Pada abad keempat, Imam Ibnu al-Mujahid (w. 324 H) menetapkan nama-nama imam qira’at yang menurut hasil penelitian dan penyeleksiannya dapat dipertanggungjawabkan kemutawatirannya. Ketujuh imam-imam qira’at tersebut terdiri dari empat negara, Hijaz, Syam, Kufah, dan Bashrah.
Di negara Hijaz, diwakili oleh dua imam, yaitu Nafi’ dan Ibnu Katsir. Di Syam diwakili satu orang, yaitu Ibnu Amir al-Yahshabi. Di Kufah diwakili oleh tiga imam, yaitu Ashim, Hamzah dan Ali al-Kisa’i. Di Bashrah diwakili satu orang, yaitu Abu Amr al-Ala’.
Pada mulanya, di Bashrah ini diwakili oleh dua orang imam yaitu, Abu Amr al-Ala’ dan Ya’qub al-Hadhrami, sedangkan di Kufah diwakili oleh dua orang imam juga, yaitu Ashim dan Hamzah. Tapi pada abad ketiga, Ibnu Mujahid melakukan pergeseran posisi imam qira’at, yaitu mengganti posisi Imam Ya’qub al-Hadhrami oleh Imam Ali al-Kisa’i.
Pergantian posisi ini didasarkan pada kreteria-kreteria tertentu sehingga posisi Ya’qub tereleminasi. Artinya, menurut hasil penelitian dan penyeleksian Ibnu Mujahid, qira’at Imam Ali al-Kisa’i lebih dipertanggungjawabkan kemutawatirannya. Meskipun tidak menafikan kesahihan qira’at Imam Ya’qub. Hal ini terlepas dari nuansa politik yang santer dilontarkan oleh para pengkritik ijtihad Ibnu Mujahid.
Namun, para ulama pada saat itu setuju dan sepakat dengan penetapan Ibnu Mujahid terhadap imam-imam qira’at sab’ah.
Pada abad kesembilan, Imam al-Jazari (w. 833 H) melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap beberapa qira’at hingga kemudian al-Jazari memasukkan qira’at Imam Ya’qub bersama dengan dua imam lainya, Imam Ja’far bin al-Qa’qa’ dan Khalaf, sebagai bagian dari qira’at mutawatirah. Hasil penelitian ini tertuang dalam karyanya “al-Durrah al-Mudiyyah fi al-Qira’at al-Tsalatsah al-Mardhiyah al-Mutammimah li al-Asyrah”. Oleh karena itu, dengan penambahan tiga imam di atas, maka genaplah menjadi sepuluh imam, yang kemudian dikenal dengan qira’at Asyrah.
Imam al-Jazari berkata: “Sesuatu yang paling mengherankan bahkan termasuk kesalahan besar adalah menganggap qira’at Ya’qub bagian dari qira’at Syadzah, yang tidak boleh dibaca bahkan dalam shalat. Ini adalah sesuatu yang tidak kami ketahui sebelumnya kecuali pada masa ini dari orang-orang yang tidak bisa diambil ucapannya dan tidak perlu menoleh pendapatnya. Maka ketahuilah bahwa qira’at Ya’qub sama dengan qira’at lainnya, dari qira’at sab’ah menurut para imam muhaqqin (peneliti). Ini adalah pendapat yang benar.
Biografi Imam Ya’qub al-Hadhrami
Nama lengkapnya, Ya’qub bin Ishaq bin Zaid bin Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhrami al-Bashri. Ia dikenal dengan panggilan Abu Muhammad. Imam Ya’qub adalah imam yang yang memiliki garis keturunan sebagai ahli qira’at. Sebab bapak hingga buyutnya adalah para pemuka ahli qira’at; Abdullah bin Ishaq al-Hadhrami (w. 117 H).
Imam Ya’qub merupakan salah satu imam qira’at asyrah (sepuluh). Imam al-Dzahabi mencantumkan Imam Ya’qub sebagai imam qira’at generasi (thabaqat) kelima dari kalangan tabi’in. Dia adalah seorang imam yang muttaqi (orang yang bertakwa), wira’i, zuhud, dan agamis.
Kezuhudannya dalam berperilaku dan bersikap, mengantarkan Imam Ya’qub pada ketulusan dalam beribadah. Suatu ketika Imam Ya’qub melaksanakan shalat dengan memakai sorban di pundaknya, kemudian dicuri oleh seseorang dari pundaknya, ia tidak menyadari. Kemudian sorban tersebut dikembalikan lagi kepadanya, ia pun tidak menyadarinya, karena sedang sibuk (khusyuk) bermunajat kepada Tuhannya.
Perjalanan Intelektual Imam Ya’qub al-Hadhrami
Pada tahun 130 H beliau dilahirkan di kota Bashrah. Sejak kecil hingga remaja, beliau dibimbing oleh orang tuanya dengan tempaan ilmu dan pengetahuan. Dengan bimbingan yang agamis menjadikan seorang Ya’qub remaja menjadi intelektual muda yang sangat dihormati utamanya dalam bidang Al-Qur’an.
Setelah menempa ilmu dan pengetahuan dari orang tuanya, Ya’qub remaja melakukan perjalanan intelektual dengan belajar kepada para pembesar ulama Bashrah. Dalam bidang Al-Qur’an dan qira’at, ia belajar dan menyetor Al-Qur’an kepada;
Pertama, Abi al-Mundzir Sallam bin Sulaiman al-Thawil al-Muzani (w. 171 H), Sallam belajar kepada empat orang, Abu Amr al-Bashri, Ashim bin Abi al-Najud, Ashim Abi al-Shabbah al-Jahdari dan Yunus bin Ubaid bin Dinar al-Bashri. Kedua nama terkahir ini belajar kepada Imam Hasan al-Bashri. Selain itu, al-Jahdari belajar kepada Sulaiman bin Qatah al-Taimi dan beliau belajar kepada Abdullah bin Abbas.
Kedua, Syihab bin Syurnafah al-Majasyi’I (w. 162 H), beliau belajar kepada dua imam: pertama, Abi Abdillah Harun bin Musa al-Atki al’A’war al-Nahwi (w. 198 H), Harun belajar kepada al-Jahdari, Abi Amr al-Bashri, Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhrami, kakeknya Imam Ya’qub, dan Yahya bin Ya’mur Nashr bin Ashim. Kedua, al-Ma’la bin Isa dari al-Jahdari.
Ketiga, Abi Yahya Mahdi bin Maimun (w. 171 H), beliau belajar kepada Syuaib bin bin al-Habhab al-Bashri (w. 130 H) dan Abi al-Aliyah al-Riyahi.
Keempat, Abi al-Asyhab Ja’far bin Hayyan al-Atharidi (w. 165 H), beliau belajar kapada Abi Raja’ Imran bin Malhan al-Atharidi (w. 105 H) dari Abi Musa al-Asy’ari dari Nabi Muhammad Saw.
Selain belajar kepada keeempat imam di atas, diceritakan bahwa beliau belajar langsung tanpa perantara kepada Imam Abu Amr al-Bashri, imam keempat qira’at sab’ah. Perjumpaan Abu Amr dan Ya’qub sebenarnya tidak mustahil sebab beliau berumur tiga puluh tujuh tahun saat Abu Amr wafat. Oleh sebab itulah, Imam al-Jazari menjadikan qira’at Abu Amr sebagai sumber dan pijakan (asal) dari qira’at Imam Ya’qub.
Begitu pula, diceritakan bahwa beliau juga belajar kepada Imam Hamzah dan al-Kisa’i dengan cara menyimak qira’atnya, tanpa membaca di hadapanya secara langsung.
Imam al-Jazari mengatakan dalam karyanya, “al-Nashr fi al-Qira’at al-Asyr” bahwa transmisi sanad di atas sangat tinggi dan sahih.
Perjalanan Imam Ya’qub dalam meniti karier keilmuan dan pengetahuan tidak semulus yang dibayangkan, ada sebagian imam yang menganggap bahwa qira’atnya termasuk qira’at syadzah, dan orang pertama kali melontarkan tuduhan tersebut adalah Imam Abu Amr al-Dani.
Imam al-Dzahabi menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menganggap syadz qira’at Imam Ya’qub adalah Imam Abu Amr al-Dani, namun para imam qira’at mengingkari pendapat ini, sehingga muncul dalam masalah ini sebuah perbedaan yang baru antar mereka. Oleh karena itu, menurut ulama mutaqaddimin qira’at Ya’qub adalah qira’at sahih sedangkan menurut ulama mutaakhkhirin qira’atnya adalah syadz.
Untuk mengkonter pendapat di atas, Imam al-Dzahabi menunjukkan fakta sejarah dan realita pada masa itu, dimana para ulama dari seluruh kalangan bahkan para khalifah menyetujui dan menerima qira’at Imam Ya’qub.
Imam al-Dzhabi dalam karyanya “Siyar A’lam al-Nubala’, menceritakan bahwa Imam Ya’qub mengajarkan qira’atnya kepada masyarakat di Bashrah secara terang-terangan pada masa Ibnu Uyainah, Ibnu al-Mubarak, Yahya al-Qaththan, Ibnu Mahdi, al-Qadhi Abi Yusuf, Muhammad bin Harun dan para ulama lainnya. Setelah dilakukan penelitian dan pemeriksaan tidak ada kabar yang sampai kepada kami bahwa kalangan para qari’, fuqaha’, orang-orang shaleh, ulama nahwu, para khalifah seperti Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-Makmun mengingkari qira’atnya dan melarangnya. Andai saja ada satu orang yang menginkari qira’atnya, niscaya akan terdengar dan terkenal, justru sebaliknya banyak ulama yang memuji qira’atnya, dan para murid-muridnya mengajarkannya di Iraq. Selain itu, para imam masjid Bashrah membaca qira’atnya (saat menjadi imam) dalam kurun waktu yang sangat lama. Tidak satupun orang muslim yang mengingkari qira’atnya, justru mereka menerima dan mempelajari qira’atnnya. Di samping itu, dibandingkan dengan Imam Hamzah, seorang imam qira’at sab’ah ke enam, dengan kebesaran dan kemulyaannya, para pembesar ulama ada yang mengingkari qira’atnya, hal ini tidak berlaku bagi bacaan Imam Ya’qub.
Dalam bidang hadits, ada banyak yang meriwayatkan dari Ya’qub salah satunya adalah Abu Hafs al-Fallas, Abu Qalabah dan Muhammad bin Ubbad.
Putra Abu Hatim berkata: “Bapakku dan Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya soal Imam Ya’qub, beliau berdua menjawab bahwa dia termasuk orang yang berpredikat “shaduq”.
Komentar Ulama
Perjalanan intelektual Imam Ya’qub diberbagai tempat majlis pengajian, mengantarkannya pada level yang sangat tinggi kedudukannya. Dia adalah seorang yang paling mengerti tentang qira’at Al-Qur’an, bahasa Arab, ilmu periwayatan, dialek Arab dan fiqh. Ia menduduki posisi tertinggi dalam bidang qira’at setalah masa Abu Amr al-Bashri. Selain dikenal sebagai ahli dan pakar qira’at Al-Qur’an, beliau juga sebagai imam masjid Bashrah dalam beberapa kurun waktu yang sangat lama. Oleh sebab itu, banyak ulama, baik yang semasa maupun yang hidup sesudahnya, memujinya.
Abu Hatim al-Sijistani berkata: “Saya berpendapat bahwa dia adalah orang yang paling mengerti soal huruf (bacaan), perbedaan qira’at, madzhab-madzhabnya, illat-illatnya dan madzhab-madzhab Nahwu. Dia juga orang yang paling mengerti soal perbedaan bacaan Al-Qur’an dan ucapan fuqaha’.
Selain al-Sijistani, Imam Abu Amr juga memberi komentar tentang Imam Ya’qub. Beliau menyampaikan bahwa masyarakat Bashrah banyak mengikuti bacaan Imam Ya’qub setelah wafatnya Imam Abu Amr. Kebanyakan dari mereka (masyarakat Bashrah) mengikuti madzhab bacaan Imam Ya’qub.
Abu Amr al-Dani melanjutkan komentarnya: “Saya mendengar Thahir bin Ghalbun berkata bahwa Imam Ya’qub adalah imam masjid jami’ di Bashrah, masyarakat di sana tidak membaca Al-Qur’an kecuali dengan qira’atnya. Kemudian Imam Al-Dani memperkuat ungkapan ini dengan menukil ucapan gurunya al-Khaqani dan Muhammad bin Muhammad bin Abdullah al-Ashbahani: “Sampai saat ini para imam masjid jami’ di Bashrah menggunakan qira’at Imam Ya’qub, kami pun masih sempat menyaksikannya”.
Imam al-Munadi di mukaddimah kitabnya “al-Ijaz wa al-Iqtishar fi al-Qira’at al-Tsaman” menceritakan bahwa Imam Ya’qub, pada masanya, adalah orang yang paling mahir soal Al-Qur’an, dalam ucapannya tidak tampak kesalahan dan al-Sijistani salah satu murid didikannya.
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad menyanjung Imam Ya’qub dengan gubahan sayair sebagaimana berikut:
أبوه من القرآء كان وجده *** ويعقوب فى القرآء كالكوكب الدري
تفرده محض الصواب ووجهه *** فمن مثله في وقته وإلى الحشر
“Bapak dan kakeknya adalah seorang ahli qira’at, dan Imam Ya’qub di kalangan para ahli qira’at adalah bintang yang cemerlang”
“Keunikan bacaanya (bacaan yang tidak sama dengan bacaan imam yang lain) dan wajah bacaannya adalah murni benar, maka siapa yang menyerupainya (menyamainya) pada masanya hingga hari dikumpulkan kelak”.
Keistimewaanya
Setiap kebenaran yang disampaikan dengan tulus dan ikhlas akan menampakkan kemulyaan bagi hamba-Nya. Hal ini tepat disematkan kepada Imam Ya’qub, ketulusannya dalam membimbing masyarakat Bashrah dan mengajarkan ilmu pengatahuan kepada mereka, meskipun sebagian mengannggap qira’atnya termasuk qira’at syadz, mengantarkannya pada derajat yang sangat tinggi.
Seorang akan tampak kemulyaannya bila ia kembali keharibaan Penciptanya, Allah Rabbul Izzah. Hal ini dibuktikan oleh al-Mazini yang dalam mimpinya dia diperintahkan oleh Nabi untuk membaca qira’at Imam Ya’qub.
Abu Utsman al-Mazini bercerita bahwa dia bermimpi bertemu Nabi Muhammad, dan membaca Al-Qur’an di hadapannya. Ketika sampai pada surat “Thaha” ayat 58, (مَكَانًا سِوًى), Nabi berkata: “Bacalah lafadz (سِوًى) dengan bacaan Imam Ya’qub, yaitu (سُوًى).
Ini menunjukkan bahwa qira’at Imam Ya’qub adalah bacaan yang dapat dipertanggung jawab kebenaran dan kesahihannya.
Murid-murid Imam Ya’qub.
Setelah melakukan perjalanan ilmiyah, Imam Ya’qub membuka majlis pengajian di masjid jami’ Bashrah hingga menduduki tempat tertinggi pada masanya setelah Abu Amr al-Bashri. Banyak penuntut ilmu yang datang dari berbagai belahan dunia islam untuk belajar kepadanya, salah satunya adalah: Zaid, putra saudaranya, Ahmad Umar al-Siraj, Abu Basyar al-Qathtan, Muslim bin Sufyan al-Mufassir, Muhammad bin al-Mutawakkil, yang dikenal dengan sebutan Ruwais, Rauh bin Abdul Mu’min, Abu Hatim al-Sijistani, Ayyub bin al-Mutawakkil, Ahmad bin Muhammad al-Zajjaj, Ahmad Syadzan, Abu Umar al-Duri.
Karya-karyanya
Selain meninggalkan karya berupa murid-murid yang berkualitas, Imam Ya’qub juga meninggalkan sebuah karya yang menjadi rujukan dalam bidang qira’at Al-Qur’an, yaitu: “al-Jami’”. Dalam karya ini terhimpun beberapa perbedaan wajah-wajah qira’at dan menisbatkan setiap bacaan kepada perawinya.
Setelah mengabdikan dirinya mengajar dan membimbing umat dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, sang pemilik jiwa dan raga, Allah Swt,. memanggilnya kembali keharibaan-Nya pada bulan dzul Hijjah tahun 205 H, pada umur 88 Tahun. Menurut cerita, keluarga Imam Ya’qub wafat pada umur yang sama, yaitu 88 tahun; bapaknya, Ishaq bin Abdullah, wafat saat berumur 88 tahun, kakeknya, Abdullah bin Abi Ishaq, juga wafat saat berumur 88 dan buyutnyapun wafat saat berumur 88 tahun. Tidak ditemukan rahasia apa dibalik kesamaan ini, hanya Allah pemilik pengetahuan.
Perawi Imam Ya’qub al-Hadhrami
Ruwais
Nama lengkapnya, Muhammad bin al-Mutawakkil al-Lu’lu’ al-Bashri. Ia dikenal dengan panggilan Abu Abdillah. Julukannya Ruwais. Beliau merupakan perawi pertama qira’at Imam Ya’qub.
Perjalanan inteletual Ruwais diawali dari satu guru ke guru yang lain di kampung halamannya. Dalam bidang Al-Qur’an dan qira’atnya, Imam Ruwais belajar kepada Ya’qub al-Hadhrami. Diantara murid-murid Ya’qub, dia termasuk murid yang cerdas. Untuk memastikan kebenaran status Imam Ruwais, suatu ketika Imam al-Zuhri bertanya kepada Abu Hatim tentang Ruwais, apakah dia belajar kepada Imam Ya’qub ?. Abu Hatim menjawab, iya, dia belajar dan membaca bersama kami, bahkan menghatamkan Al-Qur’an beberapa kali. Dia tinggal di Bani Mazin, saya berpedoman dengan periwayatannya.
Ruwais adalah seorang qari’ yang cerdik dan menjadi panutan masyarakatnya dalam bidang qira’at. Oleh sebab itulah, Imam al-Qashsha’ berkomentar: “Dia adalah seorang qari’ yang masyhur dan agung”.
Setelah menempa ilmu dan pengetahuan kepada Imam Ya’qub, Imam Ruwais membuka majlis pengajian di kampung halamannya. Banyak penuntut ilmu yang belajar kepadanya, salah satunya adalah Muhammad bin Harun al-Timar, Abu Abdillah al-Zubair bin Ahmad al-Zubairi al-Syafi’I.
Beliau wafat di Bashrah pada tahun 238 H.
Rauh
Nama lengkapnya, Rauh bin Abdul Mu’min al-Hudzali al-Bashri al-Nahwi. Dia lebih dikenal dengan panggilan Abu al-Hasan. Beliau merupakan perawi kedua Imam Ya’qub dan termasuk salah satu murid seniornya yang paling tsiqah.
Dalam bidang Al-Qur’an dan Qira’atnya, guru utamanya adalah Ya’qub al-Hadhrami. Kepadanya ia menempa ilmu dan pengetahuan secara tulus hingga kemudian ia dikenal sebagai muqri’ agung, tsiqah, masyhur dan dhabit.. Selain belajar kepada Ya’qub, beliau juga meriwayatkan beberapa bacaan (huruf) dari Ahmad bin Musa dan Abdullah bin Muadz. Kedua gurunya ini telah belajar langsung kepada Abu Amr al-Bashri.
Dalam bidang hadits, beliau meriwayatkan hadits dari Abi Awanah, Hammad bin Yazid dan Ja’far bin Sulaiman al-Dhaba’i.
Begitu pula, banyak ulama yang menukil dan meriwayatkan hadits-haditsnya, termasuk salah satunya adalah Imam Bukhari dalam kitab shahihnya.
Selain sebagai qari’, beliau juga dikenal luas sebagai muhadditsin. Maka tak ayal, banyak para penuntut ilmu yang datang belajar kepadanya, baik dalam bidang Al-Qur’an maupun hadits, salah satunya adalah: al-Thayyib bin Hamdan al-Qadhi, Abu Bakar Muhammad bin Wahb al-Tsaqafi, Muhammad bin Hasan bin Ziyad, Ahmad bin Yazid al-Hulwani, Abdullah bin Muhammad al-Za’farani, Muslim bin Maslamah, al-Hasan bin Muslim dan lainlainya.
Rauh bin Abdul Mu’min wafat pada tahun 235 H. []
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar