Pondok pesantren pada masa penjajahan tidak hanya berperan dalam menempa ilmu-ilmu agama kepada para santri, tetapi juga digunakan sebagai wadah pergerakan nasional kemerdekaan bangsa Indonesia. Berdasarkan ajaran dan nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam, segala bentuk penjajahan harus dilawan.
Dalam upaya-upaya tersebut, seorang ulama besar Hadhratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari menyimpan keprihatinan mendalam atas kondisi bangsa Indonesia sedari beliau memperdalam ilmu-ilmu agama di Makkah. Meskipun tujuan utama KH Hasyim Asy’ari mensyiarkan Islam, tetapi beliau juga bertekad membebaskan rakyat dari kungkungan penjajahan.
Kelompok-kelompok Islam, terutama yang baru pulang dari Haramain setelah menunaikan ibadah haji maupun belajar ilmu mendapat sorotan dari Belanda. Kolonial Belanda menilai bahwa kelompok-kelompok tersebut menyimpan benih-benih perlawanan. Perjuangan KH Hasyim Asy’ari yang dimulai dengan mendirikan pesantren seketika mendapat perhatian khusus dari Belanda.
Sesampainya di tanah air, KH Hasyim Asy’ari menepati janji dan sumpahnya saat di Multazam. Pada 1899 M, beliau mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010)
Dari pesantren ini kemudian dihimpun dan dilahirkan calon-calon pejuang Muslim yang tangguh, yang mampu memelihara, melestarikan, mengamalkan, dan mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim merupakan ulama abad 20 yang telah berhasil melahirkan ribuan kiai.
Muhammad Asad Syihab dalam Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia (terj. KH A Mustofa Bisri, 1994) mencatat, ketika menangani penataan pesantren, KH Hasyim Asy’ari menghadapi banyak tantangan dan rintangan.
Kiai Hasyim Asy’ari dengan gigih menghadapi segala kesulitan dan hambatan dari pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda kala itu, yang hanya menginginkan kaum Muslimin dalam posisi terbelakang sehingga tak bisa melakukan perlawanan terhadap kolonialisme.
Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda, termasuk melakukan upaya kekerasan dengan menghancurkan pesantren. Untuk membenarkan tindakan represifnya itu, Belanda berdalih dan menuduh bahwa pesantren merupakan wadah perusuh, pemberontak, dan orang-orang Islam ekstrem. (Asad Syihab, 1994: 19)
Tidak hanya itu, tindakan Belanda juga mengancam keselamatan jiwa KH Hasyim Asy’ari sehingga para santri kala itu berupaya keras menjaga keselamatan gurunya tersebut meskipun harus berhadapan dengan bedil-bedil Belanda. Perlawanan Belanda surut. Tetapi upayanya tidak pernah berhenti. Namun, kaum santri dan umat Islam semangatnya justru semakin membuncah dalam membela tanah air dan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pasca-terjadi penyerangan oleh kolonial Belanda tersebut, Asad Syihab mencatat bahwa KH Hasyim Asy’ari keluar menyaksikan sebagian besar bangunan-bangunan pesantren mengalami kerusakan. Perabotan-perabotan dan alat-alat hancur berantakan. Benda-benda penting seperti kitab-kitab dan lain sebagainya telah dirampas.
Tentu bukan benda-benda material tersebut yang dirisaukan KH Hasyim Asy’ari, melainkan keberadaan santri-santri yang merupakan aset penting dalam menegakkan ajaran Islam dan memperjuangkan kemerdekaan. Atas kejadian tersebut, beliau mengirimkan berbagai utusan ke seluruh pesantren di wilayah tanah air agar lebih waspada dan saling menjaga terhadap tindakan penjajah. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar