Seluruh kaum Muslimin mengimani Allah sebagai Tuhan Yang Mahatinggi. Akan tetapi apa sebenarnya makna ketinggian ini, apakah berarti ketinggian lokasi seperti halnya dalam ungkapan awan lebih tinggi dari puncak gunung dan puncak gunung lebih tinggi dari lembah? Untuk menjawabnya, maka perlu diketahui beberapa istilah Al-Qur’an yang menyifati oknum tertentu sebagai oknum yang bersifat tinggi. Kita perhatikan ayat-ayat berikut:
Penyebutan Nabi Musa sebagai orang yang tinggi.
قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنْتَ الْأَعْلَى [طه: ٦٨ [
“Kami berfirman, “Jangan takut! Sungguh, engkaulah pihak yang tinggi” (QS Thaha: 68).
Kata tinggi dalam konteks Nabi Musa melawan para penyihir ini adalah unggul dan menang dari musuh.
Perkataan Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan yang tinggi
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى [النازعات: ٢٤ [
“(Seraya) berkata, Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (QS Adz-Dzariyat: 24)
Kata tinggi dalam konteks ini adalah ketinggian derajat di mana Fir’aun mengaku sebagai Tuhan yang ketinggian derajatnya jauh di atas rakyat yang ia perintahkan untuk menyembahnya.
Penyebutan Fir’aun sebagai sosok yang tinggi
وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ [يونس: ٨٣ [
“Dan sungguh, Fir‘aun itu benar-benar bersifat tinggi di muka bumi, dan benar-benar termasuk orang yang melampaui batas” (QS Yunus: 83).
Kata tinggi dalam konteks ini adalah sifat meninggikan diri dalam arti sombong dan sewenang-wenang atas orang lain, seperti dinyatakan oleh Imam Qurthubi dalam tafsirnya. Kata tinggi tersebut juga bisa juga bermakna dominan dan berkuasa di bumi Mesir, sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Alusi dalam tafsirnya.
Penyebutan kaum Muslimin sebagai kaum yang tinggi
وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ [آل عمران: ١٣٩ [
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi, jika kamu orang beriman” (QS Alu Imran: 139)
Kata tinggi dalam konteks ini adalah ketinggian derajat dan keunggulan yang dimiliki kaum Muslimin atas orang-orang kafir.
Dari semua penggunaan kata tinggi sebagai sifat bagi orang di atas, tak satu pun bermakna ketinggian lokasi. Seluruhnya bermakna ketinggian derajat, keunggulan, dominasi dan kekuasaan di atas pihak lain. Makna ketinggian seperti inilah yang berguna ketika digunakan sebagai sifat oknum. Adapun makna ketinggian lokasi sama sekali tidak berguna dan tidak punya faidah keistimewaan apa-apa bila digunakan sebagai sifat seperti halnya tidak ada keistimewaan atas orang yang berada di lantai dua atas orang yang berada di lantai satu.
Makna ketinggian derajat, keunggulan, dominasi dan kekuasaan ini yang juga dipakai ketika kata tinggi dinyatakan sebagai sifat bagi Allah seperti dalam beberapa ayat berikut ini:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى [الأعلى: ١ [
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi,” (QS Al-A’la: 1).
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ [المؤمنون: ١١٦ [
“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (yang memiliki) ‘Arsy yang mulia” (QS Al-Mukminun: 116).
Dalam ayat lain, Allah menyebutkan bahwa dirinya mempunyai sifat-sifat yang paling tinggi. Allah berfirman:
لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ [النحل: ٥٩-٦٠ [
“Bagi orang-orang yang tidak beriman pada (kehidupan) akhirat, (mempunyai) sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat Yang Mahatinggi. Dan Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana” (QS An-Nahl: 59-60).
Imam al-Qurthubi menafsirkan sifat yang paling tinggi atau mahatinggi tersebut sebagai berikut:
وَالْمَثَلُ الْأَعْلَى وَصْفُهُ بِمَا لَا شَبِيهَ لَهُ وَلَا نَظِيرَ
“Sifat yang Mahatinggi maksudnya adalah menyifati Allah dengan suatu sifat yang tak punya keserupaan dengan yang lain dan tak ada bandingannya” (al-Qurthubi, Tafsîr al-Quthubi, juz X, halaman 119).
Senada dengan itu, Imam al-Qusyairi dalam tafsirnya juga menafsirkan sifat Mahatinggi tersebut sebagai:
وَللهِ صِفَاتُ الجَلَالِ وَنُعُوتُ العِزِّ
“Allah mempunyai sifat-sifat kemuliaan dan keagungan” (al-Qusyairi, Lathâ’if al-Isyârât, juz II, halaman 304).
Dengan demikian, tak ada satu pun penggunaan kata “tinggi” dalam al-Qur’an yang bermakna ketinggian letak atau lokasi ketika kata tersebut dijadikan sebagai atribut atau sifat sebab memang tak ada makna atau keutamaan apa pun yang didapat dengan menjadikan makna lokasi tinggi sebagai sifat bagi apa pun. Barang siapa yang menjadikan makna ketinggian lokasi sebagai sifat Allah, berarti ia telah salah paham terhadap penggunaan al-Qur’an pada istilah “tinggi” dan secara tak langsung ia telah menyifati Allah dengan sifat yang tidak ada keistimewaannya. Dan sebaliknya, barangsiapa yang memaknai ketinggian Allah dengan ketinggian derajat dan kekuasaannya yang jauh di atas semua makhluk, maka ia benar dan sesuai dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah). Wallahua’lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar