Suatu ketika Abû Yûsuf al-Kufi (731-798 M) ditanya oleh Amîrul Mukminin tentang status bumi yang tidak ditemukan adanya tanda-tanda kepemilikan sebelumnya, apa solusi yang bisa diberikannya untuk pengelolaan bumi tersebut? Abû Yûsuf dalam hal ini menyebutkan ciri-ciri dari bumi jenis ini sebagai berikut:
عن الأرضين التي افتتحت عنوة أوصولح عليها أهلها وفي بعض قراها أرض كثيرة لايرى أثر زراعة ولابناء لأحد
Artinya: “Permasalahan tentang bumi yang ditundukkan dengan jalan peperangan (unwah) atau penduduknya menyatakan damai, sementara di sebagian wilayah tersebut terdapat banyak belahan bumi lain yang tidak diketahui adanya tanaman atau bangunan yang menyatakan milik seseorang.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharrâj li al-Qâdli Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm Shâhib al-Imâm Abî Hanîfah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1979: 63)
Abû Yûsuf menjawab bahwa apabila tidak ditemukan adanya tanda-tanda bangunan atau tanaman, atau tanda-tanda bahwa bumi tersebut adalah harta fai’ (harta terlantar yang ditinggalkan pemiliknya yang melarikan diri), tidak ada batas-batas tanah yang dijumpai, bukan tempat pemakaman, bukan tempat penggembalaan ternaknya kaum di wilayah tersebut, tidak dijumpai adanya tanda-tanda yang menunjukkan kepemilikan atau penguasaan terhadapnya, maka demikian ini disebut bumi mati.
فمن أحياها أو أحيا منها شيئا فهي له
Artinya: “Barangsiapa menghidupkan bumi dengan ciri-ciri tersebut, atau mengelolanya sebagian, maka ia menjadi milik bagi orang yang mengelolanya.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharrâj li al-Qâdli Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm Shâhib al-Imâm Abî Hanîfah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1979: 63-64)
Status bumi yang sebagaimana disebutkan di atas, secara langsung menjadi milik negara dan Imam boleh membaginya kepada orang yang dikehendakinya.
ولك أن تقطع ذلك من أحببت ورأيت وتؤاجره وتعمل فيه ترى أنه صلاح وكل من أحيا أرضا مواتا فهي له
Artinya: “Tuan (Amirul Mukminin) boleh membaginya kepada orang yang tuan suka atau yang tuan kenal. Tuan bisa juga menyuruh orang yang tuan gaji untuk mengelolanya menurut pertimbangan kemaslahatan tuan. Setiap orang yang menghidupkan bumi mati, maka bumi tersebut adalah haknya.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharrâj li al-Qâdli Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm Shâhib al-Imâm Abî Hanîfah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1979: 64)
Pendapat Abu Yusuf ini rupanya disandarkan kepada pernyataan Imam Abu Hanifah rahimahûllâh yang menyatakan bahwa:
من أحيا أرضا مواتا فهي له إذا أجازه الإمام ومن أحيا أرضا مواتا بغير إذن الإمام فليست له وللإمام أن يخرجها من يده ويصنع فيها مارأى من الإجارة والأقطاع وغير ذلك
Artinya: “Barangsiapa menghidupkan bumi mati maka baginya hak bumi tersebut dengan catatan apabila ada Imam membolehkan. Menghidupkan bumi mati tanpa seizin Imam maka bagi orang tersebut tidak berhak atas bumi tersebut. Imam boleh mencabut hak pengelolaan darinya atau menarik sewa darinya, atau menetapkan ketentuan-ketentuan atasya, dan lain sebagainya.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharrâj li al-Qâdli Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm Shâhib al-Imâm Abî Hanîfah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1979: 64)
Perhatikan pada penggalan يصنع فيها مارأى من الإجارة والأقطاع وغير ذلك, yaitu Imam menetapkan skema sewa kepada orang tersebut, atau menetapkan sejumlah ketentuan-ketentuan atas pengelolaan tanah tersebut kepadanya.
Mari kita cermati dengan baik! Dalam dunia modern, apa istilah lain dari ketetapan baku yang ditetapkan oleh negara kepada pengelola tanah yang dibukanya sendiri bila tanpa seizin Imam?
Kuncinya ada kesimpulan yang disampaikan oleh Abû Yûsuf bahwa:
الإحياء لايكون إلا بإذن الإمام
Artinya: “Menghidupi bumi mati tidak ada tanpa seidzin Imam.” (Abû Yûsuf, Kitab Al-Kharrâj li al-Qâdli Abû Yûsuf Ya’qûb ibn Ibrâhîm Shâhib al-Imâm Abî Hanîfah, Beirut: Dâr al-Ma’rifah li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1979: 64)
Ada beberapa poin yang harus kita catat dalam hal ini:
1. Bumi yang menjadi taklukan wilayah Islam, secara otomatis dikuasai oleh negara
2. Hak pengelolaan bumi dikendalikan oleh negara dan negara berhak menentukan pemanfaatannya.
3. Bumi yang dikelola dan dimiliki oleh negara adalah bumi yang belum ada tanda-tanda pemiliknya
4. Bumi yang sudah ada pemiliknya, maka negara mengakui hak kepemilikan orang tersebut
5. Muslim boleh membuka bumi yang belum ada pemiliknya namun dengan catatan harus seizin pemerintah
6. Apabila ada orang muslim yang terlanjur membukanya, tanpa didahului dengan izin ke negara, maka berlaku ketetapan: a. Negara menetapkan beban kepadanya, yaitu berupa hak guna dengan ketetapan ia wajib membayar sewa ke negara, atau b. Negara menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu dengan besaran yang telah ditetapkan, dan pengelolanya berkewajiban membayar besaran-besaran tersebut.
7. Baik muslim yang membuka lahan mati memiliki izin imam atau tidak, keduanya berlaku beban yang ditetapkan oleh pemerintah bagi kedua pihak.
8. Ketentuan ini berlaku pada semua wilayah yang ditundukkan baik dengan jalan perang (unwah) atau damai, yang itu berarti berlaku di wilayah yang dibebani kharaj atau ‘usyur.
Mencermati adanya “ketetapan beban yang ditentukan besarannya oleh pemerintah dan wajib dibayarkan oleh orang yang melakukan ihyâul mawat” , maka inilah cikal bakal bagi tertibnya aturan perpajakan di wilayah non Arab yang ditundukkan setelah masa Nabi Muhammad SAW itu. Istilah sekarang mungkin, adalah cikal bakal bagi pemerintahan untuk bagi-bagi sertifikat tanah, sebagaimana yang sering dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, beberapa tahun belakangan ini. Wallâhu a’lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU JATIM serta Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar