Senin, 21 Juni 2021

Nasaruddin Umar: Makna Esoterik Al-Qur'an (1) Apa yang Dimaksud Makna Esoterik Al-Qur'an?

Makna Esoterik Al-Qur'an (1)

Apa yang Dimaksud Makna Esoterik Al-Qur'an?

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Dalam penafsiran Al-Qur'an dikenal ada dua corak penafsiran, yaitu penafsiran yang bercorak eksoterik dan penafsiran esoterik. Yang pertama menekankan aspek linguistik dan kaedah-kaedah formal epistimologi keilmuan Al-Qur'an, dan yang kedua menekankan suasana kebatinan atau makna spiritual ayat. Yang umum dilakukan mainstream ulama Tafsir ialah model pertama tetapi tidak sedikit juga berpegang kepada model kedua, bahkan akhir-akhir ini ada kecenderungan kalangan ilmuan bergeser ke pemahaman kedua atau aspek esetirime Al-Qur'an. Penafsiran ini juga sesungguhnya sudah diisyaratkan keberadaannya di kalangan sahabat, walaupun masih sangat terbatas yang berkonsentrasi ke model ini.

 

Abdullah Ibn 'Abbas yang lebih popular dengan Ibn 'Abbas, pengarang kitab Tafsir Ibn 'Abbas (2 jilid) memiliki banyak kekhususan di antara para sahabat Nabi. Ia termasuk sahabat kecil (shigar al-shahabah) karena bapaknya, 'Abbas, juga sahabat Nabi. Ia dikenal sebagai sahabat yang paling rajin dan sering bertanya kepada Nabi tentang berbagai persoalan. Ia suka mencari peluang, kapan Nabi sedang sendirian ia menggunakan kesempatan itu untuk belajar. Ia sering terlibat dengan diskusi yang kelihatannya sangat serius dengan Nabi, hingga sahabat lain tidak berani mengganggunya. Suatu saat ketika sahabat menanyakan diskusinya dengan Nabi tentang ayat:

 

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Q.S. al-Thalaq/65:12)

 

Ibn Abbas menolak menjelaskannya dan mengatakan: "Kalau saya jelaskan penjelasan Nabi kepada saya tentang makna ayat tersebut maka kalian pasti akan merajamku". Ini mengisyaratkan bahwa ayat-ayat Al-Qur'an memiliki makna yang berlapis-lapis. Tidak semua orang berhasil menyingkap lapis-lapis kedalaman makna Al-Qur'an.

 

Sepintas kita membaca ayat tersebut di atas tidak terkandung sebuah pembahasan yang terlalu rumit. Bukankah ayat tersebut di atas hanya mengungkapkan kenyataan bahwa Allah Swt Sang Pencipta tujuh langit dan seperti itu pula bumi? Akan tetapi jika kita menyimak secara mendalam, terutama potongan ayat berikutnya: Annallah 'ala kulli syaiin qadir (Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu) dan potongan ayat terakhirnya: Wa annallaha qad ahatha bikulli syaiin 'ilman (sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu) mulailah kening bisa berkerut. Apa sesungguhnya dimaksud "Maha Kuasa atas segala sesuatu"? Apakah otonomi yang ada pada diri manusia miliknya atau milik-Nya, atau share antara manusia dan Tuhan? Kalau share persentasenya berapa, dst? Demikian pula potongan ayat berikutnya "sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu", apakah hanya ilmunya atau substansi-Nya yang serba meliputi dengan semua makhluk? Apakah Ia lebur dengan makhluknya atau makhluk tak lain adalah locus maniventation-Nya? Pertanyaan inilah yang menghabiskan energi para teolog, filosof, dan sufi.

 

Jika pernyataan Ibn 'Abbas benar berarti ada lapisan makna lebih dalam dari sekadar orang awam fahami. Mengapa penjelasan Nabi kepada Ibn 'Abbas tidak dijelaskan kepada sahabat Nabi yang lain? Apakah sahabat-sahabat Nabi yang lain belum cukup memiliki taraf kognitif yang memadai, sehingga Nabi tidak menjelaskan secara terbuka berbagai dimensi makna Al-Qur'an? Apakah ada makna lain atau lebih dalam yang tidak sembarang orang bisa disampaikan, tanpa mengurangi otentitas makna keseluruhan Al-Qur'an? Mengapa Nabi tidak secara terbuka menjelaskan kedalaman makna setiap ayat Al-Qur'an? Bukankah 23 tahun cukup waktu untuk memperkenalkan secara holistic lapis-lapis makna Al-Qur'an? Allahu a'lam.

 

Pengalaman Ibn 'Abbas mengisyaratkan adanya makna batin atau makna non-literal di dalam Al-Qur'an. Pemaknaan non-literal inilah yang dimaksud di dalam tulisan ini sebagai makna batin Al-Qur'an. Makna batin Al-Qur'an tidak bisa diterangkan melalui analisis leterer-linguistik dan filosofis semata, tetapi diperlukn ketajaman batin, kejernihan pikiran, dan kesucian jiwa untuk memahaminya. Mungkin inilah sesungguhnya makna ayat: La yamassuhu ila al-muthahharun (tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan (Q.S. al-Waqi'ah/56:79). Ayat ini tidak menggunakan kata al-muthahhirun atau al-munadhifun yang masih manusia proaktif membersihkan diri, tetatpi al-muthahharun, orang-orang yang sudah tersucikan oleh Allah Swt.

 

Makna batin Al-Qur'an sebuah makna yang tenggelam di kedalaman teks suci Al-Qur'an yang tidak bisa atau sulit dipahami dengan metodologi ilmu-ilmu hushuli yang mengandalkan deduksi-deduksi akal, tetapi memerlukan metodologi ilmu-ilmu hudhuri yang mengandalkan kesucian batin, keluhuran niat, kejernihan pikiran, dan kedalaman kontemplasi. Kitab-kitab tafsir yang lahir dalam dasawarsa terakhir ini didominasi tafsir-tafsir yang bercorak scientific-ilmiyah. Tentu saja ini tidak salah tetapi dalam era globalisasi saat ini diperlukan tafsir yang memiliki kekuatan untuk membasahi batin manusia modern yang cenderung semakin kering. Kini sudah sulit kita temukan Tafsir yang bercorak bathiniyah (metafisis). Bahkan ada kecenderungan penggunaan kata "bathiniyah" yang dihubungkan dengan Al-Qur'an menjadi sebuah akronim yang berbau syi'ah dengan konotasi negatif atau sesat. Kata bathiniyah harus dinetralkan kembali jika kita ingin menemukan hakikat dan makna batin Al-Qur'an. Semoga dengan model ini bisa mereaktualisasi spirit umat Islam untuk kembali kepada aspek universal Al-Qur'an. (Allahu a'lam). []

 

DETIK, 04 Juni 2021

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar