Selasa, 22 Juni 2021

Nasaruddin Umar: Makna Esoterik Al-Qur'an (2) Menimbang Makna Eksoterik dan Esoterik Al-Qur'an

Makna Esoterik Al-Qur'an (2)

Menimbang Makna Eksoterik dan Esoterik Al-Qur'an

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Kita tidak bisa memutlakkan salah satu dari dua model penafsiran lebih baik daripada yang lainnya, karena kapasitas kita sebagai manusia, apalagi sudah tidak ada lagi nabi yang hidup di samping kita untuk mengkonfirmasi mana yang paling tepat di antara kedua pendekatan, antara pendekatan eksoterik dan pendekatan esoterik.

 

Di dalam Al-Qur'an surah Al-Kahfi (18) banyak diceritakan kisah-kisah metafor yang memerlukan ekstra nalar di dalam memahaminya. Di antaranya ialah kisah Nabi Musa dan Khidhir, yang serupa dengan cerita Elias dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Orang yang sepintar Nabi Musa diminta Allah untuk belajar kepada Khidhir, sosok figur yang sama sekali tidak terkenal. Khidhir mensyaratkan kepada Nabi Musa jika hendak belajar darinya agar jangan mengajukan pertanyaan atas berbagai even kejadian yang akan dilaluinya.

 

Namun Nabi Musa selalu mempertanyakan bahkan mencerca tindakan gurunya yang menyalahi pikiran normalnya. Mengapa Khidhir melubangi perahu milik orang-orang miskin, mengapa membunuh anak kecil yang tidak berdosa, dan mengapa menghabiskan energi memugar reruntuhan bangunan tua lalu ditinggalkan begitu saja? Nabi Musa meminta maaf dalam kasus pertama dan kedua atas kelancangannya melontarkan cercaan dan pertanyaan.

 

Namun pada perbuatan ketiga Nabi Musa tidak lagi meminta maaf dan pada saat itulah Khidhir memutuskan untuk menghentikan perjalanan Bersamanya dengan Nabi Musa. Namun sebelum berpisah, Khidhir menjelaskan tujuan perbuatannya. Akhirnya Nabi Musa mengakui keterbatasannya untuk memahami tindakan Khidhir. Ia sadar ternyata di atas langit masih ada langit dan di dalam kulit masih ada lapisan kulit lain yang menutupi isi.

 

Figur Nabi Musa melambangkan eksoterisme yang bersifat formal-logic dan figure Khidhir melambangkan esoterisme yang bersifat metafisik-batiniyah. Kisah tersebut menyadarkan kita bahwa esoterisme tidak dapat dijangkau dengan metodologi dan epistimologi eksoterik. Seperti dikatakan Nasr, esoterisme mempunyai logikanya sendiri yang tak dapat difahami oleh pendekatan lahiriah semata. Esoterisme menuntut adanya kontemplasi lebih mendalam untuk memahami suasana batin diri sendiri.

 

Dari kedalaman itulah nanti akan membantu memahami teks-teks suci sebagaimana tertuang di dalam kitab-kitab suci, khususnya Al-Qur'an.


Berbeda dengan Nabi Musa, epistimologi Khidhir tidak lagi mengandalkan logika. Bukannya Khidhir anti logika tetapi sudah melewati fase logika itu. Selama orang masih berkutat di dunia logika maka selama itu sulit untuk menembus hijab-hijab yang jumlahnya menurut hadis Nabi sebanyak 70 lapis. Menurut Imam Al-Gazali, ilmu hushuli, yaitu ilmu yang hanya diperoleh melalui olah nalar, tidak disertai olah batin, akan menjadi hijab yang yang amat tebal untuk ditembus para pencari Tuhan (salikin). Dengan kata lain, ilmu-ilmu logika sulit mengantarkan seseorang untuk menyingkap tabir rahasia Tuhan (mukasyafah), termasuk untuk memahami makna batin Al-Qur'an.

 

Khidhir meninggalkan Musa merupakan peristiwa simbolik. Khidhir tidak memberikan ijazah kelulusan terhadap muridnya, Musa, bahkan terkesan gagal dengan ketidakmampuannya mengikuti aturan Khidhir, akan tetapi justru itu merupakan "tanda lulus" karena Nabi Musa sudah menyadari bahwa di atas langit masih ada langit. Dengan begitu, Musa terus akan mencari sendiri jalan ma'rifahnya menuju puncak ketinggian. Karena memang semakin ke puncak semakin memerlukan pendekatan dan kemampuan personal.

 

Mursyid atau sang guru biasanya hanya menuntun sampai ke leher gunung tetapi ke puncak diperlukan kekuatan pribadi. Sama dengan Jibril, hanya mengantar sampai ke maqam khusus para malaikat, tetapi ke puncak (Sidratil Muntaha) Nabi Muhammad ditentukan sendiri jalannya oleh Sang Pengundang, Allah Swt. Fungsi Khidhir terhadap Nabi Musa seperti fungsi Jibril terhadap Nabi Muhammad Saw, yaitu mengantar ke leher gunung untuk sampai ke puncak seorang diri.

 

Hikmah yang bisa diperoleh di balik kisah Nabi Musa dan Khidhir ialah: 1) Tinggalkan logika jika ingin mukasyafah. Selama masih ada logika maka hijab tidak akan tersingkap secara keseluruhan. 2) Tujuan akhir dan merupakan puncak pencarian anak manusia sesungguhnya bukan dunia lahiriah tetapi dunia batiniah. Kepuasan puncak adalah kepuasan rohani. 3) Khidhir adalah figur personal simbolik. Khidhir secara kebahasaan berarti "kehadiran", seakar kata dengan hadhir yang semakna dengan bahasa Indonesia "hadir".

 

Boleh jadi hati nurani kita sendiri adalah Khidhir bagi kita. Siapapun biasa menjadi Khidhir dan setiap orang mempunyai Khidhirnya masing-masing. Jika Allah Swt akan menuntun hambanya maka Ia akan mengutus Khidhir untuknya. Khidhir sesungguhnya ialah sahabat spiritual kita, siapapun dan apapun dia, pantas untuk dijadikan pembelajaran penting. Allahu a'lam. []

 

DETIK, 11 Juni 2021

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar