Perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an atau yang
dikenal dengan qira’at Al-Qur’an –sebagaimana yang telah dijelaskan pada edisi
lalu–ada yang berdampak pada perubahan makna. Perbedaan bacaan Al-Qur’an yang
berpengaruh pada perubahan makna yaitu perbedaan bacaan yang berkaitan dengan
substansi lafadz dalam Al-Qur’an. Sebab munculnya perbedaan bacaan itu kemudian
juga berdampak pada ranah istimbath (penggalian kesimpulan) hukum.
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam suatu
persoalan, kadang, dilatarbelakangi oleh perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an.
Seperti pada kasus shalat di belakang maqam Ibrahim. Dalam syariat Islam shalat
di belakang maqam Ibrahim adalah sebuah anjuran bagi kaum muslimin saat mereka
melaksanakan thawaf. Tapi apakah anjuran ini berlegalitas hukum sunnah atau
hukum wajib? Pada kesempatan ini, penulis akan menguraikan perbedaan tersebut
dengan pendekatan perbedaan bacaan qira’at Asyrah dalam surat al-Baqarah ayat
125.
وَاتَّخِذُوا
مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Para imam qira’at berbeda pendapat tentang
bacaan lafadz وَاتَّخِذُوا; Imam Nafi’ dan Ibnu
Amir membacanya dengan harakat fathah pada huruf kha’ (وَاتَّخَذُوا) bentuk madhi (kata kerja lampau),
sedangkan imam-imam yang lain, seperti Ibnu Katsir, Abu Amr, Hamzah, al-Kisa’i,
Abu Ja’far, Ya’kub al-Hadrami dan Khalaf, membacanya dengan harakat kasrah pada
huruf kha’ (وَاتَّخِذُوا) bentuk amr
(perintah) (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyrah
al-Mutawatirah: 40).
Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa apabila
dibaca dengan bentuk madhi, ia memiliki kandungan arti berita (وَاتَّخَذُوا), maka lafadz ini di-athaf-kan kepada
lafadz sebelumnya, yaitu (وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ
مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا). Dengan demikian, dua kalimat ini adalah
satu susunan kata yang terikat. Sementara apabila dibaca dengan bentuk amr (وَاتَّخِذُوا), ia memiliki kandungan arti perintah,
maka pada lafadz (وَاتَّخِذُوا) adalah kalimat baru
yang terputus dari kalimat yang pertama (Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam
Al-Qur’an , II: 110).
Senada dengan al-Qurtubi, Nabil Muhammad
mengatakan bahwa apabila dibaca dengan fathah huruf kha’-nya (madhi), maka
bacaan itu adalah mengandung arti berita atau pemberitahuan semata. Artinya,
bahwa ayat ini sebuah kabar dari Allah bahwa anak keturunan Nabi Ibrahim
menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Bacaan ini selaras dengan ayat
sebelumnya yang berbentuk madhi juga, yaitu (وَإِذْ
جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا).
Dari keselarasan kedua kelimat di atas, yang
sama-sama berbentuk madhi (جَعَلْنَا)
dan (اتّخَذُوا), maka bacaan ini
memberi pemahaman bahwa Allah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat berkumpul
dan tempat yang aman bagi manusia dan anak keturunan Nabi Ibrahim menjadikan
maqamnya sebagai tempat shalat.
Sementara apabila dibaca dengan kasrah huruf
kha’-nya (وَاتَّخِذُوا), maka bacaan itu
adalah bentuk perintah (amr) dan perintah adalah suatu kewajiban yang harus
dilaksanakan. Artinya, melakukan shalat di maqam ibrahim adalah wajib. Bacaan
ini di perkuat oleh sejarah perjalanan Nabi Muhammad bahwa beliau ketika
melakukan thawaf di Baitul Haram, beliau membaca ayat ini (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى) kemudian beliau
melaksanakan shalat sunnah dua rakaat di belakang maqam Ibrahim sesuai dengan
perintah pada ayat di atas (Nabil Muhammad, Ilmu al-Qira’at; Nasy’atuhu
Athwaruhu Atsaruhu fi al-Ulum al-Syar’iyah: 381).
Sementara itu, Imam Nawawi al-Bantani
menguraikan bahwa Imam Ibnu Katsir, Abu Amr, Hamzah, Ashim dan al-Kisa’i
membaca dengan kasrah huruf kha’, dengan bentuk amr (وَاتَّخِذُوا)
yang berarti perintah. Untuk memperkuat pendapat bacaan ini beliau mengutip
perkataan Imam Qatadah dan Imam al-Suddi: (أمروا أن
يصلوا عنده). Artinya: “Mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat di
maqam Ibrahim”.
Dengan demikian, jumlah kalimat ini adalah
kalam I’tiradh (berlawanan) di sela-sela kisah Nabi Ibrahim. Sementara Imam
Nafi’ dan Ibnu Amir membaca fathah huruf kha’ (وَاتَّخذُوا)
dengan bentuk madhi, yang mengandung arti berita bahwa keturunan Nabi Ibrahim
menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. (Imam Nawawi al-Bantani, Tafsir
Marah Labid li Kasyfi makna Qur’an Majid /35).
Atas dasar perbedaan bacaan inilah kemudian
para fuqaha’ berbeda pendapat soal status hukum shalat di belakang maqam
Ibrahim, apakah ia berstatus sunnah atau berstatus wajib ?
Malikiyah, Hanabilah dan salah satu pendapat
Imam Syafi’I menegaskan bahwa shalat di belakang maqam Ibrahim adalah sunnah.
Imam al-Zurqani dalam syarah kitab al-Muwatha’ menjelaskan bahwa shalat di
belakang maqam Ibrahim adalah sunnah.
Beliau berkata:
(فَرُبَّمَا
صَلَّى عِنْدَ الْمَقَامِ) ، أَيْ خَلْفَ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عَمَلًا بِالْمُسْتَحَبِّ،
(أَوْ عِنْدَ غَيْرِهِ) ، لِجَوَازِهِ.
Artinya: “Boleh jadi dia shalat di belakang
maqam Ibrahim karena mengamalkan sunnah, atau di ditempat lain karena hal
tersebut boleh. (Muhammad al-Zurqani al-Masri al-Azhari, Syarah al-Zurqani ‘Ala
Muwattha’ Imam Malik. Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, 2003/juz 2/ 459).
Demikian pula, menurut Imam al-Qudamah bahwa
shalat di belakang maqam adalah sunnah. Beliau berkata:
وَيُسْتَحَبُّ
أَنْ يَرْكَعَهُمَا خَلْفَ الْمَقَامِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاتَّخِذُوا مِنْ
مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى}
Artinya: “Disunnahkan melaksanakan shalat dua
rakaat di belakang maqam Ibrahim, karena susuai firman Allah (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى). (Ibu Qudamah,
Al-Mughni Li Ibn Qudamah, Kairo: Maktabah Kairo, 1968, III: 347).
Sementara pendapat Imam Syafi’i terdapat dua
pendapat; wajib dan sunnah.
وإذا
فرغ من الطواف صلى ركعتي الطواف وهل يجب ذلك أم لا فيه قولان: أحدهما أنها واجبة
لقوله عز وجل {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً} [البقرة:125]
الأمر يقتضي الوجوب والثاني لا يجب لأنها صلاة زائدة على الصلوات الخمس فلم تجب
بالشرع على الأعيان كسائر النوافل والمستحب أن يصليهما عند المقام لما روى جابر أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم طاف بالبيت سبعاً وصلى خلف المقام ركعتين فإن صلاهما
في مكان آخر جاز.
Artinya: “Apabila telah rampung melaksanakan
thawaf, maka hendaklah shalat dua rakaat thawaf, apakah shalat ini wajib atau
tidak? Ada dua qaul; salah satunya menyatakan bahwa shalat itu adalah wajib,
sesuai firman Allah: (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ
إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً)—dibaca kasrah huruf kha’-nya. Adapun
perintah mengandung arti wajib. Kedua, shalat di belakang maqam Ibrahim adalah
tidak wajib, sebab itu adalah shalat tambahan atas shalat lima waktu, maka
shalat itu tidak wajib menurut syara’, ia seperti shalat sunnah lainnya. Adapun
yang disunnahkan adalah shalat dua rakaat di belakang maqam sebagaimana
diriwayatkan oleh Jabir bahwa Nabi Muhammad Saw, thawaf di Baitul Haram tujuh
kali dan shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim, apabila di laksanakan di
tempat lain, maka boleh. (al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam
al-Syafi’I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth/ juz 1/ 408).
Adapun menurut Imam Hanafi dan pengikutnya
menyatakan bahwa shalat di belakang maqam Ibrahim adalah wajib. Hal ini
didasarkan pada ayat {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ
إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً}-dibaca kasrah huruf kha’-nya-. menurutnya
bentuk amr dalam lafadz {وَاتَّخِذُوا }
merupakan perintah yang harus dilaksanakan.
(ثُمَّ
يَأْتِي الْمَقَامَ فَيُصَلِّي عِنْدَهُ رَكْعَتَيْنِ أَوْ حَيْثُ تَيَسَّرَ مِنْ
الْمَسْجِدِ) وَهِيَ وَاجِبَةٌ عِنْدَنَا
Artinya: “Maka hendaknya dia shalat dua rakaat
jika ia mendatangi maqam Ibrahim, atau sekiranya mudah (dilaksanakan) dari
masjid. Shalat (di belakang maqam Ibrahim) itu menurut kami adalah wajib”.
Untuk memperkuat pendapat ini, beliau mengutip
hadits Nabi Muhammad:
وَلِيُصَلِّ
الطَّائِفُ لِكُلِّ أُسْبُوعٍ رَكْعَتَيْنِ
Artinya: “Hendaknya seorang yang thawaf
melaksanakan shalat dua rakaat setiap (setelah) tujuh kali putaran”.
Menurutnya, kata perintah di sini adalah wajib yang harus dilaksanakan. (Ibnu
al-Hammam, Fathul Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tth/ juz 2/456).
Selaras dengan pendapat di atas, Imam Makki bin
Abi Thalib menguraikan beberapa riwayat, diantaranya adalah;
روي
أن النبي صلى الله عليه وسلّم أخذ بيد عمر رضي الله عنه، فلمّا أتيا المقام، قال
عمر: هذا مقام أبينا إبراهيم ؟ فقال النبي نعم ، فقال عمر: أفلا نتخذه مصلّى ؟ فأنزل الله جلّ ذكره:
{وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً} على الأمر بذلك، اي افعلوه.
Diriwayatkan bahwa Nabi Saw, memegang tangan
Umar, ketika keduanya sampai di maqam Ibrahim, Umar bertanya, “Apakah ini maqam
bapak kita Ibrahim ?. Nabi menjawab, “Iya”. Maka umar berkata: “Apakah kami
boleh menjadikannya tempat shalat ?. Maka Allah menurunkan ayat “Jadikanlah
maqam Ibrahim sebagai tempat shalat”. (ayat itu turun) atas perintah, artinya:
“Lakukanlah itu”. (Makki bin Abi Thalib, Al-Kasyfu ‘An Wujuh al-Qira’at
al-Sab’I wa Ilaliha wa Hujajiha, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984) 263.
Pendapat ini diperkuat oleh riwayat-riwayat
yang lain yang disampaikan oleh Imam Abu Umar Hafs al-Duri dalam karyanya “
Juz’un Fihi Qira’at an-Nabi”.
حدثنا
أحمد بن إسحاق الحضرمي، عن يحيى بن سعيد القطان، حدثني جعفر بن محمد، حدثني أبي
قال: سمعت جابر بن عبد الله يقول : إن النبي صلى الله عليه وسلّم كان يقرأ
(وَاتَّخِذُوا) مكسورة.
Ahmad bin Ishaq al-Hadhrami menceritakan kepada
kami, dari Yahya bin Said al-Qatthan, Ja’far bin Muhammad menceritakan
kepadaku, Bapakku bercerita bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata
bahwa Nabi Muhammad Saw, membaca lafadz وَاتَّخِذُوأ dengan
kasrah huruf kha’.
حدثنا
أبو عمارة، عن أبي الفضل الأنصاري، عن القاسم بن عبد الرحمن الأنصاري، عن أبي جعفر
محمد بن علي، عن جابر بن عبد الله الأنصاري أن النبي صلى الله عليه وسلّم قرأ
(وَاتَّخِذُوا) على الأمر.
Abu Imarah bercerita kepada kami dari Abi
al-Fadhl al-Anshari dari al-Qasim bin Abdurrahman al-Anshari dari Abi Ja’far
Muhammad bin Ali dari Jabir bin Abdullah al-Anshari bahwa Nabi Muhammad Saw,
membaca وَاتَّخِذُوأ dengan wazan amr
(perintah). (Abu Umar Hafs al-Duri, Juz’un Fihi: Qira’at an-Nabi, Madinah:
Mkatabah al-Dar, 1988) 71-72.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an berpengaruh pada perubahan makna, dan atas
dasar perbedaan itu pula para ulama fiqh ber-istimbath hukum. Selaras dengan
fungsi turunnya Al-Qur’an, yaitu menjadi rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam,
maka perbedaan dalam Al-Qur’an merupakan suatu manisfestasi rahmat itu sendiri,
sebab tidak akan dijumpai perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an perbedaan yang
kontradiktif, karena ia turun dan lahir dari kalam Yang Maha Benar dengan
segala firman-Nya. []
Ustadz
Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina
Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih