Kamis, 10 Juni 2021

Satrawi: Konteks Politik Konflik Israel-Palestina dan Solusinya

Konteks Politik Konflik Israel-Palestina dan Solusinya

Oleh: Hasibullah Satrawi

 

SETELAH mendapat tekanan dari banyak pihak, atas mediasi Mesir dan Qatar, akhirnya Israel dan Palestina (lebih tepatnya faksi-faksi politik di Jalur Gaza seperti Hamas) sepakat untuk melakukan gencatan senjata (Jumat, 21/5, pukul 02.00 dini hari).

 

Gencatan senjata ini mengakhiri perang tidak seimbang yang berlangsung selama 11 hari dengan ratusan korban meninggal dari pihak Palestina dan puluhan korban meninggal dari pihak Israel. Sementara itu, ratusan orang menjadi korban luka dari perang yang bagi Israel disebut dengan istilah “operasi penjaga tembok” (harisul aswar).

 

Beberapa hari sebelumnya (18/5), Israel diberitakan meminta waktu kepada Amerika Serikat (AS) dua sampai tiga hari (lagi) untuk menghentikan operasi militernya ke Jalur Gaza yang disebut dengan istilah Israel bersikeras melanjutkan operasi militernya hingga mencapai target, yaitu menghancurkan kemampuan militer dan rudal faksi-faksi di Jalur Gaza (khususnya Hamas), yang cukup mengejutkan dalam perkembangan terbaru. Hal ini bisa dibuktikan dengan keberhasilan salah satu rudal Hamas melewati sistem pertahanan udara Israel. Begitu juga dengan kemampuan jelajah rudal Hamas yang mencapai target jarak jauh, khususnya bila dibandingkan dengan perang-perang sebelumnya (seperti perang 2008, 2012, dan 2014).

 

Politik Israel

 

Dalam sebuah analisis yang diturunkan Aljazeera.net<> (18/04) disebutkan, Netanyahu sebagai Perdana Menteri Israel yang gagal membentuk pemerintahan setelah gagal menang secara mayoritas dalam Pemilu Israel mutakhir mencoba menggunakan perang kali ini untuk menggagalkan pembentukan pemerintahan alternatif di bawah kepemimpinan tokoh oposisi Israel, Yair Lapid. Melalui perang kali ini, Netanyahu berharap bisa memenangi dukungan masyarakat Israel dalam pemilu mendatang (dengan asumsi Lapid gagal membentuk pemerintahan alternatif).

 

Tampaknya, proyeksi politik Netanyahu tidak berjalan secara lancar. Alih-alih mendapatkan dukungan secara lebih kuat dari publik Israel, penyerangan kali ini ke Jalur Gaza justru menimbulkan pro-kontra yang cukup tajam di internal Israel, khususnya di antara warga Israel dari keturunan Arab. Sementara, pada waktu yang bersamaan, salah satu rudal Hamas berhasil menembus pertahanan udara Israel dan menimbulkan korban jiwa dari masyarakat sipil Israel.

 

Semua perkembangan tak terduga ini membuat rencana politik Netanyahu di balik penyerangan Jalur Gaza kali ini cukup tak terkendali. Dan bukan tidak mungkin semua perkembangan yang ada justru bisa membawa Netanyahu menempati sel penjara.

 

Inilah kurang lebih yang membuat Netanyahu diberitakan sempat menginginkan segera mengakhiri serangan di Jalur Gaza, sekaligus mengumumkan kemenangan. Tapi, pihak militer Israel justru bersikeras untuk melanjutkan misi penyerangan ini. Realitas di atas, bisa dibaca secara politik bahwa Netanyahu mulai tidak yakin dengan upaya mengambil keuntungan politik dari penyerangan di atas.

 

Tapi, penyerangan yang ada terlanjur berhasil mengungkap perkembangan militer dan rudal Hamas yang harus segera ditumpas sebelum menjadi ancaman lebih berbahaya bagi Israel. Dalam perkembangan seperti di atas, alih-alih mendapatkan keuntungan politik dan elektoral, Perang Gaza kali ini bisa menghadirkan musuh baru bagi Netanyahu, yaitu pihak militer.

 

Sebagaimana dimaklumi, Netanyahu mengalami penurunan dukungan yang cukup signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Penanganan persoalan covid-19 menjadi salah satu sebab dari anjloknya kepercayaan masyarakat Israel terhadap Netanyahu. Hal yang paling berat adalah, tuduhan korupsi yang sekarang dihadapi Netanyahu. Inilah yang penulis maksud di atas, bahwa bukan tidak mungkin semua perkembangan yang ada justru membawa Netanyahu ke penjara, alih-alih ke istana.

 

Politik Palestina

 

Sementara dari sisi Palestina, konflik Israel-Palestina kali ini juga memiliki konteks politik yang tak kalah panas. Sejatinya, Palestina menggelar Pemilu Parlemen pada 22 Mei, dan dilanjutkan dengan Pilpres pada 31 Juli mendatang. Penjadwalan pemilu ini merupakan buah dari perundingan panjang untuk mencapai persatuan Palestina antara faksi-faksi di Palestina, khususnya antara Hamas dan Fatah.

 

Pada Kamis (29/04), Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan pemunduran jadwal Pemilu. Alasan utama yang disampaikan Abbas, ialah karena belum adanya jaminan izin dari Israel terkait dengan pelaksanaan pemilu di wilayah Yerusalem. Sementara itu, Israel merespons ambigu permohonan izin dari Palestina dengan alasan saat ini tidak ada pemerintahan tetap.

 

Keputusan Abbas memundurkan jadwal pemilu mendapatkan kritikan tajam dari sejumlah pihak. Tidak hanya dari masyarakat umum, tetapi juga dari faksi-faksi utama seperti Hamas. Bahkan, Hamas menganggap penundaan pemilu ini sebagai kudeta yang tidak didukung rakyat. Namun demikian, Hamas juga tidak menginginkan bila pemilu tidak dilakukan di semua wilayah Palestina, termasuk Yerusalem.

 

Sebagai tokoh utama Fatah, keputusan Mahmoud Abbas berdampak negatif terhadap citra Fatah, yang dikenal lebih terbuka dan mengutamakan perjuangan melalui jalur diplomasi. Keputusan Abbas di atas dianggap sebagai ketidaksiapan Fatah dalam persaingan merebut hati pemilih Palestina, khususnya dalam melawan Hamas.

 

Inilah konteks politik di balik layar konflik Israel-Palestina kali ini yang tak banyak terlihat oleh masyarakat luas. Sementara, yang terlihat di depan layar bahwa konflik ini terkait dengan provokasi di Masjid Al-Aqsa ataupun pengusiran warga Palestina di Distrik Syeikh Jarrah.

 

Apakah memang ada kaitan secara langsung antara penyerangan Israel mutakhir ke Jalur Gaza dengan peristiwa politik yang terjadi di kedua belah pihak? Hanya Tuhan dan elite Palestina-Israel yang tahu secara pasti. Namun demikian, secara momentum dan secara persepsi, serangan Israel ke Jalur Gaza kali ini bisa dipahami sebagai upaya menjadikan Hamas tumbal dari kebuntuan politik yang ada di Israel maupun di Palestina.

 

Hal yang harus diperhatikan, konsistensi perlawanan yang dilakukan Hamas, serta kemampuan militernya yang terus meningkat (sebagaimana dijelaskan di atas) bisa membalikkan keadaan, dari tumbal menjadi pahlawan politik, minimal secara persepsi politik. Dengan perlawanan yang dilakukan, Hamas dianggap sebagai kekuatan yang bisa menjaga kehormatan rakyat Palestina dari serangan Israel yang semena-mena.

 

Inilah yang membuat Hamas belakangan semakin populer, dan terus mendapatkan dukungan serta kepercayaan dari rakyat Palestina, seperti terlihat dari hasil Pemilu terakhir pada 2006.

 

Terlebih lagi, jalur perjuangan melalui diplomasi yang selama ini dilakukan Fatah tidak mendapatkan “panggung politik” berarti yang mengarah pada kedaulatan Palestina di hadapan Israel. Hingga rakyat Palestina bisa mendapatkan perbandingan yang seimbang, antara perjuangan melalui jalur perlawanan yang dilakukan Hamas dengan perjuangan melalui jalur diplomasi, seperti dilakukan Fatah.

 

Sementara itu, kekuatan politik global hanya sibuk mendiskreditkan Hamas dengan label-label negatif seperti teroris atau radikal. Padahal, bagi sebagian rakyat Palestina (khususnya di Jalur Gaza), sepak terjang Hamas dianggap sebagai pelindung dan pahlawan dalam menghadapi kesewenang-wenangan Israel.

 

Pun demikian, kekuatan politik global hanya memberikan dukungan kosong terkait dengan perjuangan diplomasi yang dilakukan Fatah dalam melindungi kedaulatan, sekaligus meraih kemerdekaan Palestina. Sementara kedaulatan dan kemerdekaan Palestina tidak menjadi lebih dekat dengan perjuangan diplomasi yang ada, alih-alih menjadi nyata.

 

Oleh karena itu, gencatan senjata kali ini harus dijadikan sebagai kesempatan oleh semua pihak (mulai dari kekuatan internasional, hingga internal Palestina-Israel) untuk merealisasikan solusi dua negara yang menjamin kemerdekaan Palestina di satu sisi, dan kedamaian Israel di sisi yang lain.

 

Inilah solusi ideal untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina secara permanen, sekaligus mewujudkan perdamaian abadi di antara dua negara tetangga itu. Tanpanya, aksi serang-menyerang antara kedua belah pihak dengan tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan lalu diakhiri dengan aksi gencatan senjata (seperti sekarang), hanya akan menjadi sebuah “musim kekerasan” yang dipastikan berulang di kemudian hari (seperti waktu-waktu sebelumnya). []

 

MEDIA INDONESIA, 24 Mei 2021

Hasibullah Satrawi | Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam Alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar