Usir Penjajah Sejak
Wali Songo hingga KH Hasyim Asy’ari
Berdasarkan data
sejarah, Portugis masuk ke Nusantara di bawah pimpinan pelaut terkenal Alfonso
de Albuquerque (1453–1515). Pada saat itu beberapa ulama yang dikenal sebagai
bagian Wali Songo masih hidup.
Menurut sejarawan KH
Abdul Mun’im DZ, Wali Songo sudah membaca ada gelagat tidak baik atas
kedatangan orang-orang asing itu. Meskipun tujuan utamanya berdagang pada
mulanya, mereka memiliki gelagat untuk menguasai negeri ini. Tidak hanya itu,
mereka juga menyerbarkan agama mereka. Pada tahun 1511 misalnya mereka
menguasai pelabuhan Malaka.
“Masa sunan Kalijaga
itu udah datang. Maka dari itu beliau membuat skenaraio besar untuk mengusir
dengan memberangkatkan Pati Unus, Kalinyamat, dan raja-raja lain,” katanya di
Gedung PBNU.
Dalam catatan
sejarah, Pati Unus merupakan sultan kedua Kerajaan Islam Demak menggantikan
Sultan Raden Fatah. Ia memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan
Portugis. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan
pendudukan Portugis. Ia gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik
kandungnya, raja Trenggana.
Menurut Abdul Mun’im
yang turut mendesain penyerangan Pati Unus itu adalah Sunan Kudus.
“Dari Pati Unus
dilanjutkan Fatahillah itu masa sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah
Cirebon). Udah periode kedua itu. Mereka bisa mempertahankan Jayakarta sampai
80 tahun. Baru tahun 1600 datang Belanda,” tambahnya.
Umat Islam Indonesa,
dari tahun ke tahun, secara sporadis terus melakukan perlawanan. Dihancurkan,
tumbuh lagi. Dihancurkan tumbuh lagi. Itu terjadi di berbagai daerah dari Aceh
sampai Maluku.
Menurut Abdul Mun’im
pada periode selanjutnya, abad 19, perjuangan juga terus dilanjutkan.
Strateginya berganti melalui organisasi, misalnya dilakukan para kiai di Jawa
dengan mendirikan Nahdlatul Ulama.
Pada saat itu,
lanjutnya, NU melakukan strategi dengna tidak melakukan perlawanan terbuka
seperti periode sebelumnya. Namun, juga tidak berkolaborasi atau nonkoperatif.
Bahkan dari yang terkcil, misalnya cara berpakaian hingga pendidikan.
Karena tidak bekerja
sama itulah, lembaga pendidikan NU dianggap liar dan tidak mendapatkan
sumbangan dari penjajah.
Sementara dari sisi
berpakaian, para kiai mengharamkan berbusana mirip penjajah dengan ungkapan
populer: barangsiapa yang meniru suatu kaum, ia menjadi bagian dari kaum
itu.
Pada saat detik-detik
kemerdekaan RI, NU merupakan salah satu pendukungnya. Salah seorang tokohnya,
KH Wahid Hasyim duduk di PPKI.
Dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan, NU juga turut berjuang dengan mengeluarkan fatwa
Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945. Fatwa itu dikeluarkan karena ada
upaya-upaya Belanda yang membonceng Sekutu untuk kembali menjajah Indonesia.
Puncaknya terjadi pertempuran hebat antara rakyat dan Sekutu di Surabaya pada
10 November. Tanggal itu kemudian dijadikan sebagai Hari Pahlawan.
“Jadi, perlawanan dan
perjuangan untuk kemerdakaan terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya. Ulama semua
itu. Secara silsilah ketemu itu baik secara pemikiran maupun gen. KH Hasyim
Asy’ari merupakan ulama yang terhubung dengan pemikiran dan gen itu,” kata
Mun’im. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar