Masih sangat terang dalam ingatan bagaimana
Rasulullah ﷺ menyikapi persoalan
dua sahabat yang dipersaudarakannya, Salman al-Farisi dan Abu Darda’ yang
berselisih dalam amaliah. Sahabat Salman, ia beribadah (menunaikan hak-hak
Allah) semampunya tanpa menyampingkan hak diri, keluarga, dan sosialnya. Lain
dengan Abu Darda’ yang membangun hubungan vertikal dengan Allah ﷻ secara ekstra tanpa
peduli akan hak keluarga, sosial, bahkan dirinya sendiri.
Ceritanya, dalam Shahih al-Bukhari (Kitab
al-Adab, pada bab Shun’i at-Tha’am wa at-Takalluf li ad-Dhaif, hadits ke 6139
(hal. 1125-1126)), Imam al-Bukhari menulis hadits riwayat Abu Juhaifah, bahwa
sahabat Salman al-Farisi pernah berkunjung ke gubuk saudaranya, Abu Darda’. Di
sana, ia mendapati Ummu Darda’ sedang dalam kegelisahan, mukanya murung dengan
gaya berpakaian (style of dress) sehari-hari yang kusut. Mengetahui hal itu,
Salman pun langsung bertanya apa gerangan yang menimpa istri saudaranya ini.
Ummu Darda’ menjawab, Akhuka Abu ad-Darda’ laisa lahu hâjatun fid-dun-yâ,
“Saudaramu itulah dalangnya, ia sama sekali tiada gairah urusi duniawinya,”
jawabnya menyesali sikap sang suami.
Rupa-rupanya, Abu Darda’ adalah orang yang
terlampau giat beribadah kepada Allah ﷻ. Setiap harinya selalu berpuasa,
malam-malamnya padat dengan ritual shalat sunnah, sampai tidak punya waktu
untuk penuhi kewajibannya terhadap keluarga, sosial, dan dirinya. Ia sedang
berada dalam candu ibadah (nasywatul ibadah) yang tinggi.
Ketika Abu Darda’ datang, dan menyiapkan
makanan, lalu menyuguhkannya kepada Salman, ia pun menolak seraya mengatakan,
“Saya tidak akan memakannya kecuali engkau juga turut makan bersamaku”. Dia
yang hari itu berpuasa pun akhirnya membatalkan puasanya. Demikian juga saat
hendak menunaikan shalat malam, berkali-kali ia beranjak, namun disuruh tidur
kembali oleh sahabat Salman al-Farisi. Baru setelah tiba sepertiga malam,
Salman membangunkan saudaranya, Abu Darda’ untuk shalat malam berjamaah.
Seusai shalat, ia berkata kepada Abu Darda’:
إن
لربك عليك حقا ولنفسك عليك حقا ولأهلك عليك حقا فأعط كل ذي حق حقه
Artinya, “Sungguh, Tuhanmu memiliki hak yang
harus kaupenuhi, dirimu memiliki hak yang harus kaupenuhi, keluargamu juga
memiliki hak yang harus kaupenuhi, maka berikanlah hak mereka secara
proporsional.”
Keesokan harinya, persoalan tersebut dihaturkan
kepada baginda Nabi ﷺ. Lalu bersabda,
Shadaqa Salman, “Benar apa yang dikatakan Salman al-Farisi”. Dari sinilah
kemudian para ulama seantero dunia, termasuk Kiai Faqihuddin Abdul Qadir—dalam
fashal pertama kitab Manba’ussa’adah—menjelaskan tiga hak tubuh yang harus
dipenuhi secara sempurna. Di antaranya, hak konsumsi makanan yang halal dan
bergizi baik (at-taghadzi bi al-halal at-thayyib), hak atas istirahat yang
cukup (akhdzu ar-rahah), dan hak menyalurkan hasrat seksual secara halal dan
layak (talbiyyah al-gharizah al-jinsiyyah). Berikut penjelasannya.
Hak Konsumsi Makanan yang Halal dan Bergizi
Baik (at-taghadzi bi al-halal at-thayyib)
Mengonsumsi makanan dan minuman halal dengan
kualitas gizi yang baik secara tidak berlebihan adalah hak tubuh yang harus
dipenuhi setiap orang. Anugerah sehat yang Allah ﷻ berikan wajib dijaga
dengan cara demikian. Mengingat, sebagian besar penyakit timbul dari makanan
yang kita konsumsi. Penting dicatat, bahwa term ‘at-thayyib’ di sini, tidak
untuk dipahami sempit yang berlaku bagi umat Islam saja. Melainkan juga untuk
umat agama lain. Hal ini, bermula dari logika agama yang mustahil menganjurkan
pemeluknya agar mengonsumsi sesuatu yang berbahaya bagi tubuh. Baik bahaya yang
timbul dari kandungan bakteri makanan, atau bahaya secara sosial. Pasalnya,
semua agama samawi mengajarkan bahwa mengusik ketenangan sosial merupakan laku
biadab yang sangat dimurkai Tuhan. Karena itu, kita dilarang mencuri, merampok,
dan lain-lain.
Terkait ini, Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat
168 merespons:
يٰٓاَيُّهَا
النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖ
وَّلَا
تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Artinya, “Wahai manusia! Makanlah dari
(makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Imam Fakhruddin ar-Razi (604 H) dalam Mafâtîhul
Ghaib (juz 5, hal. 3) menjelaskan makna dua kata kunci tersebut sebagai
berikut:
فإن
قوله (حلالا) المراد منه ما يكون جنسه حلالا، وقوله (طيبا) المراد منه لا يكون
متعلقا به حق الغير فإن أكل الحرام وإن إستطابه الآكل فمن حيث يفضي إلى العقاب
يصير مضرة ولا يكون مستطابا
Artinya, “Terma halal(an) dalam ayat di atas,
bermakna suatu jenis makanan atau minuman yang memang halal (halal min
dzatihima). Dan, kata thayyib(an) sendiri mengecualikan makanan atau minuman
milik orang lain (tanpa izin mengonsumsinya). Oleh karena itu, kalau dikonsumsi,
walaupun memiliki kandungan gizi yang baik, namun tetap tergolong tidak
thayyib, karena dapat membuat Tuhan murka.”
Dari keterangan ini, lekas dicerna bahwa
thayyib tidak hanya dimaknai baik dari sudut pandang gizi dan kesehatan
jasmani, tetapi juga baik secara sosial. Salah satunya, bisa kita lihat dalam
surah an-Nisa’ ayat 10, di mana Allah ﷻ melarang keras orang yang memakan harta anak
yatim secara zalim. Bahkan, tegas Allah menyatakan bahwa sebenarnya mereka
menelan api, dan juga akan dimasukkan ke neraka sebagai ancamannya.
Menjaga tubuh tetap sehat, bukan hanya dengan
menjaga kualitas makanan dan pola makan semata, tetapi, tentang porsi makan
yang tak berlebihan harus pula dikondisikan. Terbiasa dengan porsi konsumsi
yang berlebihan, sangat tidak baik bagi tubuh. Karena, secara tidak langsung,
kita sedang membentuk pola makan yang tidak sehat. Teruntuk persoalan ini,
Al-Qur’an tak kalah tegas menyikapinya sebagaimana kepada yang lain. Allah ﷻ dalam surah al-A’raf
ayat 31 bertitah:
يٰبَنِيْٓ
اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا
تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
Artinya, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah
pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi
jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Dalam Manba’ussa’âdah (hal. 11) Kiai Faqih
mengutip statemen Syekh Nawawi al-Bantani pada at-Tafsîr al-Munîr tentang israf
yang dilarang syariat. Di sana dikatakan, Inna al-isrâf huwa al-ta’addi ila
al-haram wa tahrîm al-halal wa al-ifrâth fi at-tha’âm, “Sesungguhnya, israf itu
adalah melampaui batas keharaman, mengharamkan yang halal, dan berlebihan dalam
konsumsi makanan.”
Lebih jelasnya, mari membaca kitab at-Tafsîr
al-Munîr fi al-‘Aqidah wa as-Syari’ah wa al-Manhaj (juz 7, hal. 15),
masterpiece syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam bidang tafsir. Di sana
dijelaskan:
ثم
وضع الله ظابطا ليس في العبادة وحدها، وإنما في الأمور المعاشية المعتادة أيضا،
وهو الأمر بتقوى الله، والاعتصام بحدود الله، أي فاتّقوا الله الذي آمنتم به في كل
شؤون المعيشة والحياة من أكل وشرب ولباس ونساء وغيرها، ولا تتجاوزوا المشروع في
تحليل ولا تحريم
Artinya, “Allah ﷻ tidak saja membuat
standarisasi dalam hal ibadah. Melainkan juga dalam pelbagai urusan kehidupan
lainnya. Makna standarisasi untuk kedua hal ini, yaitu tentang urusan takwa
kepada Allah dan memelihara diri dari batasan-batasan suci yang telah
ditentukan. Secara tersirat (QS al-A’raf (31) di atas) menyampaikan,
‘Bertakwalah kepada Allah yang kalian imani dalam setiap lini kehidupan dan
aktivitas yang dijalani; baik ketika makan, minum, berpakaian, relasi dengan
perempuan (pasangan), dan lain-lain. Dan, janganlah melampaui batas dalam
urusan penghalalan dan pengharaman.”
Jadi, menaruh atensi terhadap aturan-aturan
Allah (hudûdullah) dalam hal ini, tak kalah penting dengan memelihara ibadah
dan ketakwaan kita kepada-Nya. Dari sinilah kemudian kiai Faqih menulis
statement-nya dalam Manba’ussa’âdah, bahwa setiap orang harus adil dalam
menentukan apa dan berapa kadar makanan atau minuman yang dikonsumsinya.
Karena, makanan dan pola makan yang tak sehat akan menciptakan pribadi,
lingkungan dan ibadah yang tak sehat pula.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi kita
semua. Wallahu a’lam bisshawâb. []
Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus
pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo
Jawa Timur.