Hukum Anak Menyanggah
Pandangan Kedua Orang Tua
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, saya ingin
bertanya. Saya sering kali berseberangan pandangan dengan ibu saya terutama
dalam beberapa soal penting dalam hidup pribadi saya. Saya memiliki pandangan
berbeda karena lebih memahami liku-liku persoalan yang tidak dimengerti oleh
ibu saya. Pertanyaan saya, bolehkah saya mendebat ibu saya untuk sekadar
menjelaskan inti persoalan? Mohon penjelasan. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum
wr. wb.
Hamba Allah – Semarang
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT
menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Diskusi anak dan orang tua merupakan
sebuah keniscayaan dan bentuk keharmonisan hubungan keduanya. Diskusi untuk
mengatasi satu hal terkadang memiliki titik temu dan kadang berseberangan.
Kadang dengan ukuran-ukuran tertentu, anak
melihat pandangan orang tuanya berada di jalan yang keliru. Di sini anak
memiliki pandangan yang berseberangan dengan orang tuanya. Kedua pihak sering
kali mempertahankan dengan gigih pendapatnya, bahkan tidak jarang orang tua
memaksakan pendapatnya.
Ketika ingin meluruskan duduk persoalan dan
kekeliruan pandangan orang tua, anak sering kali berhadapan dan berbenturan
dengan norma sosial di masyarakat Indonesia bahwa ucapan orang tua tidak boleh
dibantah, anak harus mengikuti omongan orang tua, dan membantah orang tua sama
dengan melawan orang tua yang artinya durhaka, sebuah sikap tercela menurut
agama dan norma sosial.
Syekh M Ibrahim Al-Baijuri mengatakan bahwa
upaya menjelaskan atau meluruskan masalah meskipun dari anak terhadap orang tua
merupakan tindakan terpuji menurut syariat. Kalau pun meminjam istilah durhaka
terhadap orang tua, maka tindakan anak terhadap kedua orang tuanya ini
merupakan “durhaka terpuji.”
وأما
إذا كان لإحقاق حق وإبطال باطل أي لإظهار حقيقة الحق وإظهار بطلان الباطل فممدوح
شرعا ولو من ولد لوالده فيكون عقوقا محمودا
Artinya, “Adapun bila itu bersifat
mengungkapkan yang hak dan menyatakan kebatilan, yaitu menjelaskan hakikat yang
hak dan menjelaskan kebatilan sesuatu yang batil, maka itu terpuji menurut
syariat, sekali pun itu dilakukan oleh anak terhadap kedua orang tuanya, maka
itu terbilang ‘durhaka’ yang terpuji,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri,
Syarah Tuhfatul Murid ala Jauharatut Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil
Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 124).
Tindakan berdebat, menyanggah, membantah,
mengkritik, meluruskan, menjelaskan duduk perkara, atau menyatakan yang hak,
dan memisahkannya dari yang batil menjadi tercela menurut agama kalau berisi
konten yang merendahkan orang lain dan mengangkat diri kita. Ini membuat
tindakan tersebut menjadi tercela sebagaimana keterangan berikut ini:
كالمراء) هو لغة الاستخراج يقال ما روى فلان فلانا إذا استخرج ما
عنده وعرفا منازعة الغير فيما يدعي صوابه ومحل كونه مذموما إذا كان لتحقير غيرك
وإظهار مزيتك عليه
Artinya, “[Jauhi tindakan tercela] (seperti
berdebat), secara bahasa artinya mengeluarkan sebagaimana kalimat, ‘Fulan
mengeluarkan fulan,’ yaitu ketika si fulan meminta mengeluarkan sesuatu yang
ada pada fulan. Secara adat, debat itu berselisih [debat atau sanggah] orang
lain perihal sesuatu yang didakwakan kebenarannya. Tindakan ini menjadi tercela
karena terletak pada sikap meremehkan orang lain dan menyatakan keistimewaan
kita atas orang lain itu” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Syarah Tuhfatul
Murid ala Jauharatut Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa
catatan tahun] halaman 124).
Kita harus hati-hati melihat persoalan ini
karena selama ini perbedaan sikap durhaka (melawan orang tua) dan upaya
mendudukkan persoalan secara proporsional oleh anak sangat tipis di masyarakat.
Kalau kembali ke masalah awal, maka yang
perlu diberikan catatan adalah bahwa tindakan anak meluruskan pandangan orang
tua tidak menyalahi norma sosial dan norma agama seperti durhaka, melawan orang
tua, tidak sopan, su’ul adab, dan seterusnya.
Dengan kata lain, tindakan anak meluruskan
pandangan orang tua boleh menurut agama.
Upaya menjelaskan persoalan dan menegaskan
sikap anak terhadap orang tua harus dibedakan dari tindakan durhaka. Upaya
penjelasan atau meluruskan itu juga harus melalui ukuran-ukuran tertentu yang
mendekati kebenaran dan kemaslahatan.
Kami menyarankan upaya penjelasan yang
dilakukan oleh anak terhadap orang tua mengenai sebuah hal harus dilakukan
dengan cara yang santun, disampaikan secera teratur dan rapi, serta mencari
“waktu” atau situasi yang tepat agar pengertian yang baik antara kedua pihak
tercipta.
Kami juga menyarankan masing-masing pihak
untuk menghargai pandangan pihak lain tanpa ada yang merasa direndahkan salah
satunya. Kami juga menyarankan masing-masing pihak untuk menahan diri dari memaksakan
kehendak terhadap pihak lain.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar