Sikap Tawadhu' Mbah Kiai Umar Abdul Mannan
Mbah Kiai Umar Abdul Mannan (wafat 1980),
pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta, dikenal luas
sebagai seorang kiai yang sangat tawadhu’. Hal ini tidak lepas dari cara Mbah
Umar memperhatikan kitab Ta’limul Muta’allim secara kritis, yakni bukan tentang
hak-haknya sebagai guru melainkan tentang kewajiban-kewajibannya. Selain
Ta'limul Muta'allim, kitab lain yang juga menjadi rujukan Mbah Umar dalam
bertawadhu' (berendah hati) adalah kitab al-Barzanji.
Sebagai contoh, Mbah Umar sebagai guru tidak
pernah berpikir bagaimana dibayari santri sebab itu sama saja dengan tamak
dalam hal duniawi. Bahwa seorang thalibul ‘ilmi atau santri, diibaratkan
seperti budak dalam hubungannya dengan guru seperti yang diungkapkan Sayyidina
Ali karramallahu wajhah, Mbah Umar sebagai guru tidak menggunakan hal itu untuk
memperlancar tercapainya kepentingan duniawi beliau.
Hal itu juga merupakan refleksi dari sikap
tawadhu’ dan keikhlasan beliau dalam mendidik para santri. Mbah Umar adalah
orang yang jujur dan tulus karena beliau memang seorang sufi yang secara
istiqamah memilih hidup zuhud. Beliau tidak silau terhadap gemerlapnya dunia.
Maka bisa dimengerti apa yang disebut ndalem Mbah Umar hanyalah sebuah rumah
yang sangat sederhana.
Oleh karena Mbah Umar memelihara sikap
tawadhu’, maka santri-santri tetap beliau hargai dengan tidak merendahkan
apalagi menghina mereka. Mbah Umar tetap menjunjung kesantunan kepada para
santri. Mbah Umar tidak pernah memberikan sesuatu kepada santri dengan
menggunakan tangan kiri atau dengan cara melemparkannya.
Sikap tawadhu’ Mbah Umar tersebut sebenarnya
tidak hanya merupakan cerminan dari praktik tawadhu’ seperti yang dimaksudkan
dalam kitab Ta’limul Muta’allim tetapi juga dalam kitab al-Barzanji yang
ditulis Sayyid Ja'far bin Hasan bin Abdul Karim.
Dalam kitab Al Barzanji dijelaskan Nabi
Muhammad ﷺ adalah seorang
pribadi yang sangat tawadhu’. Wakâna shallallâhu ‘alaihi wa sallama syadîdal
hayâ’ wat-tawâdhu’i. Wujud nyata dari tawadhu’ beliau ﷺ antara lain mencintai
fakir miskin dan mau bergaul bersama mereka.
Bentuk tawadhu’ seperti yang dicontohkan
Rasulullah tersebut diikuti oleh Mbah Umar dengan baik. Buktinya Mbah Umar
banyak berhubungan dengan wong-wong cilik yang kalau dilihat dari segi nasab
biasa-biasa saja. Kepada mereka Mbah Umar seringkali berbicara dalam bahasa
krama hinggil, seperti kepada tukang becak, tukang bangunan, tukang pos, para
santri yang belum cukup beliau kenal, dan sebagainya. Semua itu merupakan bukti
bahwa Mbah Umar memang orang yang sangat tawadhu’.
Terhadap orang-orang yang Mbah Umar
meyakininya lebih tinggi karena lebih sepuh, misalnya, beliau senantiasa
memberikan penghormatan yang disebut ta'dzim. Hal ini antara lain dapat dilihat
contohnya ketika Mbah Kiai Umar menerima tamu sahabat beliau Mbah Kiai Ali
Maksum dari Krapyak Bantul Yogyakarta. Mbah Umar mencium tangan Mbah Kiai Ali
Maksum (Rais 'Aam PBNU 1980-1984) seperti dapat dilihat pada gambar.
Dengan mengacu pada apa yang dipraktikkan
Mbah Kiai Umar, kita dapat menyimpulkan antara lain bahwa orang tawadhu' adalah
orang yang senantiasa menahan diri untuk tidak merasa lebih tinggi dari pada
orang lain yang secara sosiologis sebenarnya berada di bawahnya, sedangkan
terhadap orang lain yang diyakininya lebih tinggi, orang tersebut senantiasa
melakukan ta’dzim, yakni bersikap memuliakan dengan memberikan penghormatan
yang tulus. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar