Hukum Bersentuhan dengan
Anak Tiri
Islam merupakan agama yang sangat ketat dalam
menjaga nilai-nilai baik yang berkaitan dengan hubungan hamba dengan Tuhan
(vertikal) maupun antarsesama manusia (horizontal). Islam menjaga nilai-nilai
kemanusian supaya antara satu orang dengan yang lain tidak ada yang saling
terzalimi, orang lain merasa diserobot haknya oleh sesamanya.
Hukum syariat yang sudah diatur semata-mata
untuk kemaslahatan para hamba (mashâlihil ibâd). Oleh karena itu, para ulama
menyimpulkan atas beberapa undang-undang pada Al-Qur'an dan hadits dalam lima
tujuan syariah yang terkenal dengan istilah maqâshdus syarîah. Isinya
adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Aturan pernikahan dan pelarangan zina
merupakan salah satu bentuk aturan agama yang misinya menjaga keturunan
antarmanusia supaya terjaga dengan baik, tidak saling berbenturan nasab yang
tidak jelas arah muaranya. Sehingga ada perbedaan yang mencolok antara mana
manusia dan mana hewan yang tak berakal.
Terkait pelarangan zina, Allah berfirman
dalam Al-Qur'an:
وَلا
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلا
Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati
zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan
yang buruk." (QS Al-Isra': 32)
Pada ayat di atas, selain zina yang dilarang,
juga meliputi hal-hal yang mendekat menuju zina seperti melihat wanita lain
tidak sesuai ketentuan syariat, bersentuhan, berduaan dan lain sebagainya.
Bersentuhan lawan jenis yang tidak mahram, selain hukumnya haram juga
membatalkan wudlu.
Lalu bagaimana hukum anak laki-laki
bersentuhan dengan ibu tiri atau istri baru dari ayahnya? Atau anak perempuan
bersentuhan dengan ayah tiri atau suami baru dari ibunya?
Dalam kitab Hâsyiyatân karangan
Imam Syihabudin al-Qulyubi dan Umairah menyebutkan, anak tiri perempuan dapat
membatalkan wudlu apabila ibu anak tiri tersebut belum sampai disetubuhi oleh
ayahnya yang baru. Apabila sudah dijima' oleh ayahnya yang baru, maka
bersentuhan antara ayah dan anak tiri perempuan sudah tidak membatalkan wudlu.
Hubungan mereka sudah menjadi mahram selamanya (alâ at-ta'bid). Jadi selain
sudah tidak membatalkan wudlu, ayah tersebut tidak boleh menikahi anak tirinya
walaupun ibunya sudah diceraikan atau wafat di kemudian hari.
قَوْلُهُ
: (مَنْ حَرُمَ
نِكَاحُهَا إلَخْ) فَتَنْقُضُ بِنْتُ الزَّوْجَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ بِأُمِّهَا ،
وَتَنْقُضُ أُخْتُهَا وَعَمَّتُهَا مُطْلَقًا
Artinya: "Penjelasan redaksi "orang
yang haram dinikah...dst": membatalkan wudlu anak perempuan dari istri
yang belum disetubuhi. Dan yang membatalkan wudlu juga adalah saudari dari
istri beserta bibinya secara mutlak (tanpa mempertimbangkan sudah disetubuhi
atau belum). (Syihabuddin Ahmad al-Qulyubi dan Umairah, Hâsyiyatân,
Maktabah al-Babi, Alepo, 1956, cetakan ke-3, juz 1, halaman 32)
Dalam keterangan kitab tersebut juga
disebutkan, berbeda masalah jika dengan saudari perempuan dari istri ataupun
bibi dari istri. Walaupun istrinya sudah disetubuhi, kedua jenis saudari
tersebut tetap membatalkan wudlu secara mutlak. Bedanya, jika anak tiri tidak
boleh dinikahi selamanya, sedangkan kedua jenis saudari ini boleh dinikahi
apabila istrinya diceraikan atau meninggal dunia.
Seperti Sayyidina Utsman ibn Affan yang
menikahi putri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bernama
Ruqayyah, lalu ketika wafat, Utsman menikahi putri Rasul yang lain bernama Ummu
Kultsum. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar