'Ndoroisme' (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Salah satu musuh demokrasi yang harus dienyahkan dari lingkungan publik adalah sikap hidup pejabat atau majikan yang serba-ndoro (tuan, majikan), ingin selalu diperlakukan sebagai tuan, laki-laki atau perempuan (kakung utawi putri).
Dalam masyarakat kita, gaya ndoro ini masih saja tetap bertahan sampai sekarang. Adanya hierarki dalam kehidupan sosial yang penuh sekat-sekat, masih saja kita saksikan dalam lingkungan organisasi, partai, apalagi di lingkungan birokrasi.
Bawahan harus hormat kepada atasan, sudah menjadi norma kita sejak ratusan tahun lalu. Yang tidak sehat bagi sistem demokrasi adalah jika atasan itu tidak mau mendengar suara bawahan, padahal suara itu barangkali penting, mengandung kebenaran dan kejujuran.
Perwujudan 'ndoroisme' ini bisa terlihat dalam berbagai bentuk: bersikap ABS-AIS (asal bapak senang-asal ibu senang), memuji pemimpin partai dengan cara bertopeng, memberikan makan pembantu dengan makanan berbeda dengan jenis makanan induk semang, duduk bersimpuh sambil tertunduk di depan ndoro kakung dan ndoro putri, menjilat atasan yang membuat dia kehilangan keseimbangan, dan jenis sikap lain dengan muatan yang mirip.
Seorang bermental ndoro selalu dibukakan pintu mobilnya oleh sopirnya. Manja dan keren sekali. Untuk buka pintu mobil saja tangannya pantang digerakkan. Begitu “mulianya” sang bos ini. Tidak jarang, pakai dasi dan kacamata hitam sambil bersiul kecil saat keluar dari mobil.
'Ndoroisme' ini warisan feodalisme atau neo-feodalisme dari kerajaan-kerajaan masa silam yang akarnya dalam sekali. Semangat pergerakan nasional dan revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebenarnya punya dua sasaran tembak: menghalau penjajahan dan menghilangkan feodalisme.
Yang pertama berhasil, yang kedua punya daya tahan melekat dengan kehidupan komunal kita dengan varian berbeda pada setiap suku bangsa. Ada yang tebal, ada yang tipis. Semakin tebal, semakin sukar bagi demokrasi untuk tumbuh berkembang.
Sistem demokrasi akan lebih mudah dijalankan dalam kultur feodalisme yang tipis untuk kemudian secara perlahan semakin menghilang. Kemerdekaan bangsa juga mengandung kemerdekaan bagi setiap warga negara.
Namun, ini jangan diartikan, kemerdekaan itu bersifat liar, "semau gue", sembrono, merdeka berbuat apa saja. Jika itu yang terjadi, apa bedanya dengan anarkisme? Demokrasi hanya menuntut kewajaran dalam bersikap.
Dalam pergaulan hidup bersama, kemerdekaan itu ada batas-batasnya. Mesti ada tata krama, perlu ditunjukkan kesopanan dan etika.
Dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 4-5, ada etika dan adab sopan santun yang harus diperhatikan saat memanggil Nabi, sesuatu yang tidak dihiraukan Arab Badui, sekalipun mereka sudah beriman. Mereka bersuara keras saat Nabi yang masih berada di biliknya dan mereka tidak sabaran.
Jika dianalogikan ke masa kita, rakyat banyak juga perlu menunjukkan etika dan kesopanan saat mengunjungi pemimpin atau atasan. Tidak boleh bersikap kasar tanpa unggah-ungguh (bahasa Jawa: bertata krama).
Karena itu, dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip egalitarian, tidak berarti sikap sopan santun ditinggalkan. Egalitarianisme itu harus dikawal juga oleh budi pekerti yang halus agar hidup ini terasa lebih segar dan nyaman.
Sebagaimana bawahan perlu menghormati atasan atau pemimpin, mereka yang menduduki posisi tinggi juga tidak boleh bersikap semena-mena kepada siapa pun, termasuk kepada bawahan atau sopirnya.
Juga, bawahan tidak perlu bersimpuh di depan atasannya. Yang penting dijaga adalah kepantasan atau kepatutan dalam interaksi sosial. Bawahan patuh kepada atasan adalah karena hormat, bukan karena takut atau tertekan.
Sudah ribuan tahun, umat manusia ditindas oleh feodalisme ini di berbagai belahan bumi. Nyanyian ombak egalitarianisme belum terlalu lama mengempas ke tubir pantai kemanusiaan yang memerdekakan.
Dalam demokrasi, praktik musyawarah merupakan prinsip penting dengan menempatkan seseorang setara dalam kedudukan. Dalam Alquran, kultur musyawarah ini disejajarkan dengan tindakan mematuhi panggilan Allah, mendirikan shalat, dan kesediaan berbagi rezeki.
Kita kutip maknanya, “Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya, mendirikan shalat, dan mereka bermusyawarah dalam urusan mereka. Dan dari sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, dinafkahkan. (Lih. surah al-Syura ayat 38). []
REPUBLIKA, 21 September 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar