Senin, 28 Januari 2019

Kang Komar: Visi, Skill, dan Nyali


Visi, Skill, dan Nyali
Oleh: Komaruddin Hidayat

PANGGUNG kompetisi dan perdebatan antarpasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bukan sekadar lomba retorika, kemahiran berpidato, atau berdebat di depan publik. Tetapi, tak kalah pentingnya adalah menjual visi bagi masa depan bangsa.

Seorang pemimpin visioner ibarat pelukis yang tengah memegang kuas yang mungkin saja tengah melukis sebuah titik atau garis kecil. Tetapi, dalam benaknya sudah memiliki imajinasi dan konsep sebuah lukisan besar yang butuh waktu berhari-hari atau bahkan bulan, untuk menyelesaikannya.

Di samping konsep yang sudah ada di benaknya, seorang pelukis juga dituntut memiliki keterampilan atau skill bagaimana memainkan semua alat dan cat yang diperlukan. Lebih dari itu, juga paham kualitas cat, kanvas, bahkan piguranya agar lukisan itu tahan lama.

Bagi seorang calon presiden, visi pembangunan Indonesia ke depan secara ideologis dan garis besar sudah tercantum dalam pembukaan UUD negara yang bermuara terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera serta ikut menciptakan perdamaian dunia. Namun, secara programatis-operasional jangka pendek, menengah dan panjang, cita-cita besar itu haruslah dijabarkan oleh setiap presiden yang dipilih secara berkala setiap lima tahunan untuk menjaga keberlangsungan program jangka panjang pembangunan.

Pemimpin tanpa visi besar ibarat penjelajah hutan dan pegunungan yang terkurung dalam semak kecil sehingga tidak mampu melihat luas dan indahnya alam. Semak-semak itu bisa jadi sebuah jebakan berupa jabatan dengan fasilitasnya yang mewah membuatnya terlena akan amanah yang dibebankan di pundaknya.

Setiap visi mengandung utopia dan imajinasi ideal tentang masyarakat yang hendak diwujudkan di masa depan. Mengingat usia seseorang terbatas, lebih terbatas lagi usia jabatan, maka sesungguhnya setiap presiden mengemban estafet visi dan misi pembangunan bangsanya dari presiden sebelumnya. Seorang presiden terpilih tidak bisa membuat program strategis semaunya.

Selain itu, juga sangat diperlukan oleh seorang calon presiden adalah nyali (gut). Untuk menjadi presiden tidak cukup hanya mengandalkan wawasan keilmuan dan keterampilan manajerial, melainkan juga nyali dan mental sebagai petarung serta berani ambil risiko (risk taker) dan tekad kuat.

Bayangkan, begitu seseorang ditetapkan sebagai calon presiden, maka berbagai hujatan, cacian, dan bahkan fitnah langsung bermunculan mengarah pada dirinya. Bagi yang tidak punya nyali kuat, pasti sudah keder dan grogi sebelum bertarung serta dibebani tugas mahaberat sebagai kepala pemerintahan. Maka itu, di Indonesia ini banyak sekali orang pintar, konsultan manajemen, dan penasihat berbagai perusahaan besar, namun tidak punya nyali terjun dalam pertarungan politik sebagai pemimpin bangsa.

Dalam dunia olahraga dikenal istilah mental juara. Saya tahu, dalam dunia golf banyak caddy yang memiliki kualitas permainan sangat bagus, skornya setingkat pemain nasional kalau ikut pertandingan golf sesama caddy. Namun, ketika mereka disertakan dalam pertandingan tingkat nasional dalam jajaran pemain amatir atau pro, tak pernah ada caddy yang menjadi juara.

Mengapa? Karena mereka memang bermental caddy. Mentalnya sudah jatuh duluan menghadapi lawannya yang datang dari kelas menengah secara ekonomi dan sosial.

Demikianlah, maka itu saya menghargai siapa pun yang ikut berlaga dalam kompetisi capres dan cawapres. Sebelum pemilu berlangsung, secara moral mereka sudah masuk juara.

Mereka adalah putra bangsa pilihan yang amat istimewa. Hanya empat orang dari 266 juta warga negara. Tidak hanya pengorbanan dan perjuangan yang mereka lakukan, tapi mereka mesti siap dikritik, disoroti, dikuliti, kadang difitnah, dan dicaci.

Semua itu sebagai konsekuensi dan risiko bagi calon presiden. Kalaupun rakyat bersikap sangat kritis, itu sangat logis karena nasib bangsa ini dan sebagian nasib mereka akan ditentukan oleh presiden terpilih.

Pada hari-hari mendatang ini mari kita mencermati visi, program, skill, dan nyali dari capres dan cawapres kita. Jadilah rakyat dan pemilih yang cerdas untuk memilih pemimpin bangsa. Membangun bangsa itu memerlukan puluhan dan ratusan tahun. Tetapi, jika salah pilih pemimpin, daya rusaknya bisa berlangsung dalam waktu singkat. []

KORAN SINDO, 25 Januari 2019
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar