Alā innahum humul mufsidūna wa lākil lā yasy‘urūna.
Artinya, “Ketahuilah, mereka itu yang sungguhnya pembuat kerusakan tetapi mereka tidak merasakannya.”
Ragam Tafsir
At-Thabari dalam tafsirnya Jami‘ul Bayan fi Tafsiril Qur’an mengatakan, ini adalah bantahan Allah atas dusta pengakuan orang-orang munafik Madinah. Bila diminta untuk menaati perintah Allah dan diminta untuk menjauhi larangan-Nya, mereka menjawab, “Kami justru pembuat kemaslahatan, bukan mafsadat. Kami berjalan di atas petunjuk Allah terkait tindakan yang kalian ingkari, bukan berjalan di atas kesesatan.”
Allah mendustakan mereka dengan jawaban, “Ketahuilah, , mereka itu yang sungguhnya pembuat kerusakan,” menentang perintah Allah, melewati batas, melakukan maksiat, dan meninggalkan kewajiban, “tetapi mereka tidak merasakannya,” tidak mengetahui bahwa mereka pembuat kerusakan atau mafsadat, bukan termasuk orang beriman yang memerintahkan untuk berbuat adil dan bukan termasuk orang Islam yang melarang orang lain durhaka di bumi. (At-Thabari).
Al-Baghowi dalam tafsirnya, Ma‘alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil, [Beirut, Darul Fikr: 2002 M/1422 H], juz I, halaman 30) mengataka, “Ketahuilah, mereka itu yang sungguhnya pembuat kerusakan” diri mereka melalui kekufuran dan kerusakan manusia dengan tindakan menghalangi orang lain dari keimanan “tetapi mereka tidak merasakannya” tidak menyadari bahwa mereka pembuat kerusakan karena mereka mengira bahwa tindakan menyembunyikan kekufuran adalah kemaslahatan.
Ada ulama lain menafsirkan bahwa “mereka tidak merasakan” tidak mengetahui bahwa Allah telah menyiapkan siksa untuk mereka. (Al-Baghowi, 2002 M/1422 H: 30).
Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an mengutip Ibnu Kaysan yang mengangkat pertanyaan, “Bagi orang yang tidak mengetahui, tindakan kerusakan tidak dapat disebut sebagai perbuatan tercela. Perbuatan tercela dapat disematkan bagi tindakan yang dilakukan berdasarkan pengetahuan oleh pelakuknya?”
Menurut Ibnu Kaysan, pertanyaan ini dapat melahirkan dua jawaban. Pertama, orang munafik mengetahui tindakan mafsadat dalam hati dan menyatakan kemaslahatan. Tetapi mereka tidak sadar bahwa tindakan demikian juga diketahui oleh Nabi Muhammad SAW.
Kedua, tindakan kerusakan itu menurut mereka adalah kemaslahatan. Tetapi mereka sadar bahwa itu adalah tindakan mafsadat. Mereka telah mendurhakai Allah dan rasul-Nya karena tidak menyatakan yang hak dan mengikutinya. (Al-Qurthubi).
Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya yang terkenal Tafsirul Qur’anil Azhim mengatakan, “Ketahuilah, tindakan yang menjadi tumpuan mereka dan dianggap sebagai kemaslahatan itu adalah sejatinya tindakan mafsadat itu sendiri. Tetapi karena kedunguan, mereka tidak menyadarinya sebagai tindakan mafsadat.” Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar