Membaca surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an. Demikian bunyi hadits dalam Shahih Bukhari (6/189) yang sering disampaikan oleh sementara orang untuk memberikan legitimasi bahwa surat al-Ikhlas adalah surat yang diistimewakan dalam Al-Qur’an di samping surat-surat yang lain. Sehingga, banyak orang beranggapan bahwa dengan membaca surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, padahal dalam hadits yang lain dinyatakan bahwa membaca satu huruf Al-Qur’an sebanding dengan sepuluh kebaikan. Jadi, jika dikalkulasi secara matematis tentu saja membaca sepuluh juz lebih banyak pahalanya daripada hanya satu Surat al-Ikhlas.
Apakah hadits itu benar-benar dipahami sebagai legitimasi mengistimewakan surat al-Ikhlas dibanding surat-surat yang lain. Apakah ada surat-surat yang diistimewakan dalam Al-Qur’an dibandingkan surat-surat yang lain?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama menyatakan tidak sebaiknya mengunggulkan sebagian ayat Al-Qur’an atas ayat Al-Qur’an yang lain atau surat Al-Qur’an atas surat Al-Qur’an yang lain. Pendapat ini diwakili oleh Ibnu Abdil Bar (w. 463 H), Abul Hasan al-Asy’ari (w. 324 H), al-Qadi Abu Bakar (w. 402 H), Ibnu Hibban (w. 354 H) dan sekelompok para fuqaha. Dalam pertanyaannya mereka berpendapat bahwa tidak ada keunggulan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, antara surat yang satu dengan yang lain. Sebab semuanya adalah kalam Allah yang Mahakuasa.
Pernyataan ini diperkuat oleh ungkapan Imam Yahya bin Yahya (w. 234 H) yang mengatakan bahwa mengunggulkan sebagian ayat Al-Qur’an atas ayat Al-Qur’an yang lain adalah sebuah kesalahan.
قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى: تَفْضِيلُ بَعْضِ الْقُرْآنِ عَلَى بَعْضٍ خَطَأٌ،
Artinya: “Mengunggulkan sebagian Al-Qur’an atas Al-Qur’an yang lain adalah salah.”
Untuk memperkuat pendapatnya ini, mereka berdalih bahwa jika ada ayat atau surat yang diunggulkan tentu saja ada ayat atau surat yang tidak diunggulkan, sebab adanya sesuatu yang unggul menunjukkan adanya kekurangan pada yang tidak diunggulkan. Sementara Kalam Allah merupakan satu realitas dan esensi yang tidak memiliki kekurangan (Imam al-Qurtubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 1: 109)
Ibnu Abdil Bar (w. 463 H) menyatakan bahwa makna hadits dari “membaca satu kali surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an” adalah sebanding dalam soal pahala, tapi bukan berarti apa yang Allah berikan pahala kepadanya atas perbuatannya itu sendiri namun itu tidak lain adalah karunia yang Allah berikan kepada setiap hamba yang dikehendaki-Nya (Abdul Azizi al-Muzaini, Mabahits fi Ilmi al-Qir’at/250).
Senada dengan Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hibban (w. 354 H) memberikan pemaknaan yang sangat bagus dengan mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab (w. 30 H):
مَا فِي التَّوْرَاةِ، وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ، مِثْلُ أُمِّ الْقُرْآنِ
Dalam hadits di atas dinyatakan bahwa tidak ada dalam kitab Taurat dan juga di kitab Injil seperti Ummul Qur’an (al-Fatihah). Menurut Ibnu Hibban (w. 354 H), Allah tidak memberi pahala kepada pembaca kitab Taurat dan juga Injil seperti pahala yang diberikan kepada pembaca Ummul Qur’an (al-Fatihah), sebab Allah mengunggulkan umat ini (Nabi Muhammad) daripada umat yang lain (Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban/1/ 54).
Demikian pula dengan hadits:
أَلَا أُعَلِّمُكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ؟
" فَقُلْتُ: بَلَى، فَقَالَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ،
هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي، وَالْقُرْآنُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
Artinya: “Maukah kau aku beritahu ‘surat yang paling agung’ di dalam Al-Qur’an? Lalu beliau bersabda, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, dia adalah tujuh yang diulang dan Al-Qur’an al-‘Adzim yang diberikan kepadaku,” (HR. Bukhari)
Menurut Ibnu Hibban (w. 354 H) yang dimaksud dengan kata (أَعْظَمُ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ) adalah besarnya pahala yang diberikan kepada pembacanya bukan karena sebagian surat Al-Qur’an lebih unggul daripada surat yang lain (Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban/3/ 56).
Sementara pendapat yang lain menyatakan adanya keistimewaan ayat atau surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an. Pendapat ini diwakili oleh sebagian besar ulama salaf dan khalaf.
Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w.911 H) berkata: “Sebagian ulama seperti Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Bakar bin al-Arabi (w. 543 H) dan al-Ghazali (w. 505 H) berpendapat adanya keunggulan atau dan keistimewaan dalam ayat atau surat dalam Al-Qur’an. Hal ini melihat pada dhahir teks hadits. Pendapat ini diperkuat oleh ungkapan Imam Al-Qurtubi (w. 671 H) bahwa pendapat ini adalah yang benar (haq). Pernyataan al-Qurtubi ini didukung oleh sekelompok ulama dan para mutakallimin (Imam Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an/4/136).
Untuk memperkuat pendapat di atas, mereka mengajukan beberapa argumentasi dari teks- teks hadits sahih tentang adanya keistimewaan ayat atau surat dalam Al-Qur’an.
Hadits tentang keunggulan surat al-Ikhlas yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ رَجُلًا سَمِعَ رَجُلًا يَقْرَأُ: {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} يُرَدِّدُهَا، فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ»
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki (Abu Said al-Khudri) mendengar seseorang (Qatadah bin Nu’man) membaca surat al-Ikhlas yang diulang-ulang. Ketika masuk waktu pagi, ia datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyampaikan perihal tersebut.--Dia (Abu Said Al-Khudri) seakan-akan meringkas bacaannya--. Nabi bersabda: “Demi jiwaku dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya surat al-Ikhlas itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an”. (Imam Bukhari, Shahih Bukhari/6/189).
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Mu’alla tentang keutamaan dan keunggulan sebuah surat dalam al-Qur’an.
عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ المُعَلَّى، قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي، فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي، قَالَ: " أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ: اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ؟ "، ثُمَّ قَالَ: «أَلاَ أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي القُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ المَسْجِدِ»، فَأَخَذَ بِيَدِي، فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ قُلْتَ: «لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ» قَالَ: «الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ، هِيَ السَّبْعُ المَثَانِي، وَالقُرْآنُ العَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ»
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Said bin al-Mu’alla, dia berkata: suatu ketika aku sedang shalat, Nabi memanggilku tapi aku tidak meresponnya. Seusai shalat aku menghampiri Nabi dan berkata: Wahai utusan Allah, sesungguhnya (tadi) aku sedang shalat. Nabi berkata: bukankah Allah berfirman “Penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila Dia memanggil kalian” ?. Kemudian Nabi bersabda: apakah kamu mau Aku ajarkan surat yang paling agung dalam Al-Qur’an sebelum kamu keluar dari masjid ini?. Kemudian Nabi memegang tanganku. Ketika kami hendak keluar (masjid). Aku matur kepada Nabi: Ya Rasulallah, sungguh Panjenangan tadi menyampaikan akan mengajarkan surat yang paling agung dalam Al-Qur’an?. Nabi bersabda: “al-Fatihah” ia adalah tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Qur’an agung yang diturunkan kepadaku. (Imam Bukhari, Shahih Bukhari/6/187).
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik tentang keutaman ayat dan surat al-Qur’an.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي مَسِيرٍ لَهُ فَنَزَلَ وَنَزَلَ رَجُلٌ إِلَى جَانِبِهِ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «أَلَا أُخْبِرُكُ بِأَفْضَلِ الْقُرْآنِ» قَالَ: فَتَلَا عَلَيْهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang dalam perjalanan kemudian turunlah seorang laki-laki di sampingnya. Dia berkata: maukah Engkau aku kabarkan tentang sesuatu yang paling afdhal dalam Al-Qur’an?. Kemudian dia membaca surat al-Fatihah. (Imam al-Nasa’I, Al-Sunan al-Kubra li al-Nasa’I/ 7/255).
Hadits yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab tentang ayat yang istimewa dalam Al-Qur’an.
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا أَبَا الْمُنْذِرِ، أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟» قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: «يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟» قَالَ: قُلْتُ: {اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ} [البقرة: 255]. قَالَ: فَضَرَبَ فِي صَدْرِي، وَقَالَ: «وَاللهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ»
Artinya: Diceritakan dari Ubay bin Ka’ab bahwa Nabi bertanya: wahai Abu Mundzir, apakah kamu tahu sebuah ayat yang paling agung dari kitab Allah yang kamu miliki (hafal) ?. Aku menyampaikan kepada Nabi: hanya Allah dan Rasulnya yang lebih tahu soal ini. Nabi bertanya kembali: wahai Abu Mundzir, apakah kamu tahu sebuah ayat yang paling agung dari kitab Allah yang kamu miliki (hafal) ?. Aku jawab: “Ayat Kursi”. Maka kemudian Nabi mengelus dada ku seraya berkata: “Semoga ilmu ini menyenangkan engkau, wahai Abu Mundzir. (Imam Muslim, Shahih Muslim/1/556).
Dari sekian argumentasi teks-teks hadits yang diutarakan di atas menunjukkan adanya keistimewaan ayat atau surat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, argumentasi di atas secara otomatis meruntuhkan pendapat yang menyatakan bahwa Kalam Allah tidak ada yang lebih istimewa, semuanya sama dari hakikat yang sama.
Untuk itu, jika ditelisik lebih mendalam, maka akan dijumpai bahwa Kalam Allah itu sudah berbentuk (setelah diturunkan ke muka bumi) potongan ayat dan parsial (berjuz-juz, bersurat-surat). Maka jika dilihat dari sisi yang menurunkan Kalam itu, yaitu Allah, tentu saja tidak ada perbedaan, semuanya sepakat tidak yang lebih diunggulkan dan diistimewakan. Tapi jika dilihat dari sisi pemaknaan yang terkandung dalam sebuah ayat maupun surat, maka dalam hal ini tentu berbeda. Kalam Allah yang menyinggung tentang ketauhidan dan ajakan untuk beribadah kepada-Nya tentu saja lebih istimewa dibandingkan Kalam Allah yang sekadar mengutarakan tentang hukum pidana dan jinayat. Kalam Allah yang menjelaskan tentang kekuasan-Nya dan sifat-sifat-Nya tentu saja lebih istimewa dan unggul dibandingkan Kalam Allah yang sekadar menceritakan tentang makhluk-Nya.
Demikian pula, surat dalam Al-Qur’an yang menguraikan tentang sifat-sifat Allah seperti surat al-Ikhlas tentu saja lebih istimewa dibandingkan surat yang menceritakan tentang makhluk-Nya yang tersesat seperti surat al-Lahab. Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar