Tidak semua orang mampu menafsirkan mimpi dengan tepat dan benar. Sebab, seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, ia membutuhkan berbagai macam pengetahuan secara mendalam dalam berbagai fan ilmu agar dapat menafsirkan beraneka ragamnya mimpi dengan benar. Terutama pendalaman terhadap ilmu-ilmu keislaman, seperti Al-Qur’an, hadits, dan lughat (bahasa). Karena seringkali isyarat mimpi seseorang berkaitan erat dengan teks nash Al-Qur’an dan hadits.
Misal seperti kisah tentang mimpi Imam Malik yang diceritakan Abdul Ilah Miqati, dalam kitabnya al-Madkhal ila Fiqh an-Ni’mah:
“Pada suatu malam Imam Malik bin Anas tertidur, lalu ia bermimpi bertemu malaikat pencabut nyawa.
Ia pun bertanya pada malaikat itu, “Wahai malaikat, tinggal sisa berapa umurku?”
Ia pun memberikan isyarat pada Imam Malik dengan lima jarinya.
Lalu Imam Malik menanyakan kembali padanya, “Apa yang dimaksud lima itu, apakah lima hari, lima minggu, lima bulan, atau lima tahun?”
Belum sempat menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba Imam Malik terbangun terlebih dulu.
Ia pun langsung bergegas menuju Ibnu Sirin, ulama yang terkenal sebagai penafsir mimpi. Ia menceritakan mimpi yang ia alami semalam.
“Wahai Imam Kota Madinah, sesungguhnya isyarat lima itu bukan tertuju pada tahun, bulan, minggu atau hari, namun yang dimaksud Malaikat itu adalah bahwa pertanyaanmu itu termasuk lima hal yang tidak diketahui siapa pun kecuali Allah. Lima hal itu terdapat dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Luqman: 34) (Dr. Abdul Ilah Miqati, al-Madkhal ila Fiqh an-Ni’mah, hal. 48).
Dari kisah tersebut dapat dipahami bahwa menafsirkan mimpi memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang ilmu-ilmu keislaman, khususnya Al-Qur’an dan hadits.
Tidak hanya itu, penafsir mimpi diharapkan adalah mereka yang memiliki kualifikasi sifat-sifat terpuji, seperti mampu bersikap bijaksana, memiliki tata krama yang baik, serta sifat-sifat baik lainnya. Sebab, jika tidak memiliki karakter yang baik maka penafsir akan gegabah dalam menafasirkan mimpi yang ditanyakan padanya.
Dalam kitab Ta’bir ar-Ru’ya, Ibnu Qutaibah menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 10 syarat yang harus dipenuhi agar seseorang mendapat legalitas untuk menafsirkan mimpi:
1. Mengetahui secara mendalam tentang Kitab Allah (Al-Qur’an).
2. Mengetahui secara mendalam tentang hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Mengetahui tentang perumpamaan-perumpamaan atau peribahasa yang berlaku dalam bahasa Arab.
4. Mengetahui berbagai macam bait-bait sya’ir yang langka.
5. Mengetahui tentang asal cetak lafadz dalam bahasa arab.
6. Mengetahui lafadz-lafadz yang terbiasa berlaku di kalangan orang awam.
7. Memiliki tata krama yang baik, bersifat lembut, dan cerdas.
8. Mengetahui keadaan, tingkah laku, kemampuan, dan tradisi masyarakat.
9. Mengetahui tentang analogi (Qiyas)
10. Memahami ilmu ‘ushul (dasar-dasar penetapan hukum).
(Ibnu Qutaibah, Ta’bir ar-Ru’ya, hal. 8-9)
Berbagai persyaratan di atas merupakan persyaratan penafsir mimpi dalam konteks masyarakat Arab. Dalam konteks masyarakat lain, tentu si penafsir mimpi juga perlu memahami kosakata, perumpamaan-perumpamaan, dan tata bahasa yang berlaku di masyarakat setempat, misalnya Indonesia, Jawa, Madura, Bugis, dan lain-lain, sesuai dengan lingkungan dan keadaan orang yang mengalami mimpi yang hendak ditafsiri.
Maka dengan memenuhi berbagai kriteria di atas seseorang telah dianggap memiliki legalitas dalam menafsirkan mimpi, namun dengan tetap mengharap petunjuk dari Allah agar mimpi yang ditafsirinya dapat betul-betul mengarah pada kebenaran serta mendapatkan ridha-Nya. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Dewan Komisi Fatwa MUI Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar