Bila dibanding dengan senjata penjajah, bambu runcing tidak ada apa-apanya. Namun, dengan sepuhan doa dari Kiai Subchi (1855-1958), bambu runcing menjelma menjadi senjata berkekuatan dahsyat. Sebab itulah, Kiai Subchi dijuluki sebagai ‘Kiai Bambu Runcing’.
Di lingkungan masyarakat Parakan dan Temanggung, Jawa Tengah, Kiai Subchi dikenal sebagai sosok ulama ‘alim, wara’, tawadhu, dermawan, dan memiliki jiwa nasionalisme tinggi. Sikap terakhirnya itu yang membuat dirinya mempunyai semangat berlipat ketika membantu laskar santri yang tergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah.
Bukan hanya laskar santri, saat itu Panglima Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Soedirman juga mendatangi Kiai Subchi di Parakan guna meminta doa dan wejangan. Wejangan Kiai Subchi tidak hanya membangkitkan nasionalisme, tetapi juga kesadaran akan kewajiban membela agama dari penjajah.
Wejangan (nasihat) Kiai Subchi yang hingga kini masih terlintas di benak bekas tentara Hizbullah dan Sabilillah maupun TKR dan laskar-laskar lainnya ialah:
“Luruskan niat untuk mempertahankan agama, bangsa, dan tanah air. Ingat selalu kepada Allah SWT. Jangan menyeleweng dari tujuan, apalagi berbuat maksiat. Dan kuatkan persatuan kita. Jika hendak kembali pulang, beramai-ramailah membaca syahadat.” (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)
Di luar upayanya membantu perjuangan laskar santri dan tokoh-tokoh pergerakan nasional kemerdekaan, Kiai Subchi adalah seorang petani ulung di Parakan yang menggarap lahannya sendiri.
KH Saifuddn Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 350) menjelaskan, meskipun lahan yang digarap Kiai Subchi tidak seberapa luas, tetapi tumbuh-tumbuhan yang beliau tanam bermacam-macam. Ada tembakau, jagung, dan kentang.
Sebagian besar petani di Parakan lebih suka menanam tembakau. Daun tembakau tersebut ada yang dipasarkan begitu saja setelah mengalami proses penjemuran atau pengeringan, ada juga yang dipasarkan setelah menjadi irisan, siap diproduksi menjadi rokok. Tetapi ada juga yang baru menjualnya setelah diganggang, dikeringkan di bara pai, yang lebih dikenal dengan tembakau garangan.
Kala itu, pasar tembakau ini cukup luas, bahkan mampu menyentuh Jawa Barat dan Sumatra Barat. Karena tembakau diproses melalui cara-cara yang menyita waktu dan tenaga, harganya pun lebih mahal.
Filosofi kehidupan petani sangat ditekankan oleh para orang tua zaman dulu, termasuk oleh ulama pesantren. Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari sampai-sampai memberikan pengajaran agama melalui interaksi pertanian. Bahkan hal itu cukup ampuh menarik perhatian masyarakat untuk tidak mau bekerja lagi di pabrik dan meninggalkan dunia gelap prostitusi yang sengaja didirikan oleh penjajah Belanda di sekitaran pabrik.
Upaya pelestarian lahan untuk bertani menjadi semacam media perlawanan rakyat dan kaum pesantren terhadap kekejaman dan kesewenang-wenangan penjajah Belanda. Hingga penjajah beberapa kali menghancurkan dan menyerang pesantren.
Mengingat pentingnya pertanian untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa tentang pentingnya membangun pertanian, agar bangsa Indonesia mandiri, maju, dan sejahtera. (Abdul Mun’im DZ, Fragmen Sejarah NU, 2017). Karena itu, KH Hasyim Asy’ari menyebut petani sebagai pahlawan bangsa dengan jasanya menghidupi masyarakat banyak. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar