr al-Munîr tentang israf yang dilarang syariat. Di sana dikatakan, Inna al-isrâf huwa al-ta’addi ila al-haram wa tahrîm al-halal wa al-ifrâth fi at-tha’âm, “Sesungguhnya, israf itu adalah melampaui batas keharaman, mengharamkan yang halal, dan berlebihan dalam konsumsi makanan.”

 

Lebih jelasnya, mari membaca kitab at-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqidah wa as-Syari’ah wa al-Manhaj (juz 7, hal. 15), masterpiece syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam bidang tafsir. Di sana dijelaskan:

 

ثم وضع الله ظابطا ليس في العبادة وحدها، وإنما في الأمور المعاشية المعتادة أيضا، وهو الأمر بتقوى الله، والاعتصام بحدود الله، أي فاتّقوا الله الذي آمنتم به في كل شؤون المعيشة والحياة من أكل وشرب ولباس ونساء وغيرها، ولا تتجاوزوا المشروع في تحليل ولا تحريم

 

Artinya, “Allah tidak saja membuat standarisasi dalam hal ibadah. Melainkan juga dalam pelbagai urusan kehidupan lainnya. Makna standarisasi untuk kedua hal ini, yaitu tentang urusan takwa kepada Allah dan memelihara diri dari batasan-batasan suci yang telah ditentukan. Secara tersirat (QS al-A’raf (31) di atas) menyampaikan, ‘Bertakwalah kepada Allah yang kalian imani dalam setiap lini kehidupan dan aktivitas yang dijalani; baik ketika makan, minum, berpakaian, relasi dengan perempuan (pasangan), dan lain-lain. Dan, janganlah melampaui batas dalam urusan penghalalan dan pengharaman.”

 

Jadi, menaruh atensi terhadap aturan-aturan Allah (hudûdullah) dalam hal ini, tak kalah penting dengan memelihara ibadah dan ketakwaan kita kepada-Nya. Dari sinilah kemudian kiai Faqih menulis statement-nya dalam Manba’ussa’âdah, bahwa setiap orang harus adil dalam menentukan apa dan berapa kadar makanan atau minuman yang dikonsumsinya. Karena, makanan dan pola makan yang tak sehat akan menciptakan pribadi, lingkungan dan ibadah yang tak sehat pula.

 

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bisshawâb. []

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Rabu, 23 Juni 2021

(Do'a of the Day) 13 Dzulqa'dah 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Allaahumma innii a'uudzu bika min syarri masta'aadzaka minhu 'abduka wa rasuuluka sayyidina muhammadun shallallaahu 'alaihi wa sallama.

 

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang dimohonkan perlindungannya oleh hamba dan Rasul-Mu, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

(Ngaji of the Day) Beberapa Ketentuan Kurban saat Terjadi Beda Waktu Hari Raya

Seiring adanya perbedaan mengenai sumber rujukan sebagai pedoman penetapan hari raya Idul Adha, umat Islam terkadang harus mengalami dilema mengenai waktu penyembelihan hewan kurban. Setidaknya ada dua kondisi yang mungkin terjadi di masyarakat mengenai hal itu, yaitu:

 

• Orang yang berkurban merayakan hari raya sama dengan jamaah masjid setempat

• Orang yang berkurban, merayakan hari raya berbeda dengan jamaah masjid setempat

 

Terhadap hal ini, dibutuhkan langkah penyikapan dalam bentuk tata laksana penyembelihan hewan kurban. Pertimbangan pokok dalam kondisi sedemikian rupa ini adalah memperhatikan kondisi pihak yang sedang berkurban.

 

Pertama, bagaimanapun juga bahwa ibadah kurban harus dilaksanakan memenuhi syarat dan ketentuan berkurban, khususnya terkait dengan waktu. Hewan kurban hanya sah dilakukan bila hewan tersebut disembelih pada tanggal 10, 11, 12 atau 13 Hijriah.

 

Nash yang menyatakan waktu penyembelihan dilakukan pada tanggal 10 Dzul Hijjah, di antaranya adalah hadits riwayat Imam Ahmad. Imam Ahmad meriwayatkan dari Buraidah radhiallahu anhu, dia berkata:

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ ، وَلا يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ ، فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

 

“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak berangkat untuk shalat Idul Fitri sebelum makan dan tidak makan pada hari Idul Adha kecuali setelah pulang (dari shalat), lalu beliau makan dari hewan kurbannya.”

 

Adapun nash yang menyatakan bahwa ibadah kurban bias dilaksanakan pada hari tasyriq, salah satunya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

 

كل منى منحر ، وكل أيام التشريق ذبح

 

“Semua Mina adalah tempat menyembelih (hadyu) dan semua hari tasyrik adalah waktu untuk menyembelih.”

 

Kedua, bila pihak yang berkurban mengikuti ketetapan hari raya pihak lain yang berbeda dengan masjid setempat, maka ketetapan waktu yang musti diikuti adalah menyesuaikan dengan 10 Hijriahnya pihak yang berkurban (mudlahhi). Panitia kurban dalam hal ini kedudukannya selaku wakil dari pihak mudlahhi.

 

ويجب على الوكيل موافقة ما عين له الموكل من زمان ومكان وجنس ثمن وقدر كالأجل والحلول وغيرها اودلت قرينة قوية من كلام الموكل اوعرف اهل ناحيته فإن لم يكن شيئ من ذلك لزمه العمل بالأحوط

 

“Wajib atas wakil melaksanakan pekerjaan sesuai dengan apa yang ditentukan kepadanya oleh pihak yang mewakilkan (muwakkil), mulai dari zaman, tempat, jenis, harga dan kadar, seperti tempo, waktu pelunasan, dan selainnya. Atau meminta bukti yang kuat terkait dengan kalamnya muwakkil, baik berupa pengetahuan penduduk sekitar muwakkil. Apabila hal ini tidak ditemukan juga, maka ia berkewajiban melakukan pekerjaan yang dilakukan dengan prinsip hati-hati.” (Bughyatu al-Mustarsyidin, halaman 250)

 

Ketiga, penyembelihan hewan kurban yang dilakukan sebelum pihak yang berkurban memasuki tanggal 10 Hijriah yang diikutinya, menjadikan sembelihan hewan kurban tersebut menjadi tidak sah.

 

ومتى خالف الوكيل الموكل فى بيع ماله بأن باعه الوجه المأذون فيه أو فى الشراء بعينه بأن اشترى له بعين ماله على وجه لم يأذن له فيه فتصرفه باطل لأن الموكل لم يرض بخروج ملكه على ذلك الوجه

 

“Ketika seorang wakil bertindak tidak sesuai dengan kehendak orang yang mewakilkan dalam menjualbelikan hartanya, seperti jika menjual barang yang diwakilkan padanya, atau membelikannya sesuatu menurut cara yang tidak diizinkan kepadanya, maka pengelolaannya wakil dalam konteks ini adalah bathil (batal). Sebab pihak muwakkil (orang yang mewakilkan/berkurban) tidak ridha dengan cara yang dilakukannya yang keluar dari apa yang sudah ditentukannya.” (Mughni al-Muhtaj, Juz 2, halaman 229)

 

Keempat, penyembelihan hewan kurban harus memastikan bahwa pihak yang berkurban sudah memasuki tanggal 10 Hijriah dari bulan Dzulhijjah.

 

اودلت قرينة قوية من كلام الموكل اوعرف اهل ناحيته فإن لم يكن شيئ من ذلك لزمه العمل بالأحوط

 

“Atau meminta bukti yang kuat terkait dengan kalamnya muwakkil, baik berupa pengetahuan penduduk sekitar muwakkil. Apabila hal ini tidak ditemukan juga, maka ia berkewajiban melakukan pekerjaan yang dilakukan dengan prinsip hati-hati.” (Bughyatu al-Mustarsyidin, halaman 250)

 

Kelima, kesalahan yang berkaitan dengan waktu penyembelihan hewan kurban, menjadikan pihak yang ditunjuk sebagai wakil mudlahhi (pihak yang berkurban) wajib mengganti hewan kurbannya mudlahhi karena kurban tersebut menjadi tidak sah.

 

ومتى خالف شيأ مما ذكر فسد تصرفه وضمن قيمته يوم التسليم ولو مثليا

 

Apabila wakil bertindak di luar ketentuan muwakkil sebagamana telah disebutkan, maka penasarufan harta tersebut menjadi rusak, dan ia bertanggung jawab dalam mengganti rugi harga hewan sesuai hari diterimanya hewan tersebut oleh mudlahhi, atau dengan harga mitsil.” (Hasyiyah I’anatu al-Thalibin, juz 3, halaman 106).

 

Wallahu a’lam bi al-shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur; Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

(Ngaji of the Day) Mengapa Kartel Harus Diawasi?

Sudah jadi rahasia umum bahwa lonjakan harga (inflasi) atau kejatuhannya (deflasi) di pasaran produk memiliki hubungan yang erat dengan segelintir pedagang kartel yang bekerja di balik layar dengan bekal skenario pasar. Dalam dunia pangan misalnya, disinyalir sudah berlangsung lama muncul kartel-kartel. Mulai dari hulu sampai ke hilir (konsumen akhir) pedagang kartel ini sudah bercokol dan mempengaruhi harga jual dan beli produk. Petani seolah tidak punya kuasa apa-apa terhadap produknya. Mereka harus senantiasa rela menjadi korban.

 

Dalam sejarah, Bulog (Badan Urusan Logistik) sendiri didirikan adalah sebagai bentuk penyikapan terhadap kartel yang mempermainkan impor pangan. Hal ini mengingat pangan merupakan kebutuhan primer masyarakat. Jika sampai ia dikuasai oleh kartel, maka akan muncul yang dinamakan kartel primer sehingga berbahaya bagi masyarakat. Maka dari itu didirikanlah Bulog yang dipercaya sebagai pengimpor tunggal pangan untuk keperluan pengendalian harga pangan di pasaran agar tetap berada dalam ruang jangkau daya beli masyarakat. Baca juga: Mengenal Pedagang Kartel dan Permainannya di Pasaran Meski sudah dibentuk Bulog sebagai importir tunggal, namun kenyataannya masih ditemukan adanya praktik kartel di masyarakat yang menguasai pasar dan acapkali menempuh cara yang dapat memaksimalkan keuntungan dengan mengorbankan kondisi perekonomian makro suatu bangsa. Yang paling berbahaya lagi adalah bila masuk unsur kepentingan politis ke dalam diri pengusaha kartel ini.

 

Dengan berbekal persekongkolan, ia dapat mempengaruhi kondisi harga dan barang di pasaran. Itulah sebabnya terbit UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Di dalam Undang-Undang ini ada sebuah amanat dibentuknya sebuah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diperkuat melalui Kepres No. 75 Tahun 1999. Jadi, sampai di sini maka fungsi dan tugas KPPU pada dasarnya adalah mengawal pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999, yang itu berarti bahwa tugasnya mencakup dua hal, yaitu: 1. Mengusahakan ketertiban dalam persaingan usaha 2. Menciptakan iklim persaingan usaha yang kondusif (bebas dari monopoli)

 

Secara umum, di dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tindakan anti persaingan” sehingga dikategorikan sebagai “tidak sehat”, adalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

 

1. Ada sebuah perjanjian yang sifatnya dilarang

2. Jenis/macam kegiatan yang dilarang

3. Posisi dominan perusahaan sehingga menentukan harga di pasar.

 

Lantas di mana posisi kartel dalam UU ini? Berdasar UU No. 5 Tahun 1999, kartel dimasukkan ke dalam kelompok perusahaan yang mengadakan “perjanjian” yang dilarang. Tugas KPPU di sini adalah mengawasi perusahaan-perusahaan/pelaku usaha sekaligus menindak dan membuktikan keberadaan kartel berdasar perjanjian yang dibuatnya. Sudah pasti, usaha KPPU ini diawali dengan menangkap adanya indikasi yang mengemuka di masyarakat. Ibarat tidak ada asap tanpa adanya api. Dengan indikasi, ia mengawali melakukan tindakan penelitian dan penyidikan guna membuktikan fakta tersebut.

 

Meski sudah memiliki payung hukum berupa UU, namun dalam praktiknya KPPU mengalami kesulitan untuk melakukan pembuktian, meskipun bukti-bukti telah dihadirkan dalam persidangan.

 

Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab utama lemahnya KPPU dalam melakukan penyidikan dan penindakan terhadap kartel. Semua penyebab ini bermuara pada keterbatasan wewenang KPPU, yang antara lain adalah:

 

1. KPPU tidak memiliki wewenang menggeledah pelaku usaha yang diindikasi melanggar UU No. 5 Tahun 1999

 

2. Alasan klasik keterbatasan tersebut adalah menyangkut “rahasia perusahaan” sehingga sulit mendapatkan akses data ang diperlukan

 

3. Rahasia dagang merupakan hak yang dilindungi oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Meski KPPU berwenang mengorek keterangan instansi terkait, namun hingga saat ini kerjasama yang baik dalam penyelidikan belum terjalin di antara instansi-instansi ini. Sebenarnya alasannya juga masuk akal, pihak Dirjen HKI tidak berani mengungkap rahasia dagang ke KPPU tersebut karena belum ada payung hukum yang membolehkannya. Akibatnya, penyelidikan lintas sektor belum bisa dilakukan

 

4. Meskipun KPPU memiliki kewenangan memanggil dan meminta keterangan para pelaku usaha atau saksi yang diduga mengetahui praktik kartel, namun KPPU tidak bisa memaksa kehadiran masing-masing pihak. Jadi, serba dilematis, karena ketiadaan wewenang memaksa tersebut.

 

Itulah beberapa di antara kelemahan KPPU dalam tata laksana mengawal perjalanan UU No. Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat.

 

Buntut penyelesaian perkara oleh KPPU selalu berakhir di pengadilan. Meski dalam beberapa kasus, KPPU sudah berhasil menyeret pelaku kartel ke ranah pengadilan, namun karena akses data yang kurang serta koordinasi lintas sektoral yang tidak berlangsung maksimal, mengakibatkan KPPU menjadi kurang data.

 

Contoh kasus yang pernah diungkap oleh KPPU adalah kartel jasa pemeriksaan kesehatan bagi calon tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah, kartel fuel surcharge pada jasa penerbangan domestik Indonesia yang melibatkan beberapa industri jasa penerbangan dan kartel industri farmasi. Menurut hasil penyelidikan dari KPPU, semua kartel-kartel ini terbukti secara sah telah melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Faktanya, hasil penyidikan yang tertuang dalam amar putusan KPPU ternyata dibatalkan oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung disebabkan karena bukti dan data yang dibawa oleh KPPU dianggap belum mampu membuktikan usaha kartel tersebut secara “tegas”. Maksud dari secara “tegas” ini adalah bukti langsung melalui komunikasi ataupun perjanjian tertulis yang melibatkan semua pelaku usaha yang masuk dalam ranah kartel.

 

Ingat bahwa, kartel itu terbentuk kadangkala tidak melalui kesepakatan tertulis. Ada kalanya kartel terbentuk melalui perjanjian tidak tertulis. Nah, pembuktian kartel yang melalui kesepakatan tidak tertulis inilah yang paling sulit menghadirkan buktinya, disebabkan harus tegas ditunjukkan fakta komunikasi, yang itu berarti harus ada penyadapan. Sementara itu, KPPU tidak memiliki payung hukum melakukan penyadapan. Jika hal ini mereka lakukan, bukan tidak mungkin ia akan justru dituduh balik telah melanggar pasal transaksi elektronik secara ilegal dan melanggar hak privasi. Dilematis bukan? []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jatim

Selasa, 22 Juni 2021

(Do'a of the Day) 12 Dzulqa'dah 1442H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

 

Allaahumma as'aluka khaira maa sa'alaka bihii 'abduka wa rasuuluka sayyidina muhammadun shallallaahu 'alaihi wa sallama.

 

Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan yang dimohonkan oleh hamba dan Rasul-Mu, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 18.

29 Juni Hari Lahir KH Ahmad Syaichu, Tokoh NU yang Memulai dari Ranting

Pada 29 Juni 1921 lahir seorang anak bernama Ahmad Syaichu. Kemudian anak tersebut menjadi salah seorang tokoh yang berperan banyak pada masanya. Ia pernah menjadi salah seorang Ketua PBNU pada masa Ketua Umum KH Idham Chalid.

 

Karena kemampuannya berkomunikasi, ia mendapat julukan yakni sebagai menteri luar negeri NU. Memang ia dikenal sebagai seorang yang menguasai banyak bahasa asing, pasif dan aktif, seperti Arab, lnggris, dan Belanda. Kemampuannya itu mengantarnya jadi perwakilan NU di forum internasional.

 

Tentang latar belakang keluarganya, menurut NU Online, Ia adalah putra bungsu dari dua bersaudara pasangan H. Abdul Chamid dan Nyai Hj Fatimah. Pada usia 2 tahun ia sudah yatim, ditinggal wafat ayahnya. Sepeninggal ayahnya, Achmad Syaichu bersama kakaknya, Achmad Rifa'i, diasuh ibunya. Untuk memperoleh pendidikan agama, Syaichu belajar kepada K. Said, guru mengaji bagi anak-anak di sekitar Masjid Ampel. Pada usia 7 tahun ia sudah mengkhatamkan Al-Qur'an 30 Juz.

 

Masih menurut NU Online, ia memulai aktif di NU dengan menjadi Ketua Ranting NU Karang Menjangan. Pada kepengurusan NU Cabang Surabaya periode 1948-1950, ia ditunjuk sebagai salah satu ketua Dewan Pimpinan Umum (tanfidziyah), bersama KH Thohir Bakri, KH Thohir Syamsuddin dan KH A. Fattah Yasin.

 

Menurut Ensiklopedia NU, KH Ahmad Syaichu merupakan pendiri dan sekaligus Ketua Pimpinan Pusat lttihadul Muballighin, pada era 1980-an menjadi Ketua Oll dan anggota Dewan Tertinggi Masjid-Masjid Sedunia di Makah, anggota DPR (1955), Wakil Ketua DPR-GR (1963-1966), dan anggota DPR (1971-1977), serta pendiri Pesantren Al-Hamidiyyah, Jakarta.

 

Masih menurut Ensiklopedia NU, KH Ahmad Syaichu wafat pada 4 Januari 1995. Sesuai amanatnya, ia meminta dimakamkan di kompleks pesantren yang didirikannya. []

 

Abdullah Alawi

(Ngaji of the Day) Tiga Golongan Manusia dalam Hubungan Sosial Menurut Imam al-Ghazali

Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda. Tentu hal ini merupakan fitrah dari Allah . Tidak ada yang sama, termasuk dalam hal hubungan mereka dengan sesama manusia.

 

Namun, perbedaan itu bukanlah suatu masalah jika memiliki hati yang baik dan takwa, tentunya tidak hanya secara vertikal, yakni antara manusia dengan Sang Pencipta, tetapi juga secara horizontal, yakni antara manusia dengan manusia yang lain.

 

Imam al-Ghazali, dalam kitab Bidâyatul Hidâyah menjelaskan bahwa ada tiga kategori golongan manusia, dilihat dari cara mereka bergaul dan bersosialisasi dengan sesama manusia.

 

Al-Ghazali menyebutkan bahwa dalam hubungan sesamanya, manusia terbagi menjadi tiga golongan.

 

Pertama, manusia yang tergolong dalam derajat yang mulia sebagaimana derajatnya para malaikat.

 

Menurut Imam al-Ghazali, orang-orang yang termasuk dalam kategori ini senantiasa berbuat baik dengan sesama manusia, tidak hanya berbuat baik, mereka juga senantiasa memberikan kebahagian kepada sesama. Tidak hobi menyakiti orang lain, juga tidak suka berperilaku menyimpang kepada orang lain.

 

Golongan manusia seperti inilah yang disebut Imam al-Ghazali sebagai golongan yang termasuk “Manzilatul kirâm al-bararah minal malâikah”, yakni golongan manusia yang sikapnya setara dengan golongan malaikat yang saleh.

 

Kedua, manusia yang setara dan sederajat dengan hewan dan benda-benda mati. Oleh al-Ghazali disebut setara dengan hewan dan benda mati, karena keberadaannya tidak memberikan dampak dan manfaat bagi orang lain, tetapi malah memberikan madharat dan bahaya bagi orang lain.

 

Sebagaimana benda-benda mati, ia hanya stagnan, tidak bergerak, dan pula tidak memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan manusia yang lain.

 

Sedangkan golongan yang terakhir adalah golongan yang sama dengan golongan hewan-hewan buas, seperti ular, kalajengking dan hewan-hewan berbahaya yang lain.

 

Menurut penulis Ihyâ’ Ulûmiddin ini, manusia yang termasuk golongan ini menjadi momok bagi manusia lain. Tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan, dampak bahayanya sangat dikhawatirkan.

 

Diakui atau tidak, dalam kehidupan bermasyarakat, pasti kita temukan orang-orang yang seperti ini, baik golongan pertama kedua maupun ketiga. Imam al-Ghazali menyarankan agar kita bergaul dan berinteraksi dengan golongan yang pertama, agar kita tidak mendapatkan bahaya.

 

Imam al-Ghazali juga menyarankan agar kita senantiasa berusaha untuk menjadi bagian kelompok pertama. Jika kita tidak mampu, berusahalah agar tidak menjadi golongan kedua maupun ketiga. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online

BamSoet: Empat Pilar untuk Harmonisasi dan Keluhuran Budaya Bangsa

Empat Pilar untuk Harmonisasi dan Keluhuran Budaya Bangsa

Oleh: Bambang Soesatyo

 

Ketika semakin banyak elemen masyarakat menyuarakan 'NKRI Harga Mati', aspirasi ini hanya memperjelas adanya persoalan pada aspek harmoni dalam dinamika kehidupan masyarakat. Benih disharmoni muncul karena adanya pandangan atau pengajaran yang bertentangan dengan keagungan, keluhuran, dan kearifan budaya bangsa sebagaimana sudah terpatrikan dalam Empat Pilar.


Keagungan, keluhuran, dan kearifan budaya bangsa Indonesia sejak awal sudah dibingkai oleh para bapak bangsa dalam Empat Pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat Pilar adalah rahim budaya bangsa. Rahim yang kodrati, mempertautkan persaudaraan putra-putri ibu pertiwi dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote. Putra-putri sebangsa dan satu Tanah Air yang adab dan laku hidupnya berlandaskan Ketuhanan yang Maha Esa, peduli sesama, santun, toleran di tengah keberagaman, bersemangat gotong royong, dan menjadikan musyawarah sebagai keutamaan.


Catatan sejarah memberi bukti kepada generasi sekarang dan generasi penerus bahwa komunitas internasional lebih mengenal masyarakat Indonesia sebagai komunitas yang adat ketimurannya sangat kental sehingga sangat ramah, santun, dan terbuka. Bukan komunitas yang senang berperilaku menista atau menghina komunitas lain. Sekarang pun, sebagian besar masyarakat Indonesia sejatinya masih memegang teguh nilai-nilai luhur itu.


Rahim Empat Pilar itu pula menjadi bagian tak terpisah dari proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang mencakup 16.056 pulau dan 801 bahasa daerah dan akar budaya lokal, dengan Bahasa Indonesia dan budaya Nusantara sebagai budaya dan bahasa pemersatu. Fakta ini layak dipahami sebagai Karya Agung Tuhan Yang Maha Kuasa.


Jadi, patut digarisbawahi oleh generasi terkini dan generasi masa depan bahwa NKRI terbentuk karena kesadaran dan kehendak bersama masyarakat dari belasan ribu pulau besar maupun pulau kecil, dengan akar budaya dan bahasa lokal yang sangat beragam. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang bisa mempersatukan keberagaman berskala besar itu, kalau bukan karena kehendak Tuhan Yang Maha Esa.


Di masa lalu, NKRI memang pernah dicobai atau dirongrong. Namun, upaya para petualang memecah NKRI selalu gagal karena masyarakat pun menolak dan tetap bersetia menjadi bagian tak terpisah dari Republik Indonesia. Kini, dengan menyuarakan aspirasi 'NKRI Harga Mati' itu, sebagian besar elemen masyarakat kembali bersikap tegas untuk menyatakan Empat Pilar dan NKRI itu sudah final dan menjadi kewajiban generasi sekarang juga generasi penerus untuk menjaga dan merawat eksistensi NKRI, termasuk mempertahankan dan merawat keagungan, keluhuran, dan kearifan budaya bangsa.


Aspirasi 'NKRI Harga Mati' itu memang harus disuarakan mayoritas masyarakat untuk menanggapi upaya kelompok-kelompok tertentu merusak nilai-nilai luhur dari Empat Pilar itu. Upaya merusak itu masih terdengar dan terlihat. Isu khilafah belum dapat dikatakan sepenuhnya sudah hilang. Setelah isu khilafah, berlanjut dengan ulah sekelompok orang yang dengan seenaknya menuduh orang lain sebagai komunitas kafir hanya karena beda keyakinan dan beda budaya. Tuduhan kafir bahkan tak jarang melebar hingga ke produk dan jasa tertentu.


Pandangan dan pengajaran yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Empat Pilar itu kemudian dieskalasi dengan ajakan memusuhi negara dan pemerintah. Bahkan, kewajiban warga negara menghormati Bendera Merah Putih pun sempat dipermasalahkan. Masyarakat tentu memiliki sejumlah catatan lainnya tentang pandangan atau pengajaran yang menentang nilai-nilai luhur Empat Pilar.


Baru-baru ini, masyarakat pemerhati sempat terusik karena kewajiban warga negara menyanyikan Indonesia Raya juga dipersoalkan. Belum reda masalah ini, muncul lagi pandangan sesat lainnya yang juga sempat diviralkan, yakni pandangan yang menyalahkan nilai dan makna sungkem kepada orang tua. Pokoknya, dalam pandangan orang yang mengaku paling suci dan paling benar sendiri itu, penghormatan warga negara kepada simbol negara dan sungkem kepada orang tua itu tidak benar.


Tentu saja pandangan dan pengajaran seperti itu menyulut pro-kontra dan pro-kontra itu menyebabkan disharmoni di tengah masyarakat. Maka, jadilah ruang publik bising dan banjir ujaran kebencian. Persepsi tentang masyarakat Indonesia yang ramah, santun, dan toleran pun tercoreng, karena ada kelompok yang memanfaatkan media sosial untuk menyemburkan ujaran kebencian, diskriminasi, menyebarluaskan hoaks serta penipuan.


Sebuah survei pernah melaporkan bahwa warganet Indonesia termasuk kelompok paling tidak sopan ketika memanfaatkan media sosial. Lebih dari itu, muncul pula anggapan bahwa sebagian masyarakat Indonesia telah berubah menjadi komunitas yang gampang marah dan tak jarang berperilaku beringas. Semua kecenderungan ini bukan lagi rahasia, melainkan sudah menjadi pengetahuan bersama.


Memang, dalam jumlah yang terus membesar, sebagian masyarakat Indonesia telah tercabut dari akar budayanya yang luhur dan penuh kearifan itu. Hal ini terjadi karena mereka terus dicekoki pandangan dan pengajaran yang bertentangan nilai-nilai luhur Empat Pilar. Mereka telah 'dipaksa' melupakan warisan agung dari para leluhur mereka sendiri. Padahal, warisan agung itu sendiri adalah karunia Sang Pencipta yang menjadi fondasi kokoh bagi terwujudnya kehidupan bersama yang harmonis di tengah keberagaman.


Maka, selain sebagai masalah kekinian, kecenderungan itu tentu saja harus disikapi sebagai tantangan bersama. Jangan lari dari masalah itu, dan jangan juga masalahnya dianggap biasa-biasa saja. Sesulit apa pun akar masalahnya, tetap harus dihadapi dan disikapi dengan bijaksana. Kecenderungan menista dan menghina orang lain sejatinya bukanlah kepribadian Indonesia, dan karenanya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bukankah semua orang pada dasarnya mendambakan kehidupan bersama yang harmonis.


Dengan begitu, tantangan paling utama bagi semua elemen masyarakat sekarang ini adalah mengedepankan kehendak baik, dengan mengupayakan dan mewujudkan harmonisasi dalam kehidupan bersama. Semua institusi negara yang berwenang dan relevan, termasuk institusi keagamaan, diharapkan lebih memberi perhatian pada masalah ini.


Oleh karena NKRI sudah final dan 'Harga mati', harmonisasi kehidupan bersama harus menjadikan Empat Pilar sebagai pijakan filosofisnya. MPR RI, misalnya, terus aktif menyosialisasikan hakikat dan makna Empat Pilar. Institusi lainnya pun diharapkan bergerak menyosialisasikan makna Empat Pilar. Institusi hukum juga diharapkan proaktif dan persuasif menyikapi semua pihak yang bertindak atau berperilaku menentang nilai-nilai luhur Empat Pilar. Rongrongan terhadap nilai-nilai luhur Empat Pilar tidak boleh lagi dibiarkan.


Perubahan zaman memang tak terhindarkan, tetapi budaya Indonesia yang agung dan luhur itu harus terjaga eksistensinya. Dia tidak boleh dirusak oleh siapa pun dan atas nama apa pun.
[]


DETIK, 17 Juni 2021

Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

(Ngaji of the Day) Ini Empat Penghalang Shalat Tahajud

Sering kali kita ingin mengamalkan shalat tahajud atau shalat malam. Tetapi keinginan itu tidak kunjung terjadi karena kita tidak juga bangun dari tidur. Kadang ada juga dari kita yang bangun tengah malam tetapi berat untuk melaksanakannya.

 

Ulama menyebutkan empat hal yang menghalangi atau mencegah kita untuk mengamalkan shalat malam. Syekh Zainuddin Al-Malibari menyebutkan empat hal tersebut dalam syairnya berikut ini:

 

ويفوت هذا بالكثير من اهتما*مك واشتغالك بالدنا متغافلا وحديث دنيا ثم لغو واللغط*كذا بإتعاب الجوارح وامتلا

 

Artinya: “Luput ini (shalat tahajud) kebanyakan karena kebimbanganmu * dan kesibukanmu pada dunia dengan lalai // bicara dunia lalu sia-sia dan berkicau * begitu juga meletihkan fisik dan memenuhi perut,” (Zainuddin Al-Malibari, Hidayatul Adzkiya ila Thariqil Auliya pada Syarah Kifayatul Atqiya, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun], halaman 100).

 

Sayyid Bakri dalam syarah atas syair ini melalui karyanya Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya menyebutkan faktor-faktor yang dapat mencegah kita untuk melakukan shalat tahajud yakni:

 

1. Kebimbangan kita atas kehidupan dunia disertai kelalaian dalam mengingat kehidupan akhirat.

2. Terlalu asyik membahas dunia, tenggelam dalam membicarakan hal yang batil/sia-sia, dan berbicara dengan suara tinggi.

3. Terlalu membuat badan letih dengan kerja-kerja berat pada siang hari.

4. Terlalu banyak makan yang membuat tidur lelap dan mengantuk berat.

 

Sayyid Bakri menambahkan, salah satu hal yang menghalangi kita untuk mengamalkan shalat tahajud adalah meninggalkan qailulah (tidur siang sejenak) dan melakukan dosa karena itu dapat mengeraskan hati dan menghalanginya dari rahmat Allah.

 

Demikian disebutkan oleh Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kitab Kifayatul Atqiya, (Indonesia, Al-Haramain Jaya: tanpa tahun), halaman 101.

 

Adapun waktu malam adalah waktu lalu-lalang para hamba Allah (mi’raj) ke langit melalui zikir dan terutama shalat tahajud yang begitu mulia. Shalat tahajud dianjurkan dalam Al-Qur’an untuk Rasulullah SAW (Surat Al-Muzzammil ayat 1-3) dan para sahabatnya (Surat Al-Muzzammil ayat 20).

 

Shalat tahajud dianjurkan dalam Al-Qur’an untuk Rasulullah SAW pada Surat Al-Isra ayat 79. Shalat tahajud pada ayat ini dapat menjadi sebab atas peningkatan derajat para hamba Allah di sisi-Nya. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: NU Online