Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme diartikan sebagai suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri; atau kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial dan actual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. Dengan kata lain, nasionalisme merupakan sebuah paham dan semangat kebangsaan yang disertai rasa cinta tanah air dan bangsanya.
Di dalam syariat Islam, watak dan jiwa nasionalisme Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam digambarkan sekilas melalui Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 85. Allah SWT berfirman:
اِنَّ الَّذِيْ فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لَرَاۤدُّكَ اِلٰى مَعَادٍ ۗقُلْ رَّبِّيْٓ اَعْلَمُ مَنْ جَاۤءَ بِالْهُدٰى وَمَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Artinya, "Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali. Katakanlah (Muhammad), ‘Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata” (QS al-Qashash [28] ayat 85).
Para ulama tafsir, seperti ath-Thabari (w. 310 H), dalam kitab Tafsir ath-Thabari, menampilkan dua aliran riwayat tafsir, yang masing-masing memiliki hasil penakwilan yang berbeda. Uniknya semua riwayat tersebut disandarkan pada sahabat dan tabi'in pembawa riwayat tafsir yang masyhur, seperti Ibnu Mujahid, Ibnu Abbas, Sa'id ibn Jubair, Ikrimah, dan lainnya. Kita ambil sampel kedua riwayat tafsir tersebut untuk memperjelas kajian kita. Perlu diketahui, bahwa kedua aliran itu berbeda dalam memberikan takwil terhadap lafadh ilal-ma'âd. Pertama, mereka yang menakwilkan lafadh al-ma'âd sebagai akhirat atau surga. Kedua, mereka yang menakwilkan al-ma'âd sebagai al-maut (kematian). Ketiga, mereka yang menakwilkan al-ma'âd sebagai Makkah di mana Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diusir oleh kaumnya dari kota tersebut sehingga terjadilah peristiwa hijrah.
Penting untuk diketahui bahwa Surat al-Qashash ini merupakan surat yang masuk kategori Makkiyah, terdiri atas 88 ayat. Dengan demikian, masuk akal bila ayat ini turun pada peristiwa Hijrah.
Pertama, ulama tafsir yang menakwilkan al-ma'âd sebagai akhirat dan hari kiamat. Dasar penakwilan ini, sebagaimana dikutip oleh ath-Thabari (w. 310 H) di kitab tafsirnya Juz 10, halaman 117-118, sebagai berikut:
عن ابن عباس ﴿لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: إلى معدنك من الجنة
Artinya, "Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa makna ayat (larâddûka ilâ ma’âd), maksudnya adalah kembali kepada asal kejadianmu, yaitu surga."
عن سعيد بن جُبَيْر، عن ابن عباس، قال: إلى الجنة
Artinya, "Dari Sa'îd ibn Jubair, dari Ibnu Abbâs, ia berkata: (kembali) ke surga."
عن ابن عباس، عن أبي سعيد الخدرّي ﴿لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: معاده آخرته الجنة
Artinya, "Dari Ibnu Abbas, dari Sa'îd alKhudri, bahwa Larâddûka ila ma’âd, maksud dari tempat kembalinya nabi itu, ya akhiratnya, yaitu surga."
عن سفيان، عن السدي، عن أبى مالك، في ﴿إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: إلى الجنة ليسألك عن القرآن.
Artinya, "Dari Sufyan, dari al-Saddi, dari Abu Mâlik, tentang ayat inna al-ladzi faradla 'alaika Al-Qur’an larâdduka ila ma'âd. Ia berkata: ke surga untuk mempertanggungjawabkanmu tentang Al-Qur’an."
عن مجاهد: ﴿لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: يجيء بك يوم القيامة
Artinya: "Dari Mujahid, tentang larâddûka ila ma'ad, maksudnya adalah datang denganmu di hari kiamat."
Dan masih banyak lagi riwayat tafsir lainnya yang mendukung penakwilan dari para ulama ahli tafsir yang mengikuti aliran ini.
Kedua, mereka yang menakwilkan sebagai al-maut. Dasar riwayat tafsir ini adalah sebagai berikut:
عن ابن عباس: ﴿لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: الموت
Artinya: "Dari Ibnu Abbas: larâddûka ilâ ma’âd, artinya: kematian.”
ثنا سفيان بن سعيد الثوري، عن الأعمش، عن سعيد بن جُبَيْر، عن ابن عباس: ﴿لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: الموت
Artinya: "Sufyan ibn Sa'id al-Tausri telah bercerita kepadaku, dari al-A'mas, dari Sa'id ibn Jubair dari Ibn Abbâs: larâddûka ilâ ma’âd, artinya: kematian."
عن أبي جعفر، عن سعيد: ﴿لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: إلى الموت.
Dari Abu Ja'far, dari Sa'id: larâddûka ilâ ma’âd, artinya: kepada kematian."
Dan lain-lain masih banyak lagi riwayat lainnya.
Ketiga, dasar riwayat ulama tafsir yang menakwilkan sebagai Makkah.
Ada banyak riwayat tafsir yang digunakan oleh kelompok mufassir kedua ini. Semua riwayat juga sama-sama disandarkan pada para perawi tafsir sahabat dan tabiin di atas.
عن عكرمة، عن ابن عباس: ﴿لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: إلى مكة
Artinya, "Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: ‘Larâddûka ila ma’âd bermakna kembali ke kota Makkah."
عن ابن عباس ﴿لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ﴾ قال: يقول: لرادك إلى مكة، كما أخرجك منها.
Artinya, "Dari Ibnu Abbas, Larâddûka ila ma’âd", bisa dimaknai sebagai akan mengembalikanmu kembali ke Makkah, sebagaimana engkau pernah diusir darinya."
عن مجاهد، قال: مولده بمكة.
Artinya: "Dari Mujâhid, ia berkata: kembali ke tempat beliau dilahirkan, yaitu Makkah."
Dan lain sebagainya, masih banyak lagi riwayat tafsir yang menguatkan penakwilan ulama tafsir aliran kedua ini. Nah, bagaimana para ulama tafsir memberikan kesimpulan terhadap berbagai riwayat ini?
Ath-Thabari (w. 310 H)
Setelah memperhatikan berbagai riwayat tafsir di atas, ath-Thabari menarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:
والصواب من القول في ذلك عندي: قول من قال: لرادّك إلى عادتك من الموت، أو إلى عادتك حيث ولدت، وذلك أن المعاد في هذا الموضع: المفعل من العادة، ليس من العود، إلا أن يوجه موجه تأويل قوله: ﴿لَرَادُّكَ﴾ لمصيرك، فيتوجه حينئذ قوله: ﴿إِلَى مَعَادٍ﴾ إلى معنى العود، ويكون تأويله: إن الذي فرض عليك القرآن لمصيرك إلى أن تعود إلى مكة مفتوحة لك
Artinya: "Dari semua uraian yang telah disebutkan di atas, maka penakwilan yang benar menurut pertimbanganku, adalah: pendapat ulama yang mengatakan bahwa larâdduka ila ma'âd adalah "pasti mengembalikanmu ke tempat asal kejadianmu yaitu kematian, atau kembali ke tempat kamu dilahirkan. Demikian ini dikarenakan lafadh al-ma'âd itu menunjuk pada suatu tempat: yaitu tempat asal muasal. Lafadh itu bukan berasal dari lafadh al-'aud (kembali) kecuali jika seseorang mengarahkan pemaknaan lafadh larâdduka sebagai mashîruka (tempat asal kamu dijadikan). Jika demikian pemaknaannya, maka lafadh ilâ ma'âd dapat menjadi berarti kepada asal kejadian. Walhasil, dengan cara pemaknaan semacam, maka ayat tersebut menjadi ditakwil sebagai: Sesungguhnya Dzat yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, pasti akan mengembalikanmu ke tempat asalmu dilahirkan, yaitu Makkah dengan cara dibedahnya Kota Makkah untukmu." (Syeikh Ibn Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971, Juz 10, halaman 119).
Syamsudin al-Qurthubi (w. 671 H)
Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir al-Qurthubi, menyatakan bahwa ayat di atas ditafsirkan sebagai kembali ke kota Makkah, meskipun juga tidak menampik adanya takwil yang lain. Ia menyatakan sebagai berikut:
خَتَمَ السُّورَةَ بِبِشَارَةِ نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ ﷺ بِرَدِّهِ إِلَى مَكَّةَ قَاهِرًا لِأَعْدَائِهِ. وَقِيلَ: هُوَ بِشَارَةٌ لَهُ بِالْجَنَّةِ. وَالْأَوَّلُ أَكْثَرُ
Artinya: "Surat ini diakhiri dengan sebuah kabar bahagia bagi Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan dikembalikan lagi ke kota Makkah, dengan jalan mengalahkan musuh-musuhnya. Dikatakan juga bahwa ayat ini merupakan kabar bahagia bagi Baginda Nabi berupa tempat kembali yaitu surga. Namun, penafsiran yang pertama, adalah yang paling banyak dari kalangan ulama" (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt. juz 13, halaman 320). Muqâtil (w. 150 H)
Sebagaimana dinukil oleh al-Qurthubi (w. 671 H), Muqatil (w. 150 H) meriwayatkan tentang sejarah turun dari ayat di atas sebagai berikut:
قَالَ مُقَاتِلٌ: خَرَجَ النَّبِيُّ ﷺ مِنَ الْغَارِ لَيْلًا مُهَاجِرًا إلى المدينة في غير طريق مَخَافَةَ الطَّلَبِ، فَلَمَّا رَجَعَ إِلَى الطَّرِيقِ وَنَزَلَ الْجُحْفَةَ عَرَفَ الطَّرِيقَ إِلَى مَكَّةَ فَاشْتَاقَ إِلَيْهَا، فَقَالَ لَهُ جِبْرِيلُ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: "إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرادُّكَ إِلى مَعادٍ" أَيْ إِلَى مَكَّةَ ظَاهِرًا عَلَيْهَا
Artinya: "Muqatil berkata: Nabi keluar dari Gua Tsur di malam hari dalam perjalanan hijrah menuju Madinah melewati jalanan yang tidak dikhawatirkan tertangkap (pasukan Quraisy). Ketika beliau kembali ke jalan itu, beliau menurunkan sisa bekal minuman yang dibawa, lalu memandang ke belakang ke arah kota Makkah sembari diliputi rasa rindu kepada kota itu. Lalu turun Jibril alahissalam, seraya berkata: "Sesungguhnya Allah Dzat yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, pasti akan mengembalikanmu ke tempat asal kelahiranmu", yaitu ke Makkah, secara tegas hal ini disampaikan" (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt. juz 13, halaman 321).
Ismail Haqqi, Pengarang Tafsir Ruh al-Bayan
Ketika menafsirkan ayat ini, Ismail Haqqi memberikan pernyataan secara tegas bahwa:
وفي تفسير الآية إشارة إلى أن حب الوطن من الإيمان
Artinya: "Tafsir ayat ini memberikan isyarat bahwa sesungguhnya cinta tanah air adalah bagian dari iman" (Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Beirut: Dâr Thauq al-Najâh, 2001, juz 21, halaman 320).
Kesimpulan
Berdasarkan tinjauan penafsiran ini, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa QS Al-Qashash [28] ayat 83 di atas adalah menceritakan bagaimana kecintaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas tanah airnya, yaitu Makkah. Terbukti dari rasa rindu beliau saat perjalanan melaksanakan hijrah. Cinta tanah air merupakan watak dasar dari nasionalisme tersebut. Dengan demikian, nasionalisme merupakan bagian dari syariat, sebagaimana Baginda Rasul juga pernah rasakan atas bumi kelahiran beliau, Makkah. Wallahu a'lam bi al-shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar