Selasa, 15 Juni 2021

Zuhairi: Musim Semi di Israel

Musim Semi di Israel

Oleh: Zuhairi Misrawi

 

Setelah 15 tahun memimpin Israel, Netanyahu kini berada di bibir jurang kejatuhan. Ia sedang menghadapi ajal kekuasaan setelah partai oposisi berhasil membangun koalisi dan membentuk pemerintahan baru. Jika tidak ada aral melintang, Netanyahu akan menghadapi musim semi yang bisa menjadi akhir hayat kepemimpinannya.

 

Serangan Israel yang membabi-buta ke Gaza di bawah komando langsung Netanyahu rupanya tidak mampu mengambil hati para elite partai politik dari oposisi dan warga Israel pada umumnya. Mereka benar-benar kehilangan kepercayaan terhadap Netanyahu, karena sejumlah kebijakan dan manuver politiknya akan membawa Israel pada kegelapan.

 

Dalam serangan besar-besaran ke Gaza yang paling mutakhir, misalnya, Netanyahu tidak mampu memuaskan publik Israel. Alih-alih mendapatkan dukungan, Netanyahu justru mendapatkan kritik dan ketidakpuasan, karena Hamas semakin kuat dan benar-benar mengancam eksistensi Israel. Pasalnya. rudal-rudal yang dimiliki Hamas mampu menghujani wilayah-wilayah Israel yang selama ini tidak mampu dijangkau persenjataan tempur Hamas.

 

Dalam dua tahun terakhir sudah dilakukan empat kali pemilu, tetapi Netanyahu tidak mampu meyakinkan publik, kenapa ia harus bertahan di kursi kekuasaannya. Warga Israel sepertinya sudah kehilangan kepercayaan terhadap Netanyahu, karena ia lebih fokus pada isu-isu luar negeri dan kerap kali memainkan kartu politik dengan Palestina untuk mendapatkan dukungan dari sayap kanan dan saya ultranasionalis Israel.

 

Sementara itu, Israel menghadapi krisis ekonomi dan krisis politik di dalam negeri, terlebih menyusul kasus korupsi yang menimpa Netanyahu dan istrinya. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah demonstrasi memprotes sejumlah kebijakan politik Netanyahu. Di antaranya yang paling menonjol, Netanyahu kerap menggunakan politik identitas, sehingga kerap terjadi perseteruan antara umat Yahudi dengan warga Arab Israel. Kebencian terhadap warga Arab Israel terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, akibat narasi politik identitas sayap kanan dan kubu ultra-nasionalis.

 

Puncaknya, Netanyahu tidak mendapatkan dukungan politik untuk meraih kursi mayoritas di parlemen hingga batas akhir yang ditentukan oleh Presiden Israel. Netanya benar-benar telah kehilangan dukungan, sehingga membuka peluang bagi kubu oposisi untuk membangun koalisi dan membentuk pemerintahan baru. Yair Lapid, kubu oposisi, bergerak cepat melakukan komunikasi dengan Naftali Bennett, partai sayap kanan, dan Mansour Abbas, partai koalisi Arab, untuk meraih 61 kursi dan memastikan terbentuknya pemerintahan baru untuk mengakhiri kekuasaan Netanyahu.

 

Langkah cepat Yair Lapid, Naftali Bennett, dan Mansour Abbas tersebut menjadi mimpi buruk bagi Netanyahu. Ia tidak mengira, bahwa musim semi politik akan berhembus cepat. Sebab ia merasa masih mendapat dukungan politik yang sangat luas, terutama dari sayap kanan dan ultra-nasionalis. Ia merasa sebagai tokoh utama dan tokoh kunci dalam politik Israel dalam tiga dekade terakhir.

 

Namun, realitas politik menampilkan wajah lain. Naftali Bennett sejauh ini telah mendapatkan dukungan dari kubu oposisi untuk menjungkalkan kursi Netanyahu, yang dulu menjadi patron politik Bennett. Jutawan bisnis digital ini menggunakan momentum politik yang ada saat ini sebagai cara untuk meraih kursi kekuasaan. Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mengakhiri karir politik Netanyahu.

 

Meskipun demikian, banyak pihak yang masih meragukan kemampuan kubu oposisi dalam membentuk pemerintahan hingga musim semi politik itu benar-benar menjadi kenyataan. Pasalnya, Netanyahu merupakan politisi handal, yang terus melakukan manuver untuk menggagalkan kesepakatan yang telah dicapai antara kubu oposisi, Yair Lapid, Naftali Bennett, dan Mansour Abbas.

 

Netanyahu masih mempunyai kartu untuk melobi sejumlah anggota parlemen dari Partai Yamina asuhan Naftali Bennett untuk tidak bergabung dengan koalisi hingga sidang parlemen 9 Juni yang akan datang. Jika langkah ini bisa dilakukan oleh Netanyahu, maka ia bisa memperpanjang nafasnya di tampuk kekuasaan. Setidaknya, ia bisa bertahan dan menggelar pemilu dalam waktu dekat. Apalagi sekitar 60% pemilih Partai Yamina menolak langkah Bennett untuk bergabung dengan kubu oposisi.

 

Masalah lainnya, koalisi kubu oposisi mempunyai kerentanan luar biasa. Koalisi dibangun tidak berdasarkan platform politik, melainkan hanya kesepakatan untuk mengenyahkan Netanyahu dari tampuk kekuasaan. Perbedaan ideologi politik dalam koalisi dikhawatirkan akan menyebabkan kerentanan dan keretakan dalam mengambil keputusan politik, seperti pembangunan ilegal di Tepi Barat, hak-hak kaum minoritas Arab dan Non-Yahudi lainnya, serta keberpihakan terhadap kaum buruh.

 

Di samping itu, Netanyahu juga dapat menggunakan cara-cara Donald Trump dengan menggerakkan massa pendukungnya untuk menekan Partai Yamina dan menduduki parlemen, sehingga parlemen gagal melakukan sidang pada tanggal 9 Juni nanti. Sebagai politisi yang malang-melintang dalam jagat politik Israel, Netanyahu tidak akan diam untuk terus menggagalkan manuver politik kubu oposisi.

 

Pemandangan politik yang terjadi di Israel saat ini merupakan ujian serius bagi Netanyahu. Ia tidak pernah menghadapi penentangan politik sekeras saat ini. Ia betul-betul terpojok, karena yang dihadapi adalah partai-partai politik dan para politisi yang dulu mendukungnya. Ia telah kehilangan kepercayaan dari parlemen, sehingga nasibnya benar-benar menghitung hari, berada di ujung tanduk.

 

Pada akhirnya, demokrasi mempunyai mekanisme tersendiri untuk melahirkan politik yang rasional dan pergantian kekuasaan secara normal, tanpa pertumpahan darah. Warga Israel sendiri menghendaki adanya angin segar dalam kepemimpinan nasional, karena kondisi obyektif Israel saat ini menghendaki lahirnya perubahan. Mereka menghendaki agar Netanyahu lengser dan memberikan kesempatan pada sosok baru. Sebab itu, koalisi yang diusung oleh Yair Lapid, Naftali Bennett, dan Mansour Abbas merupakan "koalisi untuk perubahan".

 

Meskipun demikian, Israel di masa mendatang masih terlihat gelap di tengah realitas politik yang sangat kompleks di dalam negeri dan masa depan hubungan dengan Palestina. Solusi dua negara yang diinisiasi oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Joe Biden akan menjadi batu sandungan, mengingat dominasi sayap kanan dan kubu ultra nasionalis. Israel akan selalu berada dalam suasana limbung, antara politik dalam negeri dan politik luar negeri. []

 

DETIK, 05 Juni 2021

Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Muslim, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar