Senin, 21 Januari 2019

(Ngaji of the Day) Sejarah Derivatisasi Usaha dalam Perbankan Nasional Berbasis Syariah


Sejarah Derivatisasi Usaha dalam Perbankan Nasional Berbasis Syariah

Derivatisasi sejatinya merupakan modifikasi. Ada perbedaan yang esensial dari keduanya. Jika modifikasi, adalah sebuah upaya penciptaan pengubahan produk dari segi luarnya, namun tidak meninggalkan esensi aslinya. Namun, untuk derivatisasi, merupakan upaya menciptakan sebuah produk dengan meninggalkan esensi aslinya dengan tetap mempertahankan tampilan fisik luarnya. 

Pengubahan bentuk luar sebuah produk, misalnya, sepeda motor Yamaha merek Jupiter menjadi Jupiter, Jupiter X, Jupiter Z, Jupiter Z1, merupakan sebuah langkah modifikasi usaha, karena hanya tampilan luar produk yang berubah, sementara esensi dalamnya tidak banyak yang berubah. Adapun mengubah mobil dari Ertiga GL, menjadi Ertiga Matic merupakan sebuah derivatisasi usaha. Mengapa? Karena segi penampilan luar tetap dan tidak banyak berubah, sementara jenis mesin mobil ternyata sudah berbeda dalam operasionalnya. Ertiga GL merupakan tipe kendaraan manual, sementara Ertiga X merupakan tipe kendaraan matic. Inilah sekadar gambaran umum tentang derivatisasi dan modifikasi usaha. 

Jika semua contoh yang disajikan dalam tulisan sebelumnya  dan tulisan sekarang, kita tarik pada kasus akad pembiayaan otoritas jasa keuangan syariah, semua langkah baik diversifikasi, modifikasi dan derivatisasi merupakan sebuah keniscayaan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya memasarkan produk baru dengan wajah lama, atau produk lama namun dengan wajah baru, atau tetap dengan branded product wajah lama namun materi baru, merupakan sebuah keniscayaan juga. Untuk itulah, tulisan ini disajikan agar kita dapat memahami esensi utama didirikannya bank. 

Sejarah mencatat bahwa bank sejak awal didirikannya merupakan sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pertukaran uang (money changer). Meskipun ada catatan sejarah yang lain, bahwa awal didirikannya bank adalah sebagai badan yang menyediakan jasa penitipan uang, namun pengkaji pada kesempatan ini lebih condong pada catatan sejarah perbankan bahwa ia didirikan pertama kalinya adalah bergerak dalam bidang pertukaran uang ini. Mengapa? Pengkaji dalam hal ini condong pada istilah pemakaian nama bank itu sendiri yang hingga sekarang merupakan kenyataan yang masih dipergunakan dalam sejarah perbankan kita, khususnya bank ekonomi syariah.

Asal kata bank adalah sebuah kosakata bahasa italia banca (baca: biyanka!] yang berarti tempat pertukaran uang. Itu artinya bahwa setiap pengguna jasa perbankan harus sadar bahwa dana yang ia masukkan ke dalam bank, pasti akan ditukar dengan uang yang lain. Dengan demikian, jika dalam literasi Islam makna bank lebih ditekankan pada penggunaan akad wadi’ah, maka dalam perbankan Islam makna wadi’ah menjadi berubah seiring penggunaan jasa yang bernama bank.

Dengan demikian, wadi’ah dalam bank maknanya menjadi titipan yang boleh ditukar. Ini sebuah modifikasi pertama makna wadi’ah dalam Islam terhadap akad wadi’ah. Karena sejatinya makna wadi’ah adalah titipan yang tidak boleh digunakan oleh orang yang dititipi dan barang harus kembali kepada pemiliknya berupa barang itu sendiri. Namun dalam akad wadi’ahnya bank, uang yang kembali tidak harus seperti semula uang tersebut dititipkan, akan tetapi jumlah nominalnyalah yang dikehendaki sama dengan saat uang dititipkan. Jaminan (dlamman) jumlah nominal yang sama merupakan resiko yang harus ditanggung oleh bank syariah tersebut. Akhirnya diperkenalkanlah akad baru yang bermakna al-wadi’ah yadu al-dlammanah, yang artinya menurut “kacamata perbankan syari’ah” adalah “harta titipan yang bisa ditukar dengan titipan lainnya namun bank menjamin nominalnya tetap.” Akad ini menjadi modifikasi kedua dari akad wadi’ah literal yang kemudian oleh perbankan dilabeli sebagai “al-wadi’ah yadu al-amanah.”

Dalam pandangan fuqaha’ ‘ashriyah (ahli fiqih kontemporer) meskipun asalnya akad wadi’ah dalam Islam adalah wadi’ah yadu al-amaanah, ia bisa mengadopsi wadi’ah yadu al-dlammanah seiring penggunaan istilah bank tersebut. Mirip dengan bunyi sebuah qaidah:

الأصل بقاء ما كان على ما كان

Artinya: “Yang dinamakan dalil asal adalah sesuatu yang berdiri di atasnya sesuatu yang lain” (Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah, Thoha Putra: 2)

Dengan qaidah ini istilah bank sebagai money changer merupakan istilah asal dari lembaga ini, baik itu bank konvensional maupun bank syariah.

Bagaimana bila menggunakan istilah baitul maal ? Sejarah baitul maal tidak pernah mencatat adanya sejarah menerima jasa penitipan. Baitul maal  sejak awal didirikan pada masa Rasulullah SAW adalah dipergunakan untuk penyimpanan kas zakat masyarakat muslim dan mengalami peran modifikasi sebagai penyimpanan perbendaharaan negara pada masa Khalifah Umar bin Khatthab RA selain sebagai tempat penyimpanan kas negara dari zakat dan jizyah, juga sebagai tempat penampungan harta fai’ perang serta penggajian aparatur negara dan tentara.

Demikian pula pada pemerintahan-pemerintahan khalifah setelahnya, peran baitul maal ini tidak lepas dari hasil ijtihad Sayyidina Umar RA saat itu sehingga belum pernah ditemui adanya fungsi lain menerima jasa penitipan dan investasi. Adapun baitul maal  wat tamwil (BMT) yang banyak didirikan saat ini – baik sadar ataupun tidak - adalah juga lebih banyak mengadopsi dari sistem perbankan ini, khususnya terkait dengan ruang geraknya sebagai penyedia jalur investasi usaha dan penyimpanan dalam bentuk tabungan. Justru peran Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ), Badan Pertanahan Nasional (Bapertan) yang mengayomi perwakafan adalah yang seharusnya merupakan peran BMT, karena baik BAZ, LAZ dan BAPERTAN adalah bersifat ahistoris - tidak ditemui adanya sejarah sebagai lembaga yang berdiri sendiri yang lepas dari baitul maal. 

Akan tetapi, meskipun bersifat ahistoris, namun keberadaan ketiga lembaga tersebut merupakan bagian dari diversifikasi usaha perekonomian umat, yakni umat Islam Indonesia pada khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya. Demikian pula, dengan akad wadi’ah yadu al-dlammanah yang dalam dunia perbankan justru ditemui akar sejarahnya dan tidak menyalahi bunyi teks fiqih tentang akad wadi’ah itu sendiri. (Bersambung)

Wallahu a’lam

[]

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar