Beban Hidup Semakin Berat, Ketimpangan Sosial Belum Teratasi
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sekitar 10 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1442 H, perumahan Nogotirto, Sleman, Yogyakarta, kebanjiran tamu yang tidak diundang. Mereka datang umumnya berombongan dengan jalan kaki atau bersama becak. Anak-anak juga diangkut. Tidak peduli waktu.
Kadang-kadang saat hampir berbuka, mereka tekan bel sambil bersuara: minta sedekah. Karena sulit mengingat wajah mereka, ternyata sebagian yang berkunjung itu sampai berkali-kali dengan tujuan yang sama.
Tentu semuanya ini akibat serbuan Covid-19 yang “membunuh” lapangan kerja dalam skala besar. Ujungnya, angka kemiskinan semakin meningkat dan beban keuangan negara semakin berat. Entah sudah berapa triliun yang dikucurkan untuk mempersempit jarak lautan kemiskinan itu.
Namun, ada satu gejala yang menjadi tanda tanya bagi saya. Rombongan yang datang itu hampir tidak ada yang kurus, bahkan ada pula yang sedang hamil.
Mungkin saja karena rezeki mereka di akhir Ramadhan memang lumayan atau sebenarnya mereka bukan orang teramat miskin. Kabarnya, ada pihak yang mengantarkan mereka untuk minta sedekah itu.
Hanya, bila dilihat penampilan lahiriah, umumnya mereka berpakaian lusuh dengan sandal yang sudah tua. Sekalipun mereka tidak kurus kering, kita berprasangka baik saja bahwa mereka memang memerlukan bantuan untuk mengatasi beban hidup yang semakin sulit.
Kadang-kadang, saya peringatkan juga agar mereka yang sudah diberi tidak datang lagi karena masih banyak yang lain yang berharap uluran tangan.
Karena tamu-tamu ini datang bergelombang, kita harus menyediakan dana eceran yang cukup menurut batas kemampuan kita. Yang mengulurkan tangan minta sedekah itu bukan hanya yang dewasa, anak-anaknya pun diajar serupa.
Sebenarnya, peta sosial semacam ini sudah berlangsung bertahun-tahun, tetapi bulan Ramadhan yang baru lalu, jumlahnya jadi berlipat. Boleh jadi, di tempat lain tidak berbeda, terutama tentunya di kawasan perkotaan.
Saat resesi ekonomi akhir 1990-an, rombongan pencari sedekah semacam ini juga berlaku. Namun, dampak buruk Covid-19 terhadap peningkatan kemiskinan lebih parah dari resesi di atas.
Kita pun tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir, sementara beban hidup rakyat banyak dari hari ke hari semakin tak terpikul.
Sekarang kita kaitkan peta sosial di atas dengan Perpres No 63 Tahun 2020 tentang kabupaten tertinggal yang jumlahnya ada 62 di seluruh Indonesia, terbanyak di Papua dan NTT.
Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak termasuk dalam kategori kabupaten tertinggal itu, sekalipun tingkat kemiskinannya menurut data September 2019 masih berada ada angka 440,89 ribu (11,44 persen).
Para pemungut sedekah di atas mungkin bukan berasal dari Kecamatan Gamping, sebuah kecamatan di Sleman, DIY, dengan warna hijau. Artinya, tingkat kemiskinannya bergerak antara 10-15 persen.
Anda bisa bayangkan jumlah pemungut sedekah pada kabupaten-kabupaten dalam kategori tertinggal di atas. Dengan demikian, Indonesia setelah merdeka hampir 76 tahun masih bergumul dengan masalah kemiskinan yang sampai hari ini belum teratasi.
Pasal 34 UUD 1945 berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” dalam realisasinya masih jauh panggang dari api.
Karena kenyataannya demikian itu, saya punya saran agar kita tidak mengutuk keadaan sambil menggerutu dengan menyalahkan negara, pemerintah, pengusaha, atau menuding siapa saja. Mari kita semua berlatih berbagi.
Ada firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 134 bahwa di antara pertanda manusia berbakti itu adalah, “Mereka menafkahkan (hartanya) di saat lapang dan di saat sempit, di saat kenyang dan dan di saat lapar."
Firman ini mengandung pesan universal. Apapun agama seseorang, apapun sukunya, apa pun status sosialnya, ayat ini dengan halus tetapi tajam menggugah pusat kesadaran manusia untuk mau berbagi.
Jangan dilihat jumlah yang dibagikan, tetapi pertimbangkanlah ketulusan dan kebersihan hati seseorang yang mau memberi itu. Ungkapan “di saat lapang dan di saat sempit” amat menyentuh nurani manusia yang berperasaan lembut.
Siapa tahu, pemungut sedekah di atas yang barangkali berada dalam kategori “di saat sempit” juga berbagi dengan tetangga sekampungnya.
Jika pesan mulia ayat di atas diikuti oleh semakin banyak pesertanya, tidak mustahil jurang ketimpangan sosial akan menyempit secara bertahap, berkat semangat gotong-royong warga negara dalam radius yang semakin luas di seluruh nusantara.
Tidak hanya berlaku di akhir Ramadhan, tetapi akan menjadi budaya sepanjang masa, sampai kemiskinan dan ketimpangan sosial itu meninggalkan negara Pancasila ini. Tidak perlu menunggu 100 tahun usia kemerdekaan bangsa yang hanya tersisa 24 tahun lagi. Selamat berbagi dan menebar kebajikan tanpa sekat-sekat sosial. []
REPUBLIKA, 25 Mei 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar