Hukum Mengqadla Mandi Jumat
Kesunnahan mandi Jumat ditetapkan berdasarkan
beberapa hadits, di antaranya hadits Nabi ﷺ:
مَنْ
أَتَى الْجُمُعَةَ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ النِّسَاءِ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ لَمْ
يَأْتِهَا فَلَيْسَ عَلَيْهِ غُسْلٌ
“Barangsiapa dari laki-laki dan perempuan
yang menghendaki Jumat, maka mandilah. Barangsiapa yang tidak berniat
menghadiri Jumat, maka tidak ada anjuran mandi baginya.” (HR Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban).
Disunnahkan melaksanakan mandi Jumat bagi
orang yang berniat melaksanakan shalat Jumat, meskipun Jumat tidak diwajibkan
baginya. Sehingga kesunnahan mandi Jumat tidak hanya berlaku bagi laki-laki
yang wajib melakukan Jumat, namun juga berlaku bagi anak kecil, hamba sahaya,
perempuan dan musafir yang berniat menghadiri shalat Jumat, meskipun mereka
tidak berkewajiban melaksanakan Jumat.
Waktu pelaksanaan mandi Jumat dimulai sejak
terbit fajar shadiq sampai pelaksanaan shalat Jumat. Lebih utama dilakukan menjelang
keberangkatan menuju tempat shalat Jumat. Mandi Jumat ini sangat dianjurkan,
sehingga meninggalkannya dihukumi makruh, sebab ulama masih berselisih mengenai
hukum wajibnya.
Terkadang seseorang tidak sempat mandi Jumat
karena berbagai hal, misalkan waktu yang tidak memungkinkan. Pertanyaannya
kemudian, bagaimana hukum mengqadla (mengganti di waktu yang lain) mandi Jumat
baginya?
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat.
Menurut pendapat Syekh Ibnu Hajar al-Haitami sebagaimana dikutip murid
beliau, Syekh Zainuddin al-Malibari, hukumnya sunnah. Beliau berargumen bahwa
anjuran mengqadla mandi Jumat sebagaimana mandi-mandi sunnah lainnya
dikarenakan bila seorang muslim mengetahui mandi Jumat bisa diganti dengan
qadla, maka akan menjadi motifasi tersendiri baginya untuk rutin melakukannya
dan enggan meninggalkannya.
Syekh Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
تنبيه -
قال شيخنا يسن قضاء غسل الجمعة كسائر الأغسال المسنونة وإنما طلب قضاؤه لأنه إذا
علم أنه يقضى داوم على أدائه واجتنب تفويته
“Peringatan, guruku berkata, disunnahkan
mengqadla mandi Jumat sebagimana mandi-mandi sunnah lainnya. Anjuran mengqadla
ini dikarenakan bila seseorang mengetahui bahwa mandi Jumat bisa diqadla, maka
ia akan rutin melakukannya dan menjauhi dari meninggalkannya”. (Syekh Zainuddin
al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, tanpa tahun, Surabaya,
al-Haramain, juz 2, hal 74).
Sementara menurut Imam al-Ramli dan Imam
al-Subuki, hukum mengqadla mandi jumat tidak sunnah, sebab waktunya sudah
terlewat. Pendapat ini sebagaimana disampaikan Syekh Abu Bakr bin Syatha
sebagai berikut:
وما
تقرر من قضاء ما ذكر هو ما جرى عليه شيخه حجر وقال م ر لا يقضى وعبارته ولو
فاتت هذه الأغسال لم تقض وسئل السبكي رحمه الله تعالى هل تقضى الأغسال المسنونة
فقال لم أر فيها نقلا والظاهر لا لأنها إن كانت للوقت فقد فات أو للسبب فقد زال
“Apa yang dicetuskan yaitu anjuran mengqadla
mandi-mandi di atas adalah pendapat dari guru Syekh Zainuddin, yaitu Syekh Ibnu
Hajar. Dan Imam al-Ramli berpendapat tidak disunnahkan mengqadlai. Redaksi dari
Imam al-Ramli adalah, apabila mandi-mandi ini terlewat waktunya, maka tidak
perlu diqadla. Imam al-Subki ditanya apakah dianjurkan mengqadla mandi-mandi
sunnah? Beliau menjawab, saya tidak pernah menjumpai kutipan statemen ulama
terdahulu tentang masalah itu. Dan yang jelas menurutku adalah tidak dianjurkan
diqadla. Sebab, bila kesunnahan mandi-mandi tersebut didasarkan atas waktu,
maka waktu itu sudah terlewat, bila didasarkan atas sebab, maka sebabnya sudah
hilang”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, tanpa tahun, Surabaya,
al-Haramain, juz 2, hal 74)
Demikian penjelasan mengenai hukum mengqadla
mandi Jumat, boleh memilih di antara dua pendapat di atas, dengan tetap saling
menghormati kepada pihak yang tidak sepandangan. Semoga bermanfaat. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar