Ibnu Taimiyah tentang Penguasa yang Adil
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Ibnu Taimiyah atau nama lengkapnya Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad bin
‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Taimiyah al-Harrani (1263-1328) kelahiran
Harran, Suriah. Dia seorang alim dan penulis prolifik dengan karya tulis dalam
jumlah besar. Dikenal sebagai penganut mazhab Hanbali yang berkali-kali keluar
masuk penjara karena pendapatnya yang kontroversial. Al-Ghazali, Ibn ‘Arabi,
para filsuf, dan kaum sufi telah menjadi sasaran kritiknya berdasarkan
pemahamannya yang literal terhadap Alquran.
Tidak saja sampai di situ, Ibnu Taimiyah pernah pula angkat
senjata melawan pasukan Mongol yang menjarah teritori Muslim pada abad ke-13.
Hidupnya sarat dengan tantagan dari luar dan dari dalam, tetapi penanya tidak
pernah tumpul untuk menyuarakan keyakinannya tanpa rasa takut. Dia adalah
petarung sejati dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Wahabisme banyak
mengambil ajarannya, minus aspek intelektualnya. Akibatnya, Wahabisme sangat
kering dari pemikiran kreatif.
Fazlur Rahman dalam Prophecy
in Islam: Philosophy and Orthodoxy (London: George Allen and Unwin,
1958, hlm 105) menyimpulkan kritik Ibnu Taimiyah terhadap filsafat dan
mistisisme sebagai berikut: “Dia (Ibnu Taimiyah) ingin menghancurkan
intelektualisme Ibnu Sina karena telah menyiapkan jalan bagi doktrin Ibnu
'Arabi tentang Wahdat-al-wujûd
(Kesatuan yang Ada). Dalam karya ini, Rahman tidak menyinggung pendapat Ibnu
Taimiyah tentang kekuasaan yang adil dan yang zalim yang tidak kurang
kontroversinya, tetapi menarik untuk direnungkan.
Saat berbicara tentang konsep al-amr
bi al-ma’rûf dan al-nahyu ‘ani al-munkar yang berkaitan dengan
sistem kekuasaan, IIbnu Taimiyah menuliskan pendapatnya sebagai berikut: “Wa
inna Allâh yuqîmu al-daulat al-‘ádilah wa in kánat kâfirah wa lá yaqûmu
al-dhâlimah wa in kânat muslimah” (Dan Allah membiarkan bertahan negara yang
adil sekalipun dipimpin oleh orang kafir; dan (Dia) tidak membiarkan [negara]
zalim untuk bertahan sekalipun dipimpin oleh penguasa Muslim). Ada versi lain
dari ungkapan ini, tetapi maksudnya serupa.
Orang boleh tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah ini, tetapi
umat Muslim diajaknya untuk berpikir lebih dalam dan kritikal mengenai sistem
kekuasaan yang pernah muncul dalam perjalanan sejarah mereka. Tidak
tanggung-tanggung, Ibnu Taimiyah memilih negara yang adil sekalipun pemimpinnya
tidak beriman, daripada negara zalim sekalipun pemimpinnya Muslim.
Semestinya para pengagum Ibnu Taimiyah tidak hanya tertarik
mengikuti pendapatnya tentang doktrin tauhid lawan syirik, tetapi juga
mencermati pendapatnya tentang penguasa non-Muslim yang adil akan bertahan
lebih lama dibandingan dengan penguasa Muslim yang zalim. Keadilan dalam
pemikiran Ibnu Taimiyah mengatasi segala-galanya. Tentu saja penguasa Muslim
yang adil akan lebih baik untuk dipilih dan diberikan prioritas.
Jika semata-mata karena beragama Islam tanpa memperhitungkan
karakter dan integritasnya dalam memerintah di mata Ibnu Taimiyah pasti akan
membawa kehancuran dan tidak akan tahan lama. Di sinilah terletak pengamatan
Ibnu Taimiyah yang radikal dan revolusioner. Dia melawan arus zaman di era itu.
Pendapat ini muncul tidak dalam kehampaan sejarah, tetapi lahir
dari seorang pemikir-yuris-aktivis yang paham benar dan mengalami betul betapa
sistem kekuasaan itu jika tidak dikawal oleh prinsip moral yang tajam pasti
akan merusak masyarakat luas.
Semata-mata memakai baju Muslim yang telah berkali-kali naik haji,
misalnya, tidak dapat dijadikan jaminan bahwa seseorang itu adil dan baik. Oleh
sebab itu, dalam menentukan kepemimpinan, kita perlu mengenal jejak rekam
seseorang sebelum diputuskan untuk dipilih.
Ibnu Taimiyah masih meneruskan pendapatnya sebagai berikut: “Al-dunnyâ tadûmu ma’a al-‘adli wa
al-kufri wa lâ tadûmu ma’a al-dhulmi wa al-islâm” (Dunia itu akan
bertahan bersama keadilan dan kekufuran dan tidak akan bertahan lama dengan
kezaliman dan dengan Islam). Pendapat semacam ini tidak enak dibaca dan tidak
sedap dirasakan, tetapi tampaknya Ibnu Taimiyah telah menyaksikan betul betapa
rezim-rezim Muslim tidak hirau dengan keadilan. Bahkan, sebenarnya sampai hari
ini, ironisnya, keadaan belum banyak berubah.
Sekiranya bukan tokoh sekaliber Ibnu Taimiyah yang merumuskan
pendapat serupa itu, tentu ujaran kafir, munafik, dan sesat telah lama
ditembakkan kepadanya. Keimanan dan keislaman Ibnu Taimiyah sangat kental dan
kuat, sehingga menghalangi orang untuk bersikap biadab kepadanya. Bagi Ibnu
Taimiyah, prinsip keadilan menjadi ukuran pertama dan utama yang harus melekat
pada diri seorang penguasa, bukan semata-mata karena agamanya. []
REPUBLIKA, 22 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar