Kisah Ali
Sastroamijoyo, Sukiman dan Bung Hatta Terkait Al-Qur'an
Kisah masa kecilnya
dengan Al-Qur'an menjadi inspirasi bagi seorang Perdana Menteri Indonesia
kedelapan Ali Sastroamijoyo. Saban sore selepas sekolah, ibunya mewajibkan Ali
mengaji Al-Qur'an. Masa kecilnya yang mbeling itu membuatnya pernah mendapatkan
teguran keras daro sang ibu sebab kesukaannya bermain ketimbang mengaji.
"Jangan bikin
malu akan priyayi tidak bisa membaca Al-Qur'an!" kata ibunya kepada Ali
kecil sebagaimana ditulis oleh KH Saifuddin Zuhri dalam Kaleidoskop Politik di
Indonesia Jilid 1.
Hal itu, kata Kiai
Saifuddin, begitu membekas di hati tokoh kelahiran Magelang, 1903 itu sehingga
berpengaruh besar terhadap kehidupannya menjadi seorang yang duduk di pucuk
pimpinan pemerintahan.
Beda halnya dengan
pendahulunya, yakni Sukiman Wiryosanjoyo, perdana menteri keenam. Bersama
kakaknya, Satiman Wiryosanjoyo, ia diwajibkan oleh sang ayah untuk mengaji
Al-Qur'an di waktu sore.
Meskipun sudah hampir
tamat Hollandsch-Inlandsche School (HIS), ia belum juga khatam mengaji
Al-Qur'an. Namun, ayahnya mengingatkan agar tak perlu malu. "Tidak boleh
merasa malu belajar membaca Al-Qur'an meskipun sudah hampir menamatkan Sekolah
Dasar (HIS)," tulis Kiai Saifuddin di buku yang sama.
Keberhasilan keduanya
menghafal surat Al-Fatihah diganjar langsung oleh sang ayah dengan memberinya
sepeda baru.
Sementara itu,
lantunan Al-Qur'an menjadi suara yang disenangi Bung Hatta. Hal itu diungkapkan
oleh sekretarisnya, Wangsawijaya, saat ditanya oleh KH Saifuddin Zuhri.
Pasalnya, saat itu Wakil Presiden pertama Indonesia itu sudah tak lagi memiliki
minat membaca dan mendengarkan musik di tengah kesehariannya yang hanya
berbaring saja. Ia, kata Wangsawijaya, maunya hendak sembahyang saja, saat
ditanya Kiai Saifuddin perihal minat membacanya.
Mendengar hal itu,
Kiai Saifuddin pun punya itikad untuk mencarikan kaset lantunan ayat suci Al-Qur'an
yang beruara lembut dan tenang. Ia pun memilih mencarikan kaset Syeikh Musthafa
Ismail. Suaranya yang empuk, tulis Kiai Saifuddin dalam bukunya Kaleidoskop
Politik di Indonesia Jilid 2, lebih sesuai membentuk ketenangan. Sementara
suara Syeikh Abdul Basith Abdul Somad yang tinggi dirasa tidak cocok
didengarkan oleh orang sakit.
Namun, sebelum
berhasil menemukan kasetnya, apalagi memperdengarkannya ke Bung Hatta, tokoh
asal Minang itu lebih dulu mengembuskan napas terakhirnya. Kiai Saifuddin
merasa berhutang kepadanya.
"Tiba-tiba
melalui layar TC-RI diumumkan bahwa Bung Hatta telah pulang ke rahmatullah.
Saya merasa mempunyai hutang kepada Bung Hatta sebuah cassette Al-Qur'an,"
catat Kiai Saifuddin di buku yang sama (sebelumnya, tulisan tersebut terbit di
Kompas edisi 10 Mei 1980).
Mendengar kabar
tersebut, ia akhirnya mengajak seluruh penghuni rumahnya untuk membaca surat
Yasin sebagai hadiah dan doa untuknya. Sebab kaset atau benda apapun tak lagi
diperlukan oleh sang Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, Kiai Saifuddin
menyebutnya demikian, itu.
Dalam otobiografinya,
pria yang bernama asli Muhammad Athar itu mengaji Al-Qur'an di Surau Inyik
Djambek selepas Maghrib. Pengajaran Al-Qur'an di tempatnya menggunakan lagu.
Susah payah gurunya mengajarkan, Hatta kecil tak juga mampu melakukannya.
Sampai akhirnya, ia dibolehkan untuk membaca Al-Qur'an tanpa lagu meski ia
harus menanggung risiko ditertawakan rekan-rekannya.
Pengajian Al-Qur'an
yang belum ia khatamkan menjadi penghambatnya menuju rencana panjang perjalanan
pendidikannya, yakni ke Mekkah dan diteruskan ke Kairo. Ia berencana demikian
saat kakeknya hendak berangkat haji ke Mekkah. Tetapi hal itu pupus sebab ibu
dan pamannya menganggapnya terlalu muda dan pengajian Al-Qur'annya yang belum
tamat sehingga ia digantikan oleh Idris, pamannya. Ia diminta untuk menamatkan
sekolah, Al-Qur'an, dan pengajian nahwu dan bahasa Arabnya.
"Aku dianggap
terlalu muda untuk pergi ke Mekkah, sedangkan pengajian Al Quran belum tamat.
Menurut pamanku, lebih baik aku tamat sekolah dulu. Sesudah khatam Quran dan
mulai mengaji Nahu dengan mengerti sedikit-sedikit bahasa Arab, barulah pergi
ke Mekkah dan kemudian ke Kairo," tulis Hatta pada buku otobiografinya,
Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi untuk Negeriku 1. []
(Syakir NF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar