Jumat, 18 Juni 2021

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 4

  

مَالِكِ يَوْمِ الدِّين

 

Artinya, “Penguasa hari agama (kiamat).”

 

Secara harfiah, “malik” berarti penguasa atau pemilik. Kata “yaum” berarti hari. Kata “ad-din” berarti agama, hisab, atau pembalasan sebagaimana kalimat, “kamā tadīnu tudānu” atau (sebagaimana kau berbuat, maka kau akan menerima balasannya).

 

Dari pengertian secara harfiah ini, ada ulama yang menafsirkan bahwa pengadilan atas agama atau keyakinan oleh Allah hanya berlaku di akhirat, bukan di dunia. Oleh karenanya, pengadilan atas agama atau keyakinan manusia tidak berlangsung di dunia dan tidak boleh dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya.

 

Syekh Jalaluddin dalam Tafsirul Qur’anil Azhim (Tafsirul Jalalain) mencoba untuk menjelaskan kenapa kuasa Allah disebutkan secara khusus di hari kiamat. Padahal, Allah juga berkuasa atas alam semesta dan dunia yang fana ini.

 

"مَالِك يَوْم الدِّين" أَيْ الْجَزَاء وَهُوَ يَوْم الْقِيَامَة وَخُصّ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ لَا مُلْك ظَاهِرًا فِيهِ لِأَحَدٍ إلَّا لِلَّهِ تَعَالَى بِدَلِيلِ "لِمَنْ الْمُلْك الْيَوْم ؟ لِلَّهِ" وَمَنْ قَرَأَ مَالِك فَمَعْنَاهُ مَالِك الْأَمْر كُلّه فِي يَوْم الْقِيَامَة أَوْ هُوَ مَوْصُوف بِذَلِك دَائِمًا "كَغَافِرِ الذَّنْب" فَصَحَّ وُقُوعه صِفَة لِمَعْرِفَةِ

 

Artinya, “’Penguasa hari agama,’ yaitu hari pembalasan; maksudnya hari kiamat. Hari ini disebut secara khusus karena secara lahir tiada kekuasaan siapa pun hari itu kecuali kuasa-Nya dengan dalil firman Allah, ‘Kekuasaan siapa hari ini? (kekuasaan) Allah.’ Kalau ada orang yang membaca ‘māliki,’ maka kata itu berarti orang yang menguasai segala urusan di hari kiamat; atau ia menjadi sifat sebagaimana frasa ‘yang mengampuni dosa’ sehingga boleh saja penyifatan kata ma’rifah,” (Syekh Jalaludin, At-Tafsirul Quranil Azhim, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun]).

 

Imam Ibnu Katsir (1301 M-1372 M) juga menjelaskan fenomena yang sama, kenapa kuasa-Nya dikhususkan pada hari agama atau hari kiamat melalui frasa “māliki yaumid dīn.” Apakah di dunia Allah tidak berkuasa? Tentu maksudnya bukan demikian. Menurutnya, frasa ini tidak menafikan kuasa-Nya di luar hari kiamat karena Allah telah mengawalinya dengan frasa “rabbil ālamīn” sebagai penguasa alam semesta yang mengandung keumuman di dunia dan akhirat.

 

Kata “kuasa” pada “māliki” yang disandingkan dengan “hari agama atau kiamat” melalui “yaumid dīn” mengabarkan bahwa di hari itu tiada seorang pun mampu mendakwakan sesuatu; dan tiada seorang pun yang dapat berbicara tanpa izin-Nya sebagaimana keterangan pada Surat An-Naba ayat 38, Surat Thaha ayat 108, dan Surat Hud ayat 105.

 

Ibnu Katsir juga menyebut riwayat Ad-Dhahak, Ibnu Abbas menafsirkan Surat Al-Fatihah ayat 4 bahwa tiada seorang pun selain Allah yang berkuasa mengambil putusan di hari kiamat kelak sebagaimana mereka berkuasa mengambil putusan di dunia. “Yaumud dīn” merupakan hari hisab bagi semua makhluk-Nya, yaitu hari kiamat di mana Allah membalas mereka sesuai amal. Jika amal mereka di dunia baik, maka balasannya juga baik. Tetapi jika buruk, maka balasannya juga buruk kecuali mereka yang mendapatkan ampunan-Nya. Pendapat Ibnu Abbas ini juga dipegang oleh para sahabat lain, tabi’in, dan generasi salaf setelahnya. Ini pendapat yang “zhahir.”

 

Penguasa hakiki adalah Allah, kata Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Allah berfirman sebagai berikut:

 

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ

 

Artinya, “Dia-lah Allah yang tiada tuhan selain Dia, yang berkuasa, suci, sejahtera.” (Surat Al-Hasyr ayat 23).

 

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga mengutip hadits riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

 

وفي الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه مرفوعًا أخنع اسم عند الله رجل تسمى بملك الأملاك ولا مالك إلا الله، وفيهما عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "يقبض الله الأرض ويطوي السماء بيمينه ثم يقول أنا الملك أين ملوك الأرض؟ أين الجبارون؟ أين المتكبرون؟"

 

Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, ‘Nama paling khianat di sisi Allah adalah nama seseorang ‘maha raja’ atau ‘maha penguasa.’’ Padahal tiada penguasa kecuali Allah. Dalam riwayat keduanya juga terdapat hadits dari Rasulullah, ‘Ketika Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, Dia menyeru, ‘Aku-lah penguasa. Di mana penguasa bumi? Di mana para penguasa arogan? Di mana para penguasa angkuh?’”

 

As-Shabuni menjelaskan singkat Surat Al-Fatihah ayat 4. Menurutnya, lafal “Māliki yaumid din” berarti bahwa Allah SWT penguasa atas pembalasan dan hisab; yang membuat kebijakan dan memutuskan di hari agama sebagaimana otoritas dan wewenang seorang raja di dalam wilayah kekuasaannya. (As-Shabuni, 1999 M/1420 H: 25).

 

مالك يوم الدِّين [مأخوذٌ من المِلْك، والمِلْك مأخوذٌ من المُلْك، أَيْ] : قاضي يوم الجزاء والحساب؛ لأنَّه متفرِّدٌ في ذلك اليوم بالحكم

 

Artinya, “’Māliki yaumid dīn’ diambil dari kata ‘al-milk’ atau kepemilikan. Kata ‘al-milk’ diambil dari kata ‘al-mulk’ atau kekuasaan. Maksudnya, hakim di hari pembalasan dan hari hisab karena Allah sendiri pada hari itu yang memutuskan,” (Az-Zuhayli, At-Tafsirul Wajiz, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], cetakan pertama).

 

Ada juga ulama tafsir yang memahami Surat Al-Fatihah ayat 4 bahwa Allah berkuasa untuk mendirikan hari kiamat. Allah berkuasa mengembalikan semua makhluk-Nya yang telah hancur menjadi utuh seperti diciptakan semula, sebagaimana dikutip oleh Imam At-Thabari.

 

Ragam Pelafalan Māliki Yaumid Din

 

Syekh Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya yang berjudul Mahasinut Ta’wil mengatakan bahwa Imam Ashim dan Al-Kisai membaca Surat Al-Fatihah ayat 4 dengan alif, “māliki.” Sedangkan imam qiraah lainnya membacanya tanpa alif, “maliki.” (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 8).

 

Az-Zamakhsyari menguatkan bacaan tanpa alif karena itu merupakan bacaan warga Haramain. Tetapi ulama lain menyatakan bacaan dengan alif “māliki” lebih kuat maknanya karena kata ini mengandung makna penguasa yang mengatur semua urusan rakyatnya secara umum. (Al-Qasimi, 1957 M/1376 H: 8-9).

 

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa sebagian orang membaca “maliki” tanpa alif pada mim. Sedangkan ulama lain membacanya “māliki” dengan alif pada mim. Keduanya shahih mutawatir dalam qiraat sab’ah. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 14).

 

Ada juga ulama yang membacanya “malīki yaumid dīn” dengan ya pada lam. Imam Nafi’ membaca panjang pada kaf, “malikī yaumid dīn.” Semua bacaan ini baik dan sahih. Imam Abu Hanifah membaca dengan struktur fi’il, fa’il, dan maf’ul; “malaka yaumad dīn.” Tetapi bacaan ini sangat gharib. (Ibnu Katsir, tanpa catatan tahun: 14).

 

Imam At-Thabari (wafat 310 H) dalam tafsirnya, Jamiul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, juga menyebutkan bahwa imam qiraat berbeda bacaan Surat Al-Fatihah ayat 4. Sebagian orang membaca “māliki yaumid dīn.” Ada lagi yang membaca “maliki yaumid dīn.” Ada juga ulama yang membaca “mālika yaumid dīn.” Tetapi bacaan terakhir, kata At-Thabari, tidak diperbolehkan oleh imam qiraah. (At-Thabari, 2000 M/1420 H). Wallahu a‘lam. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar