Rabu, 12 Januari 2022

(Ngaji od the Day) Hati-hati Jebakan Rentenir Online!

Era digital, mau melakukan apa saja serba mudah dan enak. Butuh uang, tidak perlu repot ke bank. Demikian pula jasa perkreditan, guna menjaring nasabah pembiayaan dan perkreditan, mereka tidak perlu survei. Semuanya bisa dilakukan secara online. Namun, tahukah Anda apa bahaya dari pinjaman online seperti ini? Kali ini kanal Ekonomi Syariah akan menyajikan topik bahasan jebakan pinjaman online.

 

Adanya kemudahan mengakses kadang menimbulkan efek negatif, yaitu terbitnya rasa malas. Bagi lembaga penyedia jasa pembiayaan terbit kemalasan untuk melakukan survei terhadap potensi debitur. Bagi debitur sendiri terbit rasa malas untuk melakukan pembandingan produk. Tanpa terasa mereka jatuh dalam lubang utang yang bisa menjerat dirinya. Utang yang semula dimaksudkan untuk efisiensi waktu dan peningkatan produksi, malah berjalan sebaliknya, mencekik bak rentenir.

 

Salah satu aspek kemalasan yang membuat orang seringkali menyesal di belakang hari adalah malas membandingkan produk pembiayaan atau pinjaman kredit tanpa agunan. Karena faktor kepepet butuh dana, ia jadi lupa dengan bunga dan biaya-biaya lainnya.

 

Dewasa ini bermunculan banyak ragam lembaga keuangan online. Di antara lembaga itu bahkan ada yang tidak berbadan hukum. Semua itu disebabkan karena teknologi tidak hanya dapat diakses oleh mereka yang bekerja di sebuah lembaga, melainkan rentenir pun sekarang juga sudah melek teknologi online. Meski ia tinggal jauh di pelosok desa, namun karena teknologi digital, scope jangkauannya beralih dari lintas darat menjadi lintas wilayah, bahkan pulau, atau malah ada yang internasional. Jadi, musti hati-hati. Kemajuan teknologi membutuhkan sikap yang ramah dalam penggunaannya.

 

Karakter Rentenir Online

 

Karakter rentenir online sebenarnya mudah sekali untuk dikenali. Kemudahan syarat pengajuan pinjaman kadang membuat orang banyak yang tergiur. Kadang mereka berperan layaknya malaikat penolong. Dengan hanya berbekal eKTP saja, mereka sudah langsung bisa mencairkan dana hari itu juga. Memangnya e-KTP bisa berperan selaku ATM?

 

Kalau mengajukan pembiayaan ke bank, umumnya kita diminta data tidak hanya e-KTP. Data NPWP, slip gaji, SK Karyawan tetap, Kartu Kredit, dan bahkan riwayat pinjaman (BI checking). Pada perbankan syariah, kadang diminta untuk menunjukkan kendaraan tertentu yang hendak dipergunakan sebagai wasilah akad.

 

Semua syarat-syarat operasional ini, sebenarnya ditetapkan bukan karena ingin mempersulit nasabah. Data-data itu diminta sebagai bagian dari langkah kehati-hatian dari pihak perbankan guna menghindari kasus kredit macet. Kadang data-data yang dimaksudkan merupakan bagian dari catatan kelayakan nasabah apakah ia pantas diberikan pinjaman/pembiayaan.

 

Nah, jika hanya bermodalkan KTP saja dapat diberikan pinjaman, maka risiko kredit macet semakin besar. Sudah menjadi hukum ekonomi bahwa pengeluaran yang dilakukan adalah senantiasa berbanding lurus dengan risiko. Dengan dalih risiko yang besar, mereka menetapkan ongkos balik risiko menjadi tidak lazim. Jika pada perbankan ada peraturan penetapan rasio suku bunga yang bisa ditolerir, maka dalam kasus pinjaman online hal itu bisa beralih menjadi dua kali atau bahkan lebih. Efeknya, lahirlah rasa ketertindasan dari nasabah sehingga merasa dirugikan. Mungkin tepat bila kita beri istilah baru buat mereka ini sebagai lintah online karena basisnya lewat dunia maya. Sebanding dengan istilah lintah darat jika basisnya tatap muka atau interaksi langsung. Mari kita perhatikan kalkulasi berikut!

 

Ada sebuah jasa pinjaman online menawarkan bunga 1% per harinya. 1% ini kelihatannya kecil, bukan? Namun pembaca harus sadar, bunga itu ditetapkan per hari. Jadi, jika jangka pinjaman itu ditetapkan dengan tenor maksimal 30 hari misalnya, maka bunga tersebut akan berubah menjadi 30%. Sekarang bayangkan jika pinjaman itu nilainya 1 juta rupiah. Maka pada saat tiba batas waktu pelunasan, pinjaman itu akan berubah menjadi 1 juta rupiah ditambah 30% dari 1 juta, sehingga total pengembalian menjadi 1.3 juta rupiah. Bayangkan pula jika jangka waktu pelunasannya adalah 100 hari, maka pinjaman 1 juta akan berubah menjadi dua kali lipat 2 juta dalam jangka waktu 3 bulan 10 hari.

 

Inilah bagian dari jerat lintah online itu atau biar lebih keren kita sebut saja rentenir online. Jika tidak waspada, kita bisa terperosok ke dalam jerat itu dan siap dimangsa oleh mereka.

 

Kadang jerat itu juga dimainkan dengan jalan menunjukkan janji-janji manis saja, seolah menawarkan banyak kemudahan. Licin bak belut. Janji manis ini kadang disembunyikan di balik kata-kata "pinjaman langsung cair", "bunga ringan". Giliran tiba pada pokok bahasan denda keterlambatan, mereka sembunyikan bahkan ditutup rapat-rapat.

 

Rentenir online tidak berpijak pada dasar hukum dan undang-undang yang berlaku. Mereka semata mengandalkan keahlian dan daya jangkau teknologi untuk menjaring nasabah. Atau kadang mereka mengatasnamakan telah mengantongi izin dari Kementerian terkait, misalnya Kementerian Keuangan. Padahal kementerian ini sama sekali tidak punya wewenang menerbitkan ijin. Jadi, sampai di sini harap dipahami ya!

 

Perizinan sebuah lembaga keuangan adalah hak mutlak dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Merekalah yang berhak menerbitkan ijin. Bukan Kementerian Keuangan. OJK-lah yang berhak melakukan pengawasan di lapangan terhadap aktivitas lembaga atau jasa keuangan, khususnya di Indonesia.

 

Jika gerak mereka saja sudah tanpa izin dan tanpa pijakan peraturan, maka lantas bagaimana kita mau menuntut mereka atau berlindung dari aksi mereka bila kesandung masalah. Padahal, setiap kali kita ada masalah dalam ranah hukum, kita senantiasa harus mengutip pasal undang-undang untuk membenarkan langkah kita.

 

Walhasil, sebenci-bencinya anda dengan pemerintah yang kadang dituding tidak berpihak kepada rakyat, keberadaan peraturan dan perundang-undangan itu sangat penting untuk kita dan melindungi kita dari aksi kejahatan atau penindasan/ eksploitasi pihak lain. Betul, bukan? Mari pergunakan kemudahan teknologi dengan ramah. Cermati, pikirkan lalu putuskan jika berhadapan dengan sebuah sajian. Jangan langsung ditelan mentah-mentah! Masa depan anda ada pada sejauh mana anda memaknai teknologi itu sebagai yang memudahkan dan sekaligus penimbul masalah ke depan. Wallalâhu a'lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar