Empat Pilar untuk Harmonisasi dan Keluhuran Budaya Bangsa
Oleh: Bambang Soesatyo
Ketika semakin banyak elemen masyarakat menyuarakan 'NKRI Harga Mati', aspirasi ini hanya memperjelas adanya persoalan pada aspek harmoni dalam dinamika kehidupan masyarakat. Benih disharmoni muncul karena adanya pandangan atau pengajaran yang bertentangan dengan keagungan, keluhuran, dan kearifan budaya bangsa sebagaimana sudah terpatrikan dalam Empat Pilar.
Keagungan, keluhuran, dan kearifan budaya bangsa Indonesia sejak awal sudah
dibingkai oleh para bapak bangsa dalam Empat Pilar, yakni Pancasila, UUD 1945,
NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat Pilar adalah rahim budaya bangsa. Rahim
yang kodrati, mempertautkan persaudaraan putra-putri ibu pertiwi dari Sabang
hingga Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote. Putra-putri sebangsa dan
satu Tanah Air yang adab dan laku hidupnya berlandaskan Ketuhanan yang Maha
Esa, peduli sesama, santun, toleran di tengah keberagaman, bersemangat gotong
royong, dan menjadikan musyawarah sebagai keutamaan.
Catatan sejarah memberi bukti kepada generasi sekarang dan generasi penerus
bahwa komunitas internasional lebih mengenal masyarakat Indonesia sebagai
komunitas yang adat ketimurannya sangat kental sehingga sangat ramah, santun,
dan terbuka. Bukan komunitas yang senang berperilaku menista atau menghina
komunitas lain. Sekarang pun, sebagian besar masyarakat Indonesia sejatinya
masih memegang teguh nilai-nilai luhur itu.
Rahim Empat Pilar itu pula menjadi bagian tak terpisah dari proses terwujudnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang mencakup 16.056 pulau dan 801
bahasa daerah dan akar budaya lokal, dengan Bahasa Indonesia dan budaya
Nusantara sebagai budaya dan bahasa pemersatu. Fakta ini layak dipahami sebagai
Karya Agung Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jadi, patut digarisbawahi oleh generasi terkini dan generasi masa depan bahwa
NKRI terbentuk karena kesadaran dan kehendak bersama masyarakat dari belasan
ribu pulau besar maupun pulau kecil, dengan akar budaya dan bahasa lokal yang
sangat beragam. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang bisa mempersatukan
keberagaman berskala besar itu, kalau bukan karena kehendak Tuhan Yang Maha
Esa.
Di masa lalu, NKRI memang pernah dicobai atau dirongrong. Namun, upaya para
petualang memecah NKRI selalu gagal karena masyarakat pun menolak dan tetap
bersetia menjadi bagian tak terpisah dari Republik Indonesia. Kini, dengan
menyuarakan aspirasi 'NKRI Harga Mati' itu, sebagian besar elemen masyarakat
kembali bersikap tegas untuk menyatakan Empat Pilar dan NKRI itu sudah final
dan menjadi kewajiban generasi sekarang juga generasi penerus untuk menjaga dan
merawat eksistensi NKRI, termasuk mempertahankan dan merawat keagungan,
keluhuran, dan kearifan budaya bangsa.
Aspirasi 'NKRI Harga Mati' itu memang harus disuarakan mayoritas masyarakat
untuk menanggapi upaya kelompok-kelompok tertentu merusak nilai-nilai luhur
dari Empat Pilar itu. Upaya merusak itu masih terdengar dan terlihat. Isu
khilafah belum dapat dikatakan sepenuhnya sudah hilang. Setelah isu khilafah,
berlanjut dengan ulah sekelompok orang yang dengan seenaknya menuduh orang lain
sebagai komunitas kafir hanya karena beda keyakinan dan beda budaya. Tuduhan
kafir bahkan tak jarang melebar hingga ke produk dan jasa tertentu.
Pandangan dan pengajaran yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Empat Pilar
itu kemudian dieskalasi dengan ajakan memusuhi negara dan pemerintah. Bahkan,
kewajiban warga negara menghormati Bendera Merah Putih pun sempat
dipermasalahkan. Masyarakat tentu memiliki sejumlah catatan lainnya tentang
pandangan atau pengajaran yang menentang nilai-nilai luhur Empat Pilar.
Baru-baru ini, masyarakat pemerhati sempat terusik karena kewajiban warga
negara menyanyikan Indonesia Raya juga dipersoalkan. Belum reda masalah ini,
muncul lagi pandangan sesat lainnya yang juga sempat diviralkan, yakni
pandangan yang menyalahkan nilai dan makna sungkem kepada orang tua. Pokoknya,
dalam pandangan orang yang mengaku paling suci dan paling benar sendiri itu,
penghormatan warga negara kepada simbol negara dan sungkem kepada orang tua itu
tidak benar.
Tentu saja pandangan dan pengajaran seperti itu menyulut pro-kontra dan
pro-kontra itu menyebabkan disharmoni di tengah masyarakat. Maka, jadilah ruang
publik bising dan banjir ujaran kebencian. Persepsi tentang masyarakat
Indonesia yang ramah, santun, dan toleran pun tercoreng, karena ada kelompok
yang memanfaatkan media sosial untuk menyemburkan ujaran kebencian,
diskriminasi, menyebarluaskan hoaks serta penipuan.
Sebuah survei pernah melaporkan bahwa warganet Indonesia termasuk kelompok paling
tidak sopan ketika memanfaatkan media sosial. Lebih dari itu, muncul pula
anggapan bahwa sebagian masyarakat Indonesia telah berubah menjadi komunitas
yang gampang marah dan tak jarang berperilaku beringas. Semua kecenderungan ini
bukan lagi rahasia, melainkan sudah menjadi pengetahuan bersama.
Memang, dalam jumlah yang terus membesar, sebagian masyarakat Indonesia telah
tercabut dari akar budayanya yang luhur dan penuh kearifan itu. Hal ini terjadi
karena mereka terus dicekoki pandangan dan pengajaran yang bertentangan
nilai-nilai luhur Empat Pilar. Mereka telah 'dipaksa' melupakan warisan agung
dari para leluhur mereka sendiri. Padahal, warisan agung itu sendiri adalah
karunia Sang Pencipta yang menjadi fondasi kokoh bagi terwujudnya kehidupan bersama
yang harmonis di tengah keberagaman.
Maka, selain sebagai masalah kekinian, kecenderungan itu tentu saja harus
disikapi sebagai tantangan bersama. Jangan lari dari masalah itu, dan jangan
juga masalahnya dianggap biasa-biasa saja. Sesulit apa pun akar masalahnya,
tetap harus dihadapi dan disikapi dengan bijaksana. Kecenderungan menista dan
menghina orang lain sejatinya bukanlah kepribadian Indonesia, dan karenanya
tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Bukankah semua orang pada dasarnya
mendambakan kehidupan bersama yang harmonis.
Dengan begitu, tantangan paling utama bagi semua elemen masyarakat sekarang ini
adalah mengedepankan kehendak baik, dengan mengupayakan dan mewujudkan
harmonisasi dalam kehidupan bersama. Semua institusi negara yang berwenang dan
relevan, termasuk institusi keagamaan, diharapkan lebih memberi perhatian pada
masalah ini.
Oleh karena NKRI sudah final dan 'Harga mati', harmonisasi kehidupan bersama
harus menjadikan Empat Pilar sebagai pijakan filosofisnya. MPR RI, misalnya,
terus aktif menyosialisasikan hakikat dan makna Empat Pilar. Institusi lainnya
pun diharapkan bergerak menyosialisasikan makna Empat Pilar. Institusi hukum
juga diharapkan proaktif dan persuasif menyikapi semua pihak yang bertindak
atau berperilaku menentang nilai-nilai luhur Empat Pilar. Rongrongan terhadap
nilai-nilai luhur Empat Pilar tidak boleh lagi dibiarkan.
Perubahan zaman memang tak terhindarkan, tetapi budaya Indonesia yang agung dan
luhur itu harus terjaga eksistensinya. Dia tidak boleh dirusak oleh siapa pun
dan atas nama apa pun. []
DETIK,
17 Juni 2021
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar