Secara bahasa, khulu’ adalah melepaskan atau menanggalkan. Sedangkan secara terminologis, khulu’ adalah perceraian antara suami-istri disertai dengan konvensasi atau tebusan yang diberikan istri kepada suami.
Rukun dan Ketentuan Khulu‘
Menurut jumhur ulama, rukun khulu‘ ada lima: (1) pihak yang memasrahkan khulu’, yaitu suami; (2) pihak yang menerima khulu’, yaitu istri; (3) iwadh atau tebusan; (4) perkara yang ditebus, yaitu kesenangan dari perkawinan; (5) shigat atau redaksi khulu’. (Lihat: Syekh az-Zuhaili, al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: darul Fiqr], jilid 9, hal. 7013).
Layaknya akad pada umumnya, khulu’ pun mengharuskan adanya serah terima di antara pihak-pihak yang terlibat akad. Sebagai pihak yang memasrahkan, suami, wakil, atau walinya harus menyatakan khulu’ atau menyatakan talak disertai dengan tebusan, seperti ungkapan “Saya khulu’ engkau dengan tebusan uang 500 ribu.” atau “Saya jatuhkan talak satu kepadamu dengan tebusan satu juta.”
ngkapan suami kemudian diterima langsung dalam majelis itu juga oleh istri dengan ungkapan yang sesuai, “Saya terima khulu’ darimu dengan tebusan 500 ribu,” atau “Saya terima talak satu dengan tebusan satu juta.”
Adapun besaran iwadh atau tebusan tidak dipermasalahkan, baik senilai dengan mahar maupun lebih kecil atau lebih besar dari mahar. Pun tidak dimasalahkan, apakah tebusannya berupa barang maupun uang, baik tunai maupun hutang.
Patokannya, apapun yang bisa dijadikan mahar boleh dijadikan tebusan khulu’. Hal ini dikembalikan pada kesiapan istri dan kebijakan suami. Dengan kata lain, akad khulu’ berlangsung atas dasar sukarela kedua belah pihak.
Berdalilkan pengaduan istri Tsabit ibn Qais kepada Rasulullah SAW, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Qatadah berpendapat bahwa khulu’ harus dilakukan di hadapan penguasa, dalam hal ini hakim pengadilan Agama atau pihak berwenang, meski mayoritas ulama membolehkan sebaliknya.
Namun demikian, agar perceraian tidak disepelekan dan tidak ada hak perempuan atau hak anak yang diabaikan, talak khulu‘ hendaknya dilakukan di hadapan pengadilan berdasarkan pendapat Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Qatadah. (Lihat Syekh Jamaluddin, Kasyful Musykil min Haditsis Shahihain, [Riyadh, Darul Wathan], jilid II, halaman 429).
Di Indonesia, khulu‘ lebih dikenal juga dengan istilah cerai gugat. Namun, Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan antara cerai gugat dan khulu’. Sebab, tak selamanya cerai gugat disertai dengan kompensasi atau tebusan.
Selain itu, khulu’ dan minta cerai harus dibedakan. Minta cerai itu biasanya datang dari istri lalu suami mencerainya. Meski demikian, gugat cerai, khulu’, dan minta cerai sama-sama merupakan keinginan cerai yang datang dari pihak istri.
Faktor Penyebab Khulu’
Jika memperhatikan simpulan para ulama fiqih yang digali dari dalil-dalil agama, maka alasan khulu’ terbilang ringan. Artinya, asalkan ada alasan dari pihak istri, kemudian ia mampu membayar iwadh atau tebusan kepada suami, maka khulu’ bisa dijalankan.
Alasan tersebut antara lain, istri tidak menyukai akhlak suami, istri tidak menyukai fisik atau jasmani suami, ada kekhawatiran istri tidak mampu menjalankan kewajibannya kepada suami.
Jika kembali lagi kepada pentingnya mempertahankan ikatan pernikahan, dan khulu’ termasuk ke dalam jenis talak. Alangkah baiknya masyarakat mengacu pada alasan perceraian yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Alasan perceraian yang dirumuskan dalam KHI sudah dipertimbangkan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia, di samping alasan-alasannya yang cukup kuat, sehingga mempersempit peluang pasangan suami istri yang ingin mengakhiri perkawinan melalui perceraian.
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1075 telah mengatur bahwa khulu‘ termasuk salah satu unsur alasan perceraian sebagaimana yang dapat terjadi karena alasan atau beberapa alasan sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembunyikan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
6. Antara suami dan istri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7. Suami melanggar ta’liq talak;
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Demikian hal ihwal tentang khulu‘ dalam tata hukum pernikahan, baik dari perspektif para ulama fiqih maupun dari perspektif himpunan hukum syariat yang diundangkan oleh negara (KHI). Wallahu a’lam. []
(selesai…)
(Ustadz M Tatam Wijaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar