Jumat, 28 Januari 2022

(Do'a of the Day) 25 Jumadil Akhir 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Rabbanaa lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi, mil 'as samaawaati wa mil'al ardhi wa mil'a maa syi'ta min syai'in ba'du. Ahlats tsaanaai wal majdi ahaqqu maa qaalal 'abdu wa kullunaa laka 'abdun, laa maani'a limaa a'thaita wa laa mu'thiya limaa mana'ta wa laa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu.

 

Ya Tuhan kami, hanya bagi-Mu segala puji, puji yang banyak, puji yang baik, puji yang diberkati sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh antara keduanya dan sepenuh apa yang Kau kehendaki adanya sesuatu selain itu, wahai Tuhan pemilik puji dan sanjung. Kami semua adalah hamba-Mu. Tiada seorangpun yang dapat menghalangi apa saja yang Kau berikan dan tiada seorangpun yang dapat memberikan sesuatu yang Kau tega. Dan tidak ada kehormatan yang dapat memberikan manfa'at kepada orang yang terhormat.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 39.

(Khotbah of the Day) Bijak Dakwah di Media Sosial

KHUTBAH JUMAT

Bijak Dakwah di Media Sosial


Khutbah I

 

 

hutbah Jumat: اَلْحَمْدُ للهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاه. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَانَبِيّ بعدَهُ

 

أَمَّا بَعْدُ فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَقَالَ اِذَا جَاءَكَ الْمُنٰفِقُوْنَ قَالُوْا نَشْهَدُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُ اللّٰهِ ۘوَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُهٗ ۗوَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَكٰذِبُوْنَۚ

 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

 

Saat ini kita hidup di masa di mana semua informasi dengan begitu mudahnya didapatkan. Kalau dulu, ingin tahu informasi tertentu, kita harus membeli majalah, koran, atau buku, sekarang tanpa harus mengeluarkan uang, informasi berseliweren di media sosial yang kita miliki. Tidak perlu repot untuk mendapatkan informasi pada masa sekarang. Tinggal klik kata kunci di Google, seluruh informasi yang berkaitan akan disajikan kepada kita.

 

Tidak hanya mencari informasi yang dimudahkan, menyampaikan informasi juga sangat mudah. Jika kita ingin mengabarkan kepada keluarga atau teman terkait kondisi kita sekarang, cukup buka media sosial, dan ceritakan tentang bagaimana keadaan kita sekarang. Tidak butuh waktu lama, semua keluarga dan teman yang berinteraksi dengan kita di media sosial, akan mengetahui kondisi kita.

 

Kemudahan mendapatkan dan menyampaikan informasi ini harus dikelola sebaik mungkin agar tidak terjadi penyalahgunaan. Sama-sama diketahui, tidak semua informasi yang ada di internet itu benar. Teliti dan bersikap kritislah terhadap informasi yang tersebar-luas di internet. Apalagi bila informasi itu berkaitan dengan nama baik seseorang. Jangan sampai, kita termakan berita yang tidak benar, alias hoaks.

 

Media sosial saat ini menjadi salah satu rujukan dalam belajar Islam. Ada banyak kajian keagamaan yang bisa diakses di media sosial. Para pendakwah masa sekarang pun sudah banyak yang terampil di media sosial. Setiap mengisi kajian atau ceramah, mereka selalu mendokumentasikan dalam bentuk video, kemudian diunggah di media sosial. Kelebihannya, jangkaun pendengarnya semakin luas, tidak hanya terbatas orang yang ada di masjid.

 

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah

 

Era keterbukaan ini, mari kita manfaatkan dengan sebaik-baik mungkin. Kalau kita ingin menyebarluaskan ajaran Islam, media sosial adalah saluran yang sangat efektif untuk itu. Tapi sampaikan ajaran Islam dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Jangan sampai, pendekatan yang kita gunakaan, malah membuat orang menjadi takut dan enggan untuk belajar Islam. Karena itu, dalam surat al-Nahl ayat 125, Allah SWT berfirman:

 

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ

 

Artinya, “Ajaklah manusia kepada jalan tuhan-Mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik” (Surat An-Nahl ayat 125)

 

Dalam Tafsir al-Qurthubi, Imam al-Qurthubi menjelaskan:

 

هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ بِمَكَّةَ فِي وَقْتِ الْأَمْرِ بِمُهَادَنَةِ قُرَيْشٍ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَدْعُوَ إِلَى دِينِ اللَّهِ وَشَرْعِهِ بِتَلَطُّفٍ وَلِينٍ دُونَ مُخَاشَنَةٍ وَتَعْنِيفٍ

 

Artinya, “Ayat ini turun di Mekah pada waktu perang dengan orang Qurays. Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengajak orang kepada agama dan syariat Allah dengan cara yang lembut dan lunak, bukan dengan cara yang kasar dan keras.”

 

Bayangkan, dalam kondisi perang saja, Allah masih memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan ajaran Islam dengan lemah lembut dan tidak menggunakan cara kekerasan. Apalagi dalam situasi damai. Masyarakat kita saat ini hidup dalam kondisi rukun dan tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan. Sebagai pendakwah, mestinya kondisi rukun ini harus tetap dijaga. Makanya, konten dakwah yang kita sebarluaskan di media sosial, usahakan tidak menyulut emosi orang yang berujung pada kekecauan dan kekerasan.

 

Ma’asyiral Muslim Rahimakumullah

 

Karena jejak digital itu abadi, susah dihilangkan, berpikirlah semaksimal mungkin, sebelum kita mengupload konten di media sosial. Apalagi bila konten itu berkaitan dengan masalah agama. Pastikan bahwa apa yang kita sampaikan itu sudah sesuai dengan ajaran yang disampaikan para ulama, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalam Islam. Selain konten, yang perlu diperhatikan adalah dampak dari konten yang kita sebarluaskan.

 

Sebarkanlah informasi yang baik dan juga memiliki pada dampak kebaikan. Meskipun informasinya benar, tapi kalau kita sebarkan nanti akan memicu kesalahpahaman dan keributan, alangkah baiknya informasi itu kita tahan dulu. Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar mengingatkan:

 

اعلم أنه لكل مكلف أن يحفظ لسنانه عن جميع الكلام إلا كلاما تظهر المصلحة فيه، ومتى استوى الكلام وتركه فى المصلحة، فالسنة الإمساك عنه، لأنه قد ينجر الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة

 

Artinya, “Hendaklah setiap orang menjaga lisannya pada pembicaraan apapun, kecuali bila dipastikan ada kemaslahatannya. Namun jika bimbang, antara meninggalkan dan mengucapkannya sama-sama ada maslahahnya, disunnahkan tetap diam (tidak berkata apapun). Sebab terkadang perkataan biasa bisa berimplikasi pada keharaman dan makruh. Bahkan hal seperti ini banyak terjadi.”

 

Masih dalam Kitab Al-Azkar, Imam An-Nawawi mengutip pernyataan Imam As-Syafi’i terkait pentingnya menjaga kata:

 

إذا أراد الكلام فعليه أن يفكر قبل كلامه، فإن ظهرت المصلحة تكلم، وإن شك لم يتكلم حتى تظهر

 

Artinya, “Apabila kalian hendak bicara, berpikirlah sebelumnya. Jika ada kemaslahatan pada ucapan tersebut, bicaralah. Andaikan kalian ragu, lebih baik tidak bicara sampai ditemukan kemaslahatannya”

 

Sebagai penutup, menyampaikan kebaikan ataupun ajaran agama seluas-luasnya adalah perbuatan yang sangat terpuji dan dianjurkan dalam agama, tapi kita juga harus ingat, ajaran agama juga harus disampaikan dengan cara yang baik dan bijak, apalagi di media sosial yang sangat rentan disalahpahami. Sampaikan dan sebarluaskanlah konten yang maslahatnya sudah jelas, kalau memang masih diragukan, lebih baik ditunda dan ditahan dulu, agar tidak menimbulkan kemudaratan.

 

Khutbah II

 

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ ثُمَّ الْحَمْدُ لِلَّهِ. أَشْهَدُ أنْ لآ إلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَا نَبِيّ بعدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ.

 

أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ

 

فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰأَ يُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ والقُرُوْنَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِهَِٰا رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

 

عِبَادَاللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

 

 

Ustadz Hengki Ferdiansyah, pegiat kajian hadits, tinggal di Jakarta.

Tan Malaka Mengaku sebagai Petani saat Hendak Bertemu KH Wahid Hasyim

KH Abdul Wahid Hasyim merupakan tokoh perjuangan yang tidak henti-hentinya mengonsolidasikan potensi kekuatan rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Mulai dari pesantren ke pesantren, bahkan kerap menyampaikan informasi penting kepada rakyat melalui tokoh-tokoh di daerah.

 

Perjuangan strategis itu juga membuat KH Wahid Hasyim kerap didatangi tamu tokoh-tokoh pergerakan nasional yang turut bergerilya melawan penjajah, di antaranya Tan Malaka. Untuk menyamarkan identitasnya, Tan Malaka mengaku sebagai seorang petani ketika hendak menemui KH Wahid Hasyim untuk memperkuat konsolidasi perjuangan rakyat.

 

Sekitar Mei 1945, KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001: 274) mengisahkan ketika seorang pemuda Ansor Jakarta bernama Fatoni memberitahukan kepadanya bahwa seorang petani bernama Husin akan meminta untuk berjumpa dengan KH A. Wahid Hasyim.

 

Petani Husin ini akhirnya dapat bertemu dengan KH Wahid Hasyim. Mereka cukup lama mengadakan pembicaraan. Setelah sang petani itu pergi, KH Wahid Hasyim memberitahukan kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa yang dimaksud seorang petani adalah Tan Malaka, tokoh terkemuka dalam memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, guru Adam Malik dan Chairul Saleh.

 

Namun demikian, baik KH Wahid Hasyim maupun Tan Malaka memiliki jalur masing-masing dalam melakukan perjuangan melawan penjajah. KH Wahid Hasyim lebih banyak berinteraksi dengan pesantren, rakyat jelata, mendirikan wadah untuk menanamkan spirit nasionalisme kepada anak-anak muda, terutama. KH Wahid Hasyim juga sesekali melakukan diplomasi strategis untuk mengupayakan kemerdekaan bangsa Indonesia.

 

Berbicara penyamaran, Tan Malaka memang kerap berganti-ganti nama ketika sedang berada di suatu daerah dan negara.

 

Selain nama Tan Malaka, ia juga punya banyak nama samaran lain di antaranya, Ilyas Husein ketika di Indonesia, Alisio Rivera ketika di Filipina, Hasan Gozali di Singapura, Ossorio di Shanghai, dan Ong Soong Lee di Hong Kong.

 

Tak banyak tokoh pergerakan nasional yang pandai menyamar dan berkali-kali lolos dari kejaran aparat kolonial. Jika banyak tokoh pergerakan Indonesia terkenal karena pembuangannya, seperti Sukarno di Bengkulu, Hatta dan Syahrir di Boven Digoel, maka Tan Malaka terkenal karena gerakan bawah tanah (underground) dan penyamarannya.

 

Lain dari Tan Malaka, KH Wahid Hasyim memilih perjuangan terbuka. Putra KH Hasyim Asy’ari tersebut lebih memanfaatkan kekuatan diplomasi selain tentu saja menyiapkan laskar atau pasukan kalau-kalau terjadi perlawanan bersenjata.

 

Dalam upaya menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan itu, Kiai Wahid Hasyim kerap mengunjungi daerah-daerah. Di Jakarta Kiai Wahid bekerja sama dengan tokoh-tokoh nasional dan kalangan pemuda. Di daerah-daerah, beliau mempunyai anak buah dari kalangan supir truk, bengkel mobil, kondektur kereta api, dan pedagang keliling untuk melakukan tugas-tugas penghubung. Selain itu, hubungan, jaringan, dan koneksi dengan dunia pesantren tambah diperkuat. Konsolidasi tak biasa dari ‘Pasukan Rakyat Jelata’.

 

Perjuangan melawan pendudukan Jepang bagi santri dan ulama pesantren tidak kalah sulit. Apalagi ketika salah satu guru para ulama di Jawa, KH Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang karena tuduhan mengada-ada. Kontak fisik dan senjata kerap terjadi, diplomasi dan perundingan terus dilakukan, sembari melakukan riyadhoh rohani untuk meminta kekuatan, perlindungan, pertolongan Yang Maha Kuasa.

 

Dari jalan cukup panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang, KH Wahid Hasyim dalam banyak kesempatan seringkali menjelaskan isi ramalan Ronggowarsito tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menduduki Indonesia. (KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)

 

Kepercayaan tersebut ditegaskan oleh Kiai Wahid Hasyim harus menjadi dorongan untuk berjuang. Ayah Gus Dur itu mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakal kepada Allah SWT.”

 

Dalam perjuangan penuh liku-liku menghadapi Jepang, pada tahun 1945, Indonesia berhasil memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H. Seluruh pergerakan nasional dari santri, tokoh nasionalis, dan rakyat tidak terlepas dari bimbingan kiai-kiai pesantren terutama KH Hasyim Asy’ari. Namun, proklamasi kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan karena Indonesia masih harus berjuang menghadapi agresi militer Belanda II dan para pemberontak. []

 

Penulis: Fathoni Ahmad Editor: Muchlishon

(Ngaji of the Day) Masail Hukum Menerbitkan Karya Tulis Orang Lain tanpa Izin

Pertanyaan:


Assalamu 'alaikum Wr. Wb.

Redaksi NU Online, usaha penerbitan dan percetakan tetap diminati dan tetap prospektif. Tetapi sebagian penerbit kadang menerbitkan karya tulis orang lain tanpa seizin penulis. Bagaimana kedudukan masalah ini dalam Islam? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. Wb.

 

AbdulTangerang

 

Jawaban:

 

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Hal ini sesekali terjadi sehingga memunculkan persengketaan antara penerbit dan penulis, kadang juga dengan beberapa penulis yang dikumpulkan menjadi antologi.

 

Masalah ini pernah diangkat dalam forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama tentang Masail Diniyah Waqi’iyyah pada 17-20 November 1997 M di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

 

Para kiai waktu itu memutuskan bahwa hak cipta dilindungi oleh hukum Islam sebagai hak milik dan dapat menjadi tirkah bagi ahli warisnya, sebagaimana keputusan Muktamar Ke-28 Nahdlatul Ulama di Krapyak, Yogyakarta tahun 1989.

 

Tindakan mencetak dan menerbitkan karya tulis pihak lain, kata putusan Munas NU di Lombok, hukumnya haram kecuali ada izin dari pemilik hak/pengarang/penulis atau ahli waris atau pemegang kuasa atas hak cipta tersebut. Selanjutnya, apabila pemilik hak/pengarang/penulis atau ahli waris atau pemegang kuasa atas hak cipta sudah tidak ada, maka hak cipta karya tulis tersebut menjadi hak kaum muslimin untuk kemaslahatan mereka secara umum.

 

وَيَنْبَغِيْ أَنْ يَعْتَنِيَ بِتَحْصِيْلِ الْكُتُبِ الْمُحْتَاجِ إِلَيْهَا مَا أَمْكَنَهُ بِشِرَاءٍ وَإِلاَّ فَبِأُجْرَةٍ أَوْ عَارِيَةٍ وَلاَ يَشْتَغِلُ بِنَسْخِ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ مَا يَتَعَذَّرُ تَحْصِيْلُهُ بِغَيْرِ النَّسْخِ ... وَلاَ يَنْسَخُ مِنْهُ بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِهِ إِذْ مُطْلَقُ الاسْتِعَارَةِ لاَ تَتَنَاوَلُ النَّسْخَ إِلاَّ إِذَا قَالَ لَهُ الْمَالِكُ لِتَنْتَفِعْ بِهِ كَيْفَ شِئْتَ وَلاَ بَأْسَ بِالنَّسْخِ مِنْ مَوْقُوْفٍ عَلَى مَنْ يَنْتَفِعُ كِتَابَهُ

 

Artinya, “Harus diusahakan memperoleh kitab-kitab yang dibutuhkan, sebisa mungkin dengan membeli, atau jika tidak mungkin maka dengan menyewa atau meminjam. Hendaknya tidak melakukan penyalinan kecuali jika memang tidak mungkin bisa dihasilkan tanpa menyalinnya kembali... tidak boleh menyalin kecuali dengan izin pemiliknya, karena peminjaman secara mutlak tidak mencakup (izin) penyalinan, kecuali si pemilik berkata, ‘Silakan manfaatkan buku itu sebagaimana yang Anda inginkan.’ Boleh menyalin kitab yang diwakafkan bagi orang yang bisa memanfaatkannya.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Haditsiyah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], halaman 163).

 

Kami menyarankan penerbit untuk memerhatikan kaidah penerbitan baik karya tulis maupun karya terjemahan yang berlaku dalam hukum positif dan hukum Islam. Kecuali itu, kami menganjurkan penerbit membuat perjanjian secara tertulis terkait izin penerbitan dari penulis sejenis surat kontrak kerja sama, bukan sekadar lisan agar dapat menjadi pegangan secara hukum.

 

Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.

 

Alhafiz Kurniawan

Tim Bahtsul Masail NU

Kamis, 27 Januari 2022

(Do'a of the Day) 24 Jumadil Akhir 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


Allaahumma laka raka'tu, wa bika aamantu, wa laka aslamtu, khasya'a laka sam'ii wa basharii wa mukhkhii wa adlmii wa 'ashabii.

 

Ya Allah, hanya kepada-Mu aku ruku', hanya kepada-Mu aku beriman, dan hanya kepada-Mu aku berserah diri. Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulang belulangku dan pembuluh darahku khusyu' kepada-Mu.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 38.

(Ngaji of the Day) Pengaruh Perbedaan Qira'at dalam Al-Qur'an terhadap Makna (II)

Perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an atau yang dikenal dengan qira’at Al-Qur’an –sebagaimana yang telah dijelaskan pada edisi lalu–ada yang berdampak pada perubahan makna. Perbedaan bacaan Al-Qur’an yang berpengaruh pada perubahan makna yaitu perbedaan bacaan yang berkaitan dengan substansi lafadz dalam Al-Qur’an. Sebab munculnya perbedaan bacaan itu kemudian juga berdampak pada ranah istimbath (penggalian kesimpulan) hukum.

 

Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam suatu persoalan, kadang, dilatarbelakangi oleh perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an. Seperti pada kasus shalat di belakang maqam Ibrahim. Dalam syariat Islam shalat di belakang maqam Ibrahim adalah sebuah anjuran bagi kaum muslimin saat mereka melaksanakan thawaf. Tapi apakah anjuran ini berlegalitas hukum sunnah atau hukum wajib? Pada kesempatan ini, penulis akan menguraikan perbedaan tersebut dengan pendekatan perbedaan bacaan qira’at Asyrah dalam surat al-Baqarah ayat 125.

 

وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

 

Para imam qira’at berbeda pendapat tentang bacaan lafadz وَاتَّخِذُوا; Imam Nafi’ dan Ibnu Amir membacanya dengan harakat fathah pada huruf kha’ (وَاتَّخَذُوا) bentuk madhi (kata kerja lampau), sedangkan imam-imam yang lain, seperti Ibnu Katsir, Abu Amr, Hamzah, al-Kisa’i, Abu Ja’far, Ya’kub al-Hadrami dan Khalaf, membacanya dengan harakat kasrah pada huruf kha’ (وَاتَّخِذُوا) bentuk amr (perintah) (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah: 40).

 

Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa apabila dibaca dengan bentuk madhi, ia memiliki kandungan arti berita (وَاتَّخَذُوا), maka lafadz ini di-athaf-kan kepada lafadz sebelumnya, yaitu (وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا). Dengan demikian, dua kalimat ini adalah satu susunan kata yang terikat. Sementara apabila dibaca dengan bentuk amr (وَاتَّخِذُوا), ia memiliki kandungan arti perintah, maka pada lafadz (وَاتَّخِذُوا) adalah kalimat baru yang terputus dari kalimat yang pertama (Al-Qurthubi, Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an , II: 110).

 

Senada dengan al-Qurtubi, Nabil Muhammad mengatakan bahwa apabila dibaca dengan fathah huruf kha’-nya (madhi), maka bacaan itu adalah mengandung arti berita atau pemberitahuan semata. Artinya, bahwa ayat ini sebuah kabar dari Allah bahwa anak keturunan Nabi Ibrahim menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Bacaan ini selaras dengan ayat sebelumnya yang berbentuk madhi juga, yaitu (وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا).

 

Dari keselarasan kedua kelimat di atas, yang sama-sama berbentuk madhi (جَعَلْنَا) dan (اتّخَذُوا), maka bacaan ini memberi pemahaman bahwa Allah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia dan anak keturunan Nabi Ibrahim menjadikan maqamnya sebagai tempat shalat.

 

Sementara apabila dibaca dengan kasrah huruf kha’-nya (وَاتَّخِذُوا), maka bacaan itu adalah bentuk perintah (amr) dan perintah adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Artinya, melakukan shalat di maqam ibrahim adalah wajib. Bacaan ini di perkuat oleh sejarah perjalanan Nabi Muhammad bahwa beliau ketika melakukan thawaf di Baitul Haram, beliau membaca ayat ini (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى) kemudian beliau melaksanakan shalat sunnah dua rakaat di belakang maqam Ibrahim sesuai dengan perintah pada ayat di atas (Nabil Muhammad, Ilmu al-Qira’at; Nasy’atuhu Athwaruhu Atsaruhu fi al-Ulum al-Syar’iyah: 381).

 

Sementara itu, Imam Nawawi al-Bantani menguraikan bahwa Imam Ibnu Katsir, Abu Amr, Hamzah, Ashim dan al-Kisa’i membaca dengan kasrah huruf kha’, dengan bentuk amr (وَاتَّخِذُوا) yang berarti perintah. Untuk memperkuat pendapat bacaan ini beliau mengutip perkataan Imam Qatadah dan Imam al-Suddi: (أمروا أن يصلوا عنده). Artinya: “Mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat di maqam Ibrahim”.

 

Dengan demikian, jumlah kalimat ini adalah kalam I’tiradh (berlawanan) di sela-sela kisah Nabi Ibrahim. Sementara Imam Nafi’ dan Ibnu Amir membaca fathah huruf kha’ (وَاتَّخذُوا) dengan bentuk madhi, yang mengandung arti berita bahwa keturunan Nabi Ibrahim menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. (Imam Nawawi al-Bantani, Tafsir Marah Labid li Kasyfi makna Qur’an Majid /35).

 

Atas dasar perbedaan bacaan inilah kemudian para fuqaha’ berbeda pendapat soal status hukum shalat di belakang maqam Ibrahim, apakah ia berstatus sunnah atau berstatus wajib ?

 

Malikiyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Imam Syafi’I menegaskan bahwa shalat di belakang maqam Ibrahim adalah sunnah. Imam al-Zurqani dalam syarah kitab al-Muwatha’ menjelaskan bahwa shalat di belakang maqam Ibrahim adalah sunnah.

 

Beliau berkata:

 

(فَرُبَّمَا صَلَّى عِنْدَ الْمَقَامِ) ، أَيْ خَلْفَ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عَمَلًا بِالْمُسْتَحَبِّ، (أَوْ عِنْدَ غَيْرِهِ) ، لِجَوَازِهِ.

 

Artinya: “Boleh jadi dia shalat di belakang maqam Ibrahim karena mengamalkan sunnah, atau di ditempat lain karena hal tersebut boleh. (Muhammad al-Zurqani al-Masri al-Azhari, Syarah al-Zurqani ‘Ala Muwattha’ Imam Malik. Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, 2003/juz 2/ 459).

 

Demikian pula, menurut Imam al-Qudamah bahwa shalat di belakang maqam adalah sunnah. Beliau berkata:

 

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَرْكَعَهُمَا خَلْفَ الْمَقَامِ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى}

 

Artinya: “Disunnahkan melaksanakan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, karena susuai firman Allah (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى). (Ibu Qudamah, Al-Mughni Li Ibn Qudamah, Kairo: Maktabah Kairo, 1968, III: 347).

 

Sementara pendapat Imam Syafi’i terdapat dua pendapat; wajib dan sunnah.

 

وإذا فرغ من الطواف صلى ركعتي الطواف وهل يجب ذلك أم لا فيه قولان: أحدهما أنها واجبة لقوله عز وجل {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً} [البقرة:125] الأمر يقتضي الوجوب والثاني لا يجب لأنها صلاة زائدة على الصلوات الخمس فلم تجب بالشرع على الأعيان كسائر النوافل والمستحب أن يصليهما عند المقام لما روى جابر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم طاف بالبيت سبعاً وصلى خلف المقام ركعتين فإن صلاهما في مكان آخر جاز.

 

Artinya: “Apabila telah rampung melaksanakan thawaf, maka hendaklah shalat dua rakaat thawaf, apakah shalat ini wajib atau tidak? Ada dua qaul; salah satunya menyatakan bahwa shalat itu adalah wajib, sesuai firman Allah: (وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً)—dibaca kasrah huruf kha’-nya. Adapun perintah mengandung arti wajib. Kedua, shalat di belakang maqam Ibrahim adalah tidak wajib, sebab itu adalah shalat tambahan atas shalat lima waktu, maka shalat itu tidak wajib menurut syara’, ia seperti shalat sunnah lainnya. Adapun yang disunnahkan adalah shalat dua rakaat di belakang maqam sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir bahwa Nabi Muhammad Saw, thawaf di Baitul Haram tujuh kali dan shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim, apabila di laksanakan di tempat lain, maka boleh. (al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth/ juz 1/ 408).

 

Adapun menurut Imam Hanafi dan pengikutnya menyatakan bahwa shalat di belakang maqam Ibrahim adalah wajib. Hal ini didasarkan pada ayat {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً}-dibaca kasrah huruf kha’-nya-. menurutnya bentuk amr dalam lafadz {وَاتَّخِذُوا } merupakan perintah yang harus dilaksanakan.

 

(ثُمَّ يَأْتِي الْمَقَامَ فَيُصَلِّي عِنْدَهُ رَكْعَتَيْنِ أَوْ حَيْثُ تَيَسَّرَ مِنْ الْمَسْجِدِ) وَهِيَ وَاجِبَةٌ عِنْدَنَا

 

Artinya: “Maka hendaknya dia shalat dua rakaat jika ia mendatangi maqam Ibrahim, atau sekiranya mudah (dilaksanakan) dari masjid. Shalat (di belakang maqam Ibrahim) itu menurut kami adalah wajib”.

 

Untuk memperkuat pendapat ini, beliau mengutip hadits Nabi Muhammad:

 

وَلِيُصَلِّ الطَّائِفُ لِكُلِّ أُسْبُوعٍ رَكْعَتَيْنِ

 

Artinya: “Hendaknya seorang yang thawaf melaksanakan shalat dua rakaat setiap (setelah) tujuh kali putaran”. Menurutnya, kata perintah di sini adalah wajib yang harus dilaksanakan. (Ibnu al-Hammam, Fathul Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tth/ juz 2/456).

 

Selaras dengan pendapat di atas, Imam Makki bin Abi Thalib menguraikan beberapa riwayat, diantaranya adalah;

 

روي أن النبي صلى الله عليه وسلّم أخذ بيد عمر رضي الله عنه، فلمّا أتيا المقام، قال عمر: هذا مقام أبينا إبراهيم ؟ فقال النبي نعم ، فقال عمر: أفلا نتخذه مصلّى ؟ فأنزل الله جلّ ذكره: {وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلّىً} على الأمر بذلك، اي افعلوه.

 

Diriwayatkan bahwa Nabi Saw, memegang tangan Umar, ketika keduanya sampai di maqam Ibrahim, Umar bertanya, “Apakah ini maqam bapak kita Ibrahim ?. Nabi menjawab, “Iya”. Maka umar berkata: “Apakah kami boleh menjadikannya tempat shalat ?. Maka Allah menurunkan ayat “Jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat”. (ayat itu turun) atas perintah, artinya: “Lakukanlah itu”. (Makki bin Abi Thalib, Al-Kasyfu ‘An Wujuh al-Qira’at al-Sab’I wa Ilaliha wa Hujajiha, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1984) 263.

 

Pendapat ini diperkuat oleh riwayat-riwayat yang lain yang disampaikan oleh Imam Abu Umar Hafs al-Duri dalam karyanya “ Juz’un Fihi Qira’at an-Nabi”.

 

حدثنا أحمد بن إسحاق الحضرمي، عن يحيى بن سعيد القطان، حدثني جعفر بن محمد، حدثني أبي قال: سمعت جابر بن عبد الله يقول : إن النبي صلى الله عليه وسلّم كان يقرأ (وَاتَّخِذُوا) مكسورة.

 

Ahmad bin Ishaq al-Hadhrami menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Said al-Qatthan, Ja’far bin Muhammad menceritakan kepadaku, Bapakku bercerita bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata bahwa Nabi Muhammad Saw, membaca lafadz وَاتَّخِذُوأ dengan kasrah huruf kha’.

 

حدثنا أبو عمارة، عن أبي الفضل الأنصاري، عن القاسم بن عبد الرحمن الأنصاري، عن أبي جعفر محمد بن علي، عن جابر بن عبد الله الأنصاري أن النبي صلى الله عليه وسلّم قرأ (وَاتَّخِذُوا) على الأمر.

 

Abu Imarah bercerita kepada kami dari Abi al-Fadhl al-Anshari dari al-Qasim bin Abdurrahman al-Anshari dari Abi Ja’far Muhammad bin Ali dari Jabir bin Abdullah al-Anshari bahwa Nabi Muhammad Saw, membaca وَاتَّخِذُوأ dengan wazan amr (perintah). (Abu Umar Hafs al-Duri, Juz’un Fihi: Qira’at an-Nabi, Madinah: Mkatabah al-Dar, 1988) 71-72.

 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an berpengaruh pada perubahan makna, dan atas dasar perbedaan itu pula para ulama fiqh ber-istimbath hukum. Selaras dengan fungsi turunnya Al-Qur’an, yaitu menjadi rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam, maka perbedaan dalam Al-Qur’an merupakan suatu manisfestasi rahmat itu sendiri, sebab tidak akan dijumpai perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an perbedaan yang kontradiktif, karena ia turun dan lahir dari kalam Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya. []

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih

(Ngaji of the Day) Pengaruh Perbedaan Qira'at dalam Al-Qur'an terhadap Makna (I)

Perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an dapat diklasifikasikan ke dalam dua poin. Pertama, perbedaan bacaan yang berkaitan dengan teknis pengucapan lafadz dalam lahjah/dialek kebahasaan. Kedua, perbedaan bacaan yang berkaitan dengan substansi lafadz.

 

Perbedaan yang berkaitan dengan teknis pengucapan lafadz dalam lahjah/dialek kebahasaan tidak berpengaruh pada perubahan makna. Perbedaan bacaan seperti ini banyak ditemukan dalam kaidah “ushul al-qira’at”, seperti membaca lafadz (والضحى) sebagian imam qira’at membaca fathah, sebagian yang lain membaca taqlil dan yang lain membaca imalah. Perubahan bacaan seperti di atas tidak berpengaruh pada makna, karena perbedaan bacaan hanya dari sisi dialek kebahasaan. Perbedaan seperti ini lebih dominan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada subtansi lafadz Al-Qur’an.

 

Demikian pula, perbedaan bacaan yang tidak berimplikasi pada perubahan makna dapat dijumpai dalam “furusy al-qira’at”, seperti contoh lafadz حُسْنًا dalam surat al-Baqarah ayat 83:

 

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

 

Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, Ashim dan Imam Abu Ja’far membaca lafadz حُسْنًا (dhammah huruf ha’ dan sukun huruf sin, sedangkan Imam Hamzah, Ali al-Kisa’i dan Khalaf membaca lafadz حَسَنًا (fathah huruf ha’ dan sin). (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah: 11).

 

Sementara perbedaan bacaan yang berkaitan dengan subtansi lafadz, pada umumnya, dapat berpengaruh pada perubahan makna. Dalam literatur ilmu qira’at, perbedaan ini lebih didominasi dalam kaidah “furusy al-qira’at”.

 

Ada banyak contoh dalam Al-Qur’an perbedaan bacaan yang berpengaruh pada makna, dalam hal ini, penulis akan menguraikan per tema. Pada kesempatan ini penulis akan menguraikan tentang batas seorang suami melakukan hubungan dengan istrinya setelah mentruasi. Perbedaan ini terdapat pada ayat 222 surat al-Baqarah.

 

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

 

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah, “itu adalah sesuatu yang kotor”. karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.”

 

Dalam ayat di atas, para ulama sepakat bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan intim dengan istrinya dalam keadaan haid. Demikian pula, mereka sepakat bahwa seorang suami boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya jika telah selesai dari haid. (Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, 6: 418).

 

Adapun terkait batas seorang suami melakukan hubungan intim dengan istri, para ulama berbeda pendapat, apakah dia boleh melakukannya setelah darah haidnya berhenti atau setelah bersuci? Perbedaan ini muncul dilatarbelakangi oleh perbedaan bacaan pada lafadz يَطْهُرْنَ.

 

Pada lafadz يَطْهُرْنَ para Ulama qira’at berbeda ; Imam Syu’bah (perawi Imam Ashim), Imam Hamzah, Imam Ali al-Kisa’i dan Imam Khalaf membaca lafadz يَطْهُرْنَ dengan fathah huruf tha’ disertai tasydid dan huruf ha’ (يَطَّهَرْنَ), sedangkan para Imam yang lain membaca lafadz يَطْهُرْنَ sukun huruf tha’ dan dhammah huruf ha’. (Al-Qadhi, al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyrah al-Mutawatirah: 49).

 

Kedua perbedaan bacaan ini berimplikasi pada perubahan makna, yaitu apabila dibaca يَطْهُرْنَ maka artinya adalah terputusnya darah haid dan ini menjadi awal kebolehan seorang laki-laki mendekati istrinya.

 

Artinya, seorang suami dilarang melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai mereka suci atau berhenti keluar darah haidnya. Dalam hal ini seorang suami boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya saat darah haidnya berhenti mengalir.

 

Oleh sebab itu, Imam Abu Hanifah memilih bacaan ini, yaitu seorang laki-laki boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya setalah darah haidnya terhenti tanpa harus bersuci terlebih dahulu dengan dua syarat; pertama, terhentinya darah haid lebih dari masa haid. Menurut Imam Hanifah, paling lama masa haid adalah sepuluh hari. Kedua, apabila darah haid terhenti sebelum melebihi sepuluh hari maka seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai dia mensucikan diri dengan mandi.

 

Apabila dibaca (يَطَّهَرْنَ) maka artinya adalah membersihkan tempat haid atau mensucikan diri dari haid dengan mandi. Dalam bacaan ini berarti seorang laki-laki tidak boleh mendekati istrinya sebelum dia membersihkan darah haidnya dan mensucikan diri dengan mandi.

 

Artinya, seorang suami dilarang melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai ia selesai bersuci, mandi.

 

Selain Imam Hanafi, yaitu madzhab Maliki, Syafi’I, dan Hanbali memilih bacaan ini. Menurut mereka seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai ia suci dan menyucikan diri dengan mandi. Hal ini didasarkan pada dalil setelahnya, yaitu فَإِذَا تَطَهَّرْنَ. Oleh sebab itu, terdapat sekelompok Ulama yang mengunggulkan pendapat ini sebab para ulama qira’at sepakat membaca lafadz ( فَإِذَا تَطَهَّرْنَ) dengan tasydid. (Nabil Muhammad, Ilmu Al-Qira’at; Nasy’atuhu Athwaruhu Atsaruhu fi al-Ulum al-Syar’iyah: 376-8).

 

Dari uraian yang di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan bacaan tersebut berimplikasi pada istinbath hukum yang dihasilkan oleh para ahli fiqh, antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Namun demikian, perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an bukan berarti terdapat kontradiksi dalam Al-Qur’an, justru perbedaan ini memberikan makna yang luas. Sebab setiap perbedaan bacaan memiliki fungsi arti dan makna yang tersurat dan tersirat. []

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih

Selasa, 25 Januari 2022

(Do'a of the Day) 22 Jumadil Akhir 1443H

Bismillah irRahman irRaheem

 

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind


A'uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiimi min nafkhihii wa nafatsihii wa hamazihii.

 

Aku berlindung kepada Allah dari rayuan, hembusan, dan kerasukan syetan yang terkutuk.

 

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 1, Bab 36.

(Ngaji of the Day) Hati-hati Fatwa Individu

Membahas fatwa dan perbedaan pendapat ulama artinya membahas ragam pendapat ulama setelah wafatnya Rasulullah saw. Sebab, sebelum Rasulullah saw wafat sangat minim kemungkinan terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat. Mereka memiliki Rasulullah saw selaku sumber hukum referensi sentral yang tidak dipertentangkan.

 

Setelah kepergian Rasulullah saw dan terputusnya wahyu, para sahabat dan orang-orang yang hidup dengan mereka (tabi’in) disibukkan dengan berbagai permasalahan yang tidak pernah mereka jumpai pada zaman Rasulullah saw. Permasalahan dilatarbelakangi oleh keadaan, perbedaan ras, serta luasnya penyebaran agama Islam yang membuat mereka saling berjauhan. Dalam keadaan demikian, salah satu di antara mereka mencoba menjawab permasalahan baru yang terjadi dengan ijtihad hukum baru. Syekh Ali Khafif (1309-1398 H), salah satu guru Syekh Abu Zahrah dan Syekh Wahbah az-Zuhaili, menejelaskan:

 

وَذَلِكَ إِنَّمَا يَقُوْمُ عَلَى النَّظَرِ وَالمُوَازَنَةِ بَيْنَ مَا حَدَثَ فِي زَمَنِ الرِّسَالَةِ وَمَا حَدَثَ بَعْدَهَا

 

Artinya, “(Pada mulanya) jawaban hukum dibangun atas dasar mengamati dan mempertimbangkan antara kejadian yang terjadi pada zaman kenabian dan permasalahan yang terjadi setelahnya.” (Ali al-Khafif, Asbâbukh Tilâfil Fuqahâ’, [Beirut, Dârul Fikr: 2005], halaman 7).

 

Dari perbandingan kasus hukum sebelum kewafatan Rasulullah saw dan setelahnya yang dilakukan oleh kalangan ulama, kemudian muncul berbagai pendapat berbeda disertai berbagai argumentasi ilmiahnya.

 

Definisi Khilâf dan Ikhtilâf serta Perbedaannya

 

Dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah dijelaskan, makna perbedaan (khilâf) secara etimologis adalah pertentangan; sedangkan secara terminologis adalah pertentangan yang terjadi antara dua pendapat dengan tujuan mencari kebenaran untuk kemudian dinyatakan sebagai hukum serta menghilangkan kebatilan.

 

Secara umum, kata 'perbedaan' dalam kitab-kitab muktabar dikenal dengan istilah ‘khilâf’. Ada juga ulama yang menggunakan kata ‘ikhtilâf’. Namun ternyata ulama memiliki pandangan berbeda tentang keduanya. (1) Khilâf adalah pendapat yang dibangun tanpa referensi dan sumber yang valid; dan (2) ikhtilâf, adalah pendapat yang dibangun atas dasar dalil dan referensi yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. (Al-Mausû’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Wazâratul Auqâf: 1998], juz XXVI, halaman 331).

 

Memahami Perbedaan Ulama

 

Memahami perbedaan pendapat ulama menjadi sangat penting. Apalagi bagi pendakwah atau tokoh agama yang menjadi rujukan, agar tidak keliru dalam membimbing masyarakat. Seharusnya ia mengerti di bagian mana para ulama berbeda pendapat dan di bagian mana pula mereka menemukan kesepakatan. Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi (wafat 676) menjelaskan:

 

وَاعْلَمْ أَنَّ مَعْرِفَةَ مَذَاهِبِ السَّلَفِ بِأَدِلَّتِهَا مِنْ أَهَمِّ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، لِاَنَّ اخْتِلَافَهُمْ فِي الفُرُوْعِ رَحْمَةٌ

 

Artinya, “Ketahuilah, sungguh mengetahui mazhab-mazhab ulama salaf dengan dalil-dalilnya termasuk bagian terpenting yang sangat dibutuhkan, karena perbedaan mereka dalam masalah cabang-cabang (ilmu syariat) merupakan rahmat.” (An-Nawawi, al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, [Beirut, Dârul Fikr: 1995], juz I, halaman 5).

 

Demikan pula Imam Abu Ayyub ‘Atha’ bin Abi Muslim al-Kharasani (wafat 135 H) mengatakan:

 

لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُفْتِيَ النَّاسَ حَتَّى يَكُوْنَ عَالِمًا بِاخْتِلَافِ النَّاسِ، فَاِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ رَدَّ مِنَ الْعِلْمِ مَا هُوَ أَوْثَقُ مِنَ الَّذِي لَدَيْهِ

 

Artinya, “Tidak sepantasnya orang yang hendak berfatwa kepada manusia sampai ia menjadi orang yang mengetahui perbedaan ulama. Jika tidak demikian maka ia akan menolak ilmu yang lebih kuat daripada ilmu yang dimilikinya. (Abul Hijaj al-Maghrabi, Tahdzîbul Masâlik, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz I, halaman 165).

 

Macam-macam Perbedaan

 

Dalam kitab Asbâbukh Tilâfil Fuqaha’ dijelaskan, ada banyak variasi khilâf ulama. Menurut Syekh Hamid bin Hamidi as-Sha’idi, variasi itu dilatarbelakangi oleh tujuan ulama, keadaan, kebutuhan dan beberapa faktor lainnya. Ada juga khilâf dalam masalah diniyyah (aqidah) dan ada pula dalam masalah cabang ibadah (furu’). Khilâf dalam masalah akidah, bisa terjadi antara umat Islam dan umat lainnya, dan bisa juga terjadi antarsesama umat Islam, seperti perbedaan keyakinan antara orang-orang Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orang Muktazilah, dan lainnya.

 

Adapun perbedaan ulama dalam masalah cabang-cabang ibadah (syariat) bisa disimpulkan menjadi dua bagian. Yaitu, (1) perbedaan yang diperbolehkan dan diterima; dan (2) perbedaan yang tidak diperbolehkan. Untuk yang pertama, Syekh Hamid mengatakan:

 

أَمَّا الْمَقْبُولُ الَّذِي سَاغَتْ أَسْبَابُهُ وَدَوَاعِيهِ، وَوُجِدَتْ مُوْجِبَاتٌ صَحِيْحَةٌ تَقْتَضِيْهِ، وَهُوَ خِلَافُ المُجْتَهِدِيْنَ مِنْ فُقَهَاءَ وَمُفْتِيْنَ

 

Artinya, “Adapun perbedaan yang bisa diterima adalah perbedaan yang sebab-sebab dan latar belakangnya bisa diterima, dan penyebab yang melatarbekanginya merupakan penyebab yang benar, (hal ini bisa terjadi) di kalangan ulama yang sudah mencapai mujtahid dari para fuqaha dan ulama yang berfatwa.”

 

Untuk ranah perbedaan yang ini ulama sepakat memberi legalitas kepada orang-orang yang kapasitasnya sudah tidak diragukan, memahami semua cabang-cabang ilmu, atau yang lebih dikenal sebagai ulama yang sudah mencapai derajad mujtahid. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:

 

إِذَا اجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اِجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر

 

Artinya, “Jika seorang ulama melakukan ijtihad kemudian benar, maka ia mendapatkan dua pahala; dan apabila dia ijtihad kemudian salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR Al-Bukhari).

 

(As-Sha’idi, Asbâbukh Tilâfil Fuqahâ’, halaman 36).

 

Adapun perbedaan yang tidak diperbolehkan adalah perbedaan pendapat yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk tampil hebat dan menolak pendapat orang lain, serta mempertahankan pendapatnya sendiri meskipun salah.

 

أَمَّا الْمُحَرَّمُ هُوَ مَا كَانَ فِي مُقَابَلَةِ الدَّلِيْلِ الصَّحِيْحِ وَكَانَ الغَرَضُ مِنْهُ الْمُكَابَرَةَ وَالْعِنَادَ والتَّعَصُّبَ، أَوِ اتِّبَاعًا لِلشَّهَوَاتِ

 

Artinya, “Adapun (perbedaan) yang dilarang ialah perbedaan yang berhadapan dengan dalil shahih dan tujuannya hanyalah untuk sombong, keras kepala, tidak menerima pendapat orang lain, atau mengikuti keinginan syahwatnya.” (As-Sha’idi, Asbâbukh Tilâfil Fuqahâ’, halaman 37).

 

Kesimpulannya, perbedaan yang terjadi di antara ulama dalam masalah ibadah (furu’), diperbolehkan selagi tujuan dari perbedaan itu adalah mencari yang paling benar serta mendalami tujuan syariat lebih dalam, dalilnya lengkap, alasan-alasan di balik keputusan akhirnya juga ditemukan. Sebab, dalam ranah ibadah, umumnya bersifat yang tidak pasti (qath’i). Artinya, ulama yang kapasitasnya sudah mumpuni bisa saja berbeda pendapat dalam permasalah ini. Syekh Abil Hijaj al-Maghrabi mengatakan:

 

اِنَّهُ يُعَدُّ مِنْ مَحَاسِنِ الشَّرِيْعَةِ، لِأَنَّهُ يَمْنَحُ الفِقْهَ

 

Artinya, “Perbedaan ulama termasuk keindahan syariat, karena ia memberikan kelonggaran dalam ilmu fiqih.” (Al-Maghrabi, Tahdzîbul Masâlik, juz I, halaman 165).

 

Karenanya, bagi pendakwah atau tokoh agama, semestinya tidak mengeluarkan fatwa individu atau fatwa pribadi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah dirumuskan para ulama, agar tidak keliru dalam membimbing masyarakat. Wallâhu a’lam. []

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.