Nama lengkapnya Tumâdlir binti ‘Amr bin al-Syarîd dari Bani Sulaim (Imam Ibnu Qutaibah, al-Syi’r wa al-Syu’arâ’, Kairo: Dar al-Ma’arif, juz 1, h. 343). Ia disebut al-Khansâ’ karena hidungnya yang tidak terlalu panjang (qashr fî al-anif) (Imam Abu Ishaq Ibrahim al-Hushara al-Qairawani, Zuhr al-Adâb wa Tsamar al-Albâb, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010, juz 2, h. 307). Khansâ lahir di Najd dari keluarga kaya di zaman jahiliyah yang kemudian memeluk Islam. Khansâ dipandang sebagai salah satu penyair perempuan terbaik di eranya.
Di masa jahiliyah, peran penyair perempuan kebanyakan hanya menggubah syair-syair ratapan (elegi, sajak sedih) untuk orang yang telah meninggal dan menampilkannya sebagai perwakilan suku tertentu dalam kompetisi publik. Khansâ memenangkan kompetisi tersebut dengan puisi eleginya tentang dua saudaranya yang mati dalam perang suku, Shakr dan Muawiyah. Setelah itu, popularitasnya melambung tinggi karena puisinya begitu menyedak hati.
Gaya tuturnya dan pemilihan diksinya luar biasa. Khansâ dapat menggabungkan kata-katanya seperti perjumpaan siang dan malam yang didahului senja berwarna jingga, kemudian perlahan-lahan memias, dan gelap yang mengambil alih tidak dengan tiba-tiba. Beberapa penggalan puisinya menggambarkan itu:
إنى أرِقْتُ فبتُّ الليلَ ساهرة # كأنّما كُحِلَتْ عَينى بعُوّار
Sungguh (mata)ku terjaga (menangis), lalu malam kulalui tanpa pejam Seolah mataku dicelaki kebutaan
(Abdussalam al-Hufi, Syarh Dîwân al-Khansâ’, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006, h. 46)
Di bait lainnya dia mengatakan:
وسوف أبكيك ما ناحتْ مطوّقة # وما أضاءتْ نجوم الليل للسارى
Aku akan menangisimu, tiada henti meratap (Hingga) tiada lagi cahaya bintang-bintang malam, yang (menerangi) pejalan kaki (Abdussalam al-Hufi, Syarh Dîwân al-Khansâ’, 2006, h. 46)
Dengan karya-karyanya, Khansâ berhasil mengangkat syair-syair ritsa (elegi) ke level qarîdl, yaitu jenis puisi yang dipandang tinggi statusnya oleh orang Arab ketika itu. Ia menggubah puisi-puisinya menggunakan bentuk matra dan rima, tidak lagi menggunakan saj atau rajaz yang biasa dipakai dalam puisi-puisi ritsa. (Julie Scott Meisami dan Paul Starkey (ed.), Encyclopedia of Arabic Literature vol II, London: Routledge, 1999, h. 435).
Meski seroang wanita, Khansâ sangat dihormati oleh sastrawan Arab lainnya. al-Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari Bani Dhubyan yang hidup sekitar 535-604, pernah memuji al-Khansâ’ dengan mengatakan:
والله لولا أن أبا بصير أنشذني (آنفا) لقلتُ إنّكِ أشعر الجنّ والإنس
“Demi Allah, jikalau Abu Bashir (al-A’syâ) tidak membacakan puisinya padaku lebih dulu, akan kukatakan bahwa kau penyair terhebat dari jin dan manusia.” (Imam Ibnu Qutaibah, al-Syi’r wa al-Syu’arâ’, juz 1, h. 344)
Abu Bashir al-A’sya yang dimaksud Nabighah adalah Maimun bin Qais al-A’sya (570-625/629 M), salah satu penyair terakhir pra-Islam. Ia disebut al-A’sya karena pengelihatannya yang lemah. Menurut salah satu riwayat, Khansa’ memeluk Islam bersama kaumnya, Bani Sulaim. Abu ‘Amr mengatakan:
قدمت علي النبي صلي الله عليه و وآله سلم مع قومها من بني سليم فأسلمت معهم
“Khansa’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersama kaumnya, Bani Sulaim, kemudian ia memeluk Islam bersama mereka.” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz 8, h. 66)
Dikisahkan, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Khansa’ untuk membacakan sebuah syair, dan beliau pun kagum pada syair yang dibacakannya (yastansyiduhâ wa ya’jabuhu syi’rahâ). (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, juz 8, h. 66).
Setelah memeluk Islam, tema dan isi dari syair-syair ratapan yang telah membawanya ke puncak popularitas berubah. Ketika ia mendengar empat orang anaknya, Yazid, Muawiyah, ‘Amr dan Amrah terbunuh dalam Perang Qadisiyyah (636 M) di masa Khalifah Umar bin Khattab, ia berujar:
الحمد لله الذي شرفني بقتلهم، وأرجو من ربي أن يجمعني بهم في مستقر رحمته
“Segala puji milik Allah yang memuliakanku dengan kematian mereka. Aku hanya berharap Tuhanku akan menyatukanku dengan mereka dalam naungan rahmat-Nya.” (Muhammad Rakan al-Dughmi, al-Tajassus wa Ahkâmuhu fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Salam, 1985, h. 193).
Sebelum memeluk Islam, Khansâ menyuruh saudaranya, Shakr, untuk menuntut balas kematian saudaranya, Muawiyah. Pada akhirnya, Shakr terluka dan meninggal satu tahun kemudian karena lukanya. Setelah memeluk Islam, ia melebihkan ketabahannya, ia merasa dimuliakan dengan terbunuhnya mereka. Dendam sudah tidak lagi menjadi pelampiasannya.
Khansâ wafat pada tahun 24 Hijriah (645 M) di usia sekitar 70/71 tahun. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya. Amin. Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar