Shalat adalah tiang agama, dan barang siapa meninggalkannya sungguh ia telah merusak agamanya. Pernyataan ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut:
الصلاة عماد الدين فمن اقامها فقد اقام الدين ومن هدمها فقد هدم الدين
Artinya: "Shalat itu adalah tiang agama (Islam), maka barangsiapa mendirikannya, sungguh ia telah menegakkan agama (Islam) itu; dan barang siapa merobohkannya, sungguh ia telah merobohkan agama (Islam) itu" (HR al-Baihaqi).
Sedemikian penting peran shalat dalam menegakkan agama, maka keluarga sebagai basis pertama pendidikan agama memiliki peran sangat strategis dalam penegakan pelaksanaan rukun Islam kedua itu. Dalam kaitan ini, Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam sebuah kitabnya menasihatkan kepada para kepala keluarga untuk memastikan anggota keluarganya senantiasa melaksanakan shalat sebagaimana perintah Allah subhanahu wata’ala. Nasihat itu sebagai berikut:
ـ(وعليك) بحمل كل من لك عليه ولاية من ولد وزوجة ومملوك على فعل الصلوات المكتوبة. فإن امتنع أحد من هؤلاء من فعلها فعليك بوعظه وتخويفه، فإن تمرد أو أصر على الترك فعليك بضربه وتعنيفه، فإن إمتنع ولم ينزجر عن الترك فعليك بمقاطعته ومدابرته فإن تارك الصلاة شيطان بعيد عن رحمة الله، متعرض لغضبه ولعنته
Artinya: “Wajib bagi Anda memerintahkan kepada siapa saja yang berada di bawah kepemimpinan Anda, baik anak, istri, pelayan, dan sebagainya, agar melaksanakan shalat. Jika salah seorang dari mereka tetap enggan melaksanakannya, haruslah Anda nasihati jika perlu mempertakutinya. Jika ia terus membangkang dan berkeras hati untuk tetap mengabaikan shalat, haruslah Anda memarahinya ataupun menghukumnya. Jika sesudah itu semua ia masih tetap menolak, wajiblah Anda mendiamkannnya dan menolak hubungan dengannya sebab orang yang meninggalkan shalat serupa setan yang jauh dari rahmat Allah serta menjadi sasaran murka dan kutukan-Nya” (Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad, Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudhâharah wal Muwâzarah [Dar al-Hawi, 1994], Cetakan II, hal. 102).
Dari kutipan di atas, dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut: Pertama, wajib hukumnya bagi seorang kepala keluarga (ayah) memerintahkan kepada anggota keluarganya (terutama istri dan anak-anak), pelayan dan sebagainya (misalnya keponakan yang ikut tinggal serumah) untuk melaksanakan shalat lima waktu sebagai kewajiban syar’i dari Allah subhanahu wata’ala sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Artinya: “Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa: 103).
Kedua, jika salah seorang dari mereka tetap enggan melaksanakan shalat, kepala keluarga harus menasihatinya dan jika perlu mempertakutinya. Nasihat bisa berupa penegasan tentang ketentuan hukum Islam yang mewajibkan setiap orang Islam melaksanakan shalat lima waktu sebagaimana dalil di dalam Al-Qur’an di atas. Selain itu, nasihat bahwa shalat akan menjadi amal pertama yang akan dihisab di hari Kiamat juga perlu ditekankan sebab keselamatan di akhirat sangat ditentukan terutama oleh baik tidaknya seseorang melaksanakan shalat lima waktu ketika masih hidup di dunia. Jika nasihat baik-baik dan berulang kali tidak diindahkan, kepala keluarga dibenarkan menakut-nakuti atau memberikan ancaman sesuai kewenangannya, seperti mengancam anak tidak dibiayai sekolahnya; atau mengancam istri tidak dicintai lagi; atau mengancam pelayan untuk diskores; atau tidak memberi uang saku kepada keponakan, apabila masing-masing dari mereka tetap tidak mau melaksanakan shalat.
Ketiga, jika mereka terus membangkang dan berkeras hati tidak mau melaksanakan shalat meski telah diancam, kepala keluarga dibenarkan memarahi ataupun menghukum sesuai kewenangannya. Marah secara umum memang tidak baik, tetapi dalam kaitannya dengan kewajiban memastikan anggota keluarga melaksanakan shalat, sikap marah dapat dibenarkan. Bahkan memberikan hukuman sebagaimana telah diancamkan seperti tersebut dalam poin dua di atas dapat dibenarkan sebagai bagian dari edukasi bagi mereka sekaligus merupakan bentuk tanggungjawab kepala keluarga atas anggota yang dipimpinnya. Memang setiap orang adalah pemimpin dan setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
كلكم راعٍ وكلكم مسئولٌ عن رعيّته
Artinya: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘alaih).
Keempat, jika poin pertama hingga ketiga tidak efektif, dalam arti mereka tetap tidak mau melaksanakan shalat, kepala keluarga dibenarkan memboikot mereka dengan mendiamkan dan menolak hubungan dengan mereka. Pada dasarnya mendiamkan orang lain dan menolak berhubungan lebih dari 3 hari tidak dibenarkan di dalam Islam, tetapi dalam kaitannya dengan kewajiban mendidik penegakan shalat, sikap seperti ini dapat dibenarkan.
Alasannya, sebagaimana dikemukakan Sayyid Abdullah al-Haddad, adalah karena orang-orang yang sengaja meninggalkan kewajiban shalat dan tidak mau diingatkan lagi untuk melaksanakannya mereka itu sudah (menjadi) setan yang membangkang Allah sehingga jauh dari rahmat-Nya dan selalu dalam kemarahan dan kutukan-Nya.
Dalam kaitan ini, Kamus Online Almaany menyebutkan:
شَيْطان: كل متمرد مفسد من إنس أو جن
Artinya: “Setan adalah siapa saja yang membangkang baik dari kalangan manusia ataupun jin.”
Kesimpulannya, kepala keluarga dalam keluarga Muslim tidak bisa lepas dari kewajiban memastikan setiap anggota yang menjadi tanggungannya melaksanakan shalat lima waktu. Jika mereka tidak melaksanakannya, kepala keluarga berkewajiban memerintahkan untuk shalat. Jika mereka mengabaikan, kepala keluarga wajib menasihati dan jika perlu memarahi, mengancam hingga menghukum sesuai kewenanganya, dan bahkan ia dibenarkan melakukan boikot hingga mereka melaksanakan shalat lima waktu. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar