Nabi Muhammad bersama ratusan ribu sahabat melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-10 Hijriyah. Haji yang dilakukan Nabi Muhammad ini dikenal dengan haji wada’, karena pada haji ini Nabi Muhammad sekaligus ‘berpamitan’ dengan para sahabatnya. Ini sekaligus menjadi haji pertama dan terakhir yang dilaksanakan Nabi Muhammad sepanjang hidupnya. Karena pada musim haji berikutnya, Nabi Muhammad sudah tiada.
Merujuk buku Membaca Sirah Nabi Muhammad Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018), ada beberapa hal dan fakta menarik yang terjadi -dan yang dilakukan Nabi- sepanjang pelaksanaan haji wada’ tersebut. Pertama, niat haji. Para ulama berbeda pendapat mengenai niat haji Nabi Muhammad. Ada yang berpendapat Nabi berniat haji ifrad (melaksanakan haji saja, tidak umrah). Ada yang mengatakan Nabi berniat haji tamattu’ (melaksanakan umrah dahulu, kemudian baru haji). Dan sebagian lainnya menyebut Nabi berniat haji qiran (berniat haji dan umrah sekaligus).
Kedua, tidak shalat tahiyatal masjid. Nabi Muhammad tiba di Makkah pada Ahad pagi, 4 Dzul Hijjah dengan mengendarai untanya, al-Qashwa. Ketika sampai di Masjidil Haram, Nabi Muhammad tidak menunaikan shalat tahiyatal masjid, alias langsung melaksanakan tawaf.
Ketiga, tawaf dengan menunggang unta. Pada saat melaksanakan ibadah haji wada’, Nabi Muhammad bertawaf dengan mengendarai untanya, al-Qashwa. Hal ini sesuai dengan riwayat Ibnu Abbas, Abu Thufail, dan Amir bin Watsilah. Kata mereka, Nabi Muhammad tawaf di atas tunggangannya.
Keempat, tidak mencium langsung hajar aswad. Saat tawaf, Nabi Muhammad mengendarai untanya dan memegang sebuah tongkat. Setiap kali melewati hajar aswad, Nabi Muhammad mengayunkan tongkatnya ke arah batu hitam tersebut sebagai isyarat penghormatan. Beliau tidak turun dari untanya dan berdesak-desakan dengan jamaah lainnya untuk mencium langsung hajar aswad.
Kelima, menyampaikan khutbah. Ketika di Arafah, Nabi Muhammad menyampaikan khutbah di hadapan ratusan ribu sahabatnya yang juga ikut berhaji. Dalam khutbah tersebut, Nabi Muhammad menyinggung tentang prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, hak asasi manusia, pembatalan praktik riba, penegasan makna jihad, sejumlah adat kebiasaan jahiliyah, dan lainnya.
Keenam, turunnya Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 3. Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah saat wuquf di Arafah. Yakni QS al-Maidah ayat 3; ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama kamu, yakni tekah Ku-turunkan semua yang kamu butuhkan dari prinsip-prinsip petunjuk agama yang berkaitan dengan halal dan haram, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, sehingga kamu tidak butuh lagi kepada petunjuk agama selainnya, dan telah Ku-ridhai Islam itu, yakni penyerahan diri sepenuhnya kepada-Ku menjadi agama bagi kamu).
Ketujuh, mempercepat langkah ketika tiba di Wadi al-Muhassar. Wadi al-Muhassar merupakan lembah atau lokasi yang terletak di antara Mina dan Muzdalifah. Di lokasi inilah, tentara bergajah pimpinan Abrahah –yang hendak menyerang Ka’bah- dibinasakan oleh Allah. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad mempercepat langkah untanya ketika sampai di lokasi Wadi al-Muhassar.
Kedelapan, menyembelih 63 ekor unta. Nabi Muhammad menyembelih 63 ekor unta dengan tangannya sendiri setelah melontar jumrah. Sebetulnya, ada sekitar 100-an ekor unta yang dibawa dari Madinah, namun Nabi hanya menyembelih 63 ekor. Sementara sisanya -atas instruksi Nabi- disembelih oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Jumlah 63 ekor sesuai dengan usia Nabi Muhammad saat itu, yakni 63 tahun.
Kesembilan, bermalam di Mina selama tiga malam. Sesuai dengan Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 103, para jamaah haji diizinkan bermalam di Mina hanya dua malam saja. Namun demikian, Nabi Muhammad tinggal di Mina selama tiga malam.
Terakhir, memberikan ‘kemudahan’ kepada para sahabatnya dalam melaksanakan haji. Setelah kembali dari Mina, banyak sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad mengenai persoalan haji. Ada sahabat yang bertanya kalau dirinya lupa melempar jumrah, lupa tawaf, lupa mencukur rambut sebelum menyembelih, dan lain sebagainya.
Nabi Muhammad kemudian menjawab hampir semua persoalan sahabatnya itu dengan jawaban ‘tidak mengapa’ (la haraja). Jika ada yang lupa melontar jumrah, Nabi Muhammad menyuruh orang tersebut untuk pergi pada saat itu juga dan melontar. Begitu pun sahabat yang lupa tawaf, mencukur rambut, dan lainnya. Mereka disuruh untuk segera melaksanakan ritual haji yang lupa dikerjakan tersebut. []
(A Muchlishon Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar