Kiai Hariri, yang
Menyingkir dari Ingar Bingar Politik
Oleh: Abdul Moqsith
Ghazali
Tubuhnya agak tinggi,
berkulit kuning langsat. Cenderung pendiam. Lebih banyak mendundukkan kepala,
baik ketika duduk maupun ketika berdiri dan berjalan. Jika kepalanya tegak,
maka pandangannya menyapu semua yang di sekitar; mulai dari dedaunan pohon yang
jatuh di halaman hingga santri-santri yang lalu lalang karena suatu urusan.
Usai memandang ke sekitaran, biasanya ia akan menguasap muka dengan tangan
kanannya lalu terdengar iringan suara lirih dari lisannya, “Allah”, “Allah
Karim”, “Ya Allah”.
Itulah Kiai Ach
Hariri Abdul Adhim, mudir Ma’had Aly PP Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo
Situbondo Jawa Timur. Beliau adalah satu dari banyak kiai pesantren yang
menghindar dari ingar bingar politik dan memilih menepi; menjadi seorang
pendidik (murabbi) dan pengajar (mu’allim). Karena sikapnya itu, nama Kiai
Hariri jarang muncul dalam percakapan politik, baik percakapan politik lokal
apalagi politik nasional. Ia lebih banyak dikenal di lingkungan terbatas
terutama santri-santri dan alumni Ma’had Aly Sukorejo Situbondo.
Saya sendiri mengenal
Kiai Hariri (dulu dipanggil Lora Hariri) sudah cukup lama. Bermula ketika
beliau menjadi ustadz saya di Madrasah Aliyah Sukorejo. Di Madrasah, beliau
mengajari saya Ilmu Mantiq. Sedangkan di pengajian informal, Kiai Hariri adalah
satu dari beberapa kiai yang mengajari saya kitab Ibnu Aqil. Sebelum mondok di
Pesantren Sukorejo, saya mengaji kitab Ibnu Aqil pada kakek saya, Kiai
Syarfuddin Abdusshomad, hingga 400 bait Alfiyah. Tiba di Pesantren Sukorejo,
saya mengaji Ibnu Aqil pada Kiai Abdul Wahid Thoha, Kiai Hariri Abdul Adhim,
hingga kemudian tuntas di tangan seorang alim, Kiai Ahmad Baihaqi (Bindung).
Para guru gramatika
bahasa Arab di mana pun punya peran penting dalam proses formasi
intelektualitas santri. Para guru itu adalah jembatan yang menghubungkan santri
dengan dunia keilmuan Islam yang luas. Melalui mereka, para santri tidak hanya
mengerti asal usul kata dan kedudukan kalimat, tetapi juga akan bisa menelusuri
makna dan menangkap pengertian kitab-kitab gundul yang tak bersyakl dan tak
berparagraf itu. Ilmu gramatika bahasa Arab yang diajarkan mereka menyebabkan
saya misalnya tersambung pada karya-karya utama para genius raksasa seperti
Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Ramli, dan lain-lain. Saya tak bisa
membayangkan perjalanan intelektualitas saya tanpa peran dan keterlibatan
mereka.
Kecuali kakek saya
yang kini sudah berusia 94 tahun, guru-guru yang mengajari saya kitab Ibnu Aqil
sudah tidak ada. Satu demi satu mereka dipanggil Allah. Rabu Pagi, 5 November
2018, saya kaget membaca informasi bahwa KH Hariri Abdul Adhim sudah “tidak
ada”. Saya tercekat, tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba, ingatan saya terbawa
jauh ke belakang ketika puluhan tahun silam saya pertama kali berjumpa dan
mengaji ilmu-ilmu rasional seperti Mantiq dan Ibnu Aqil pada beliau, Kiai
Hariri.
Mengajar dan
Tirakat
Banyak yang bertanya,
di mana Kiai Hariri belajar kitab kuning hingga beliau mencapai derajat alim?
Tak mudah menjawab pertanyaan ini. Sebab, sekiranya kita melihat latar belakang
pendidikan Kiai Hariri, maka jelas itu tak meyakinkan untuk mengantarkan yang
bersangkutan sebagai seorang alim. Tak seperti kiai lain yang sejak dini sudah
belajar kitab kuning di pesantren, Kiai Hariri menyelesaikan SD, SMP, dan
SMA-nya di luar pesantren. Ia baru masuk pesantren ketika kuliah di IAI Nurul
Jadid Paiton Probolinggo. Itu pun kuliah di Fakultas Dakwah bukan di Fakultas
Syariah, tempat para mahasiswa belajar ilmu-ilmu pokok Islam seperti
ushul fikih, tafsir ahkam, dan lain-lain.
Sejauh yang saya
perhatikan, pelajar Islam yang masuk pesantren setelah lulus SMA rata-rata sulit
membaca dan menguasai kitab kuning dengan baik. Tapi, Kiai Hariri sebuah
pengecualian. Pengetahuannya tentang kitab kuning--meminjam pepatah
Romawi--crescit in eundo; bertumbuh sambil berjalan, belajar sambil mengajar.
Dengan kecerdasan dan ketekunan yang “ekstrem”, akhirnya Kiai Hariri bisa
membaca kitab kuning dengan baik. Terbukti, Kiai Hariri pernah mengajarkan
kitab Ibnu Aqil di Mushalla Ibrahimy Pesantren Sukorejo. Dan setiap bulan
Ramadhan,di lokasi yang sama, beliau membacakan kitab Tafsir Jalalain karya
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi.
Ketika Ma’had Aly
Sukorejo Situbondo didirikan, Kiai As’ad Syamsul Arifin mengangkat Kiai Hariri
sebagai pemangku asrama Ma’had Aly hingga kemudian menjabat sebagai direktur
Ma’had Aly menggantikan Alm. Kiai Abdul Wahid Zaini. Namun, tak seperti
sebelumnya, di Ma’had Aly Kiai Hariri tak lagi mengajar ilmu gramatika bahasa
Arab dan Mantiq. Ia memasuki disiplin ilmu baru, yaitu tasawuf. Ia mengajarkan
tasawuf al-Ghazali melalui karyanya Ihya’ Ulum al-Din.
Bertahun-tahun beliau
mengajarkan kitab itu itu hingga penguasan Kiai Hariri tentang tasawuf
al-Ghazali cukup memadai. Tak hanya membaca karya-karya Imam Ghazali, beliau
juga rupanya membaca karya para sufi lain. Ketika berkunjung ke rumahnya kita bukan
hanya akan disuguhi teh dan kue melainkan juga nasehat-nasehat sufistik para
sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibnu Atha’illah al-Sakandari, dan lain-lain.
Perhatian dan
ketekunannya pada ilmu tasawuf menyebabkan Kiai Hariri tampil sebagai seorang
kiai yang pengasih. Kasih sayangnya bukan hanya akan dirasakan para santri yang
tinggal di asrama Ma’had Aly melainkan juga oleh para tamu yang datang, para
tetangga sekitar pesantren bahkan hingga binatang. Sudah menjadi cerita lama di
lingkungan santri Ma’had Aly, Kiai Hariri pernah marah pada seorang santri yang
membunuh nyamuk dengan raket listrik yang mematikan itu. Kiai Hariri
menegaskan, “sebagaimana kita, nyamuk punya hak hidup juga”.
Dengan tasawuf, diksi
yang terlontar dari lisannya adalah kelembutan bukan kekerasan. Zikirlah yang
melembutkan hatinya. Mengajar, shalat dan zikir adalah aktivitas kesehariannya.
Kiai Hariri jarang ke luar rumah apalagi pergi jauh hingga luar kota. Jika
terpaksa harus menghadiri sejumlah acara, beliau lebih banyak berdoa ketimbang
berceramah. Para supir yang menyertai kepergiannya ke luar pesantren kerap
bercerita bahwa dalam mobil pun, Kiai Hariri jarang bicara. Kepalanya lebih
banyak tertunduk, membaca shalawat dan berzikir mengingat Allah.
Itu sebabnya, bagi
komunitas Ma’had Aly Sukorejo, Kiai Hariri bukan hanya seorang mudir atau
direktur yang bertanggung jawab penuh pada semua proses pembelajaran di lembaga
kaderisasi ahli fikih itu. Jika Kiai Afifuddin Muhajir dianggap sebagai jangkar
intelektual Ma’had Aly Sukorejo, maka Kiai Hariri adalah penyangga
spiritualnya. Kiai Hariri menghabiskan hari-harinya untuk “riyadhah” dan
“tirakat”; mendoakan santri-santrinya agar kelak menjadi orang alim yang
bermanfaat. Semoga doa-doa Kiai Hariri akan dikabulkan Allah, sehingga
santri-santri Ma’had Aly menjadi ahli fikih yang mumpuni dengan akhlak yang
terpuji.
Penutup
Setiap kiai atau
ulama memiliki keistimewaan sendiri-sendiri termasuk Kiai Hariri. Karena itu,
satu kiai tak boleh diqiyaskan pada kiai lain. Allah SWT mengunggulkan satu
ulama pada satu bidang, dan mengunggulkan ulama lain pada bidang lain. Tak
hanya pada para ulama, Allah SWT juga melakukan hal yang sama untuk para nabi
dan rasul. Allah SWT berfirman, tilka al-rusul fadhdhalna ba’dhahum ‘ala
ba’dhin (Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang
lain).
Begitu juga,
sekiranya Allah melarang kita membeda-bedakan satu rasul dengan rasul lain
sebagaimana dalam firman-Nya, “la nufarriqu bayna ahadin minhum’ (Kami
tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka--rasul-rasul Allah), maka
seyogyanya kita juga tak membeda-bedakan antara satu kiai dan kiai lain. Jika
Kiai Hariri memiliki maziyyah sendiri, maka kiai lain memiliki maziyyah yang
lain lagi.
Selamat Jalan, Kiai
Hariri. Ulama seperti panjenengan wafat hanya sekali tapi akan hidup
berkali-kali melalui reproduksi ilmu oleh para santri panjenengan yang terus
berjalan tanpa henti. []
Abdul Moqsith
Ghazali, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua LBM PBNU, dan
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar