KHOTBAH JUM'AT
Dari Sekadar Memaklumi Perbedaan, Menuju
Mencintai Sesama
Khutbah I
الحَمْدُ
للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ
المُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ الْمُنَافِقِيْنَ
وَالْكَافِرِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ
اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ
الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا
مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ.
أَمَّا بَعْدُ
أَيُّهاَ
اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ
بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Suatu hari Rasulullah ﷺ berpesan kepada para
sahabatnya yang akan melakukan sebuah perjalanan:
لَا
يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
“Janganlah ada satu pun yang shalat ‘Ashar
kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.”
Ketika Nabi mengatakan hal itu, ada sebagian
sahabat sudah menunaikan shalat Ashar. Pesan itu diingat-ingat betul oleh
mereka. Tidak ada masalah, hingga di tengah perjalanan mereka berselisih
pendapat saat waktu Ashar mau habis sedangkan mereka belum sampai di
perkampungan Bani Quraidhah.
Dengan dalih pesan secara jelas Nabi,
sebagian dari mereka bersikukuh tidak shalat Ashar kecuali di perkampungan yang
disebut Nabi itu. Sedangkan sebagian lain berpendapat bahwa yang dimaksud Nabi
adalah agar kita bergegas menuju perkampungan Bani Quradhah, sementara shalat
Ashar tetap harus dilaksanakan pada waktunya.
Dua cabang pendapat ini sebenarnya berpangkal
pada dua sudut pandang yang berbeda. Yang pertama mengacu pada bunyi lahiriah
sabda Nabi, adapun yang kedua mengacu pada konteks sabda itu
dinyatakan—prajurit harus bergerak cepat karena konteks waktu itu adalah
perang. Mereka pun akhirnya teguh dengan pendapat masing-masing dan melaksanakan
apa yang masing-masing yakini.
Ketika permasalahan perbedaan pendapat ini
disampaikan kepada Rasulullah, beliau tidak menyalahkan keduanya.
Perbedaan pendapat memang sudah terjadi di
kalangan sahabat Nabi, sejak Rasulullah ﷺ masih hidup di tengah-tengah
mereka. Meskipun, jumlahnya relatif sedikit karena sumber kebenaran (yakni
Nabi) masih hidup dan kalaupun terjadi perselisihan tajam, Nabilah yang bakal
meleraikannya.
Zaid bin Tsabit al-Anshari dan Ibnu 'Abbas,
misalnya, adalah dua ahli hukum Islam yang pernah berselisih pendapat dalam
pembahasan harta warisan (farâidl). Namun demikian, bukan berarti mereka secara
sosial bermusuhan.
Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari dalam
Irsyâdul Mu'minîn ilâ Sîrati Sayyidil Mursalîn wa Man Tabi'ahu minas Shahâbah
wat Tâbi'în menceritakan tentang kisah haru dari kedua tokoh yang sangat
dihormati itu.
Selepas menshalati jenazah sang ibunda, Zaid
bin Tsabit pulang dengan menaiki bighâl (bagal; peranakan kuda dan
keledai). Ketika hendak naik ke hewan tunggangan itu, Ibnu 'Abbas tiba-tiba
menghampiri lalu memegang tali kendali tunggangan tersebut. Sepupu Rasulullah
ini menuntunnya sebagai bentuk penghormatan.
Zaid bin Tsabit yang merasa sungkan
diperlakukan demikian oleh Ibnu 'Abbas pun bertutur sopan, "Lepaskanlah,
wahai anak paman Rasulullah!"
"Beginilah kami memperlakukan orang
alim," jawab Ibnu 'Abbas memuji Zaid bin Tsabit. Bagi Ibnu 'Abbas, orang
biasa seperti dirinya sudah sepantasnya menghormati sahabat selevel Zaid.
Sontak, Zaid mencium tangan Ibnu 'Abbas.
"Beginilah kami diperintah dalam memperlakukan keluarga Nabi,"
katanya. Ini adalah sikap balasan atas ketawadukan Ibnu 'Abbas. Kerendahan hati
dibalas kerendahan hati.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Yang bisa kita petik pelajaran dari kisah
singkat tadi adalah perbedaan pendapat adalah hal yang sangat lumrah. Bahkan
Rasulullah sendiri merestui perbedaan yang pada tingkat cabang agama itu (furû‘)—bukan
ushûlud dîn (pokok-pokok agama). Kenapa perbedaan pendapat itu lumrah?
Karena masing-masing orang dikaruniai potensi akal yang aktif, latar belakang
sosial yang beragam, dan jenis kebutuhan yang berbeda-beda.
Yang kerap dilupakan oleh mereka yang gemar
memusuhi kelompok lain karena beda paham adalah jebakan setan. Seolah-olah
telah memperjuangkan kebenaran tapi sesungguhnya telah meninggalkan kebenaran
yang lain. Mereka bertengkar untuk “kebenaran” furû‘iyyah tapi meninggalkan
kebenaran yang lebih prinsipil, yakni persaudaraan. Bisa jadi yang diperjuangkan
hanya setingkat hokum sunnah, tapi mengorbankan ukhuwah yang merupakan hal
pokok.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَــــــــارِهِ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Demi Allah, belum beriman (dengan sempurna)
seorang hamba hingga ia mencintai sesuatu untuk tetangganya seperti ia
mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri." (HR Imam Bukhari dan Imam
Muslim)
Hadits ini memberi pesan tentang persatuan
yang nyata. Ada pengandaian bahwa antara kita dan tetangga kita adalah satu
jiwa, sehingga kebahagiaan yang diperoleh tetangga seharusnya juga menjadi
kebahagiaan kita. Begitu juga sebaliknya, kesedihan yang menimpa tentangga
sudah seharusnya pula menjadi kesedihan kita.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Konsep hubungan sosial semacam ini melebihi
dari sekadar memaklumi perbedaan. Orang tak Cuma memandang lumrah orang-orang
yang berbeda dengannya, tapi sudah menganggap mereka seperti bagian dari diri
kita.
Bisa saja kita menoleransi orang berbeda pendapat
dengan kita, tapi belum tentu hati kita mampu ikhlas untuk tetap mencintainya.
Karena itu, sikap saling “membiarkan" perbedaan, perlu meningkat menjadi
sikap saling mengerti dan saling rasa memiliki. Sikap yang terakhir ini bisa
tumbuh hanya ketika kita tidak hanya melihat orang lain sebagai “yang berbeda”
tapi juga sebagai “sesame”: sama-sama manusia, sama-sama beragama, sama-sama
bangsa Indonesia, dan seterusnya.
Yang menarik, Nabi dalam hadits itu
menggunakan kata “tetangga” (jâr), yang maknanya tentu lebih luas,
menebos sekat-sekat suku, ras, kelas ekonomi, status sosial, bahkan agama. Yang
lebih penting lagi, Rasulullah membuka sabdanya dengan sumpah “demi Allah” dan
mengaitkan orang yang tidak mencintai tetangga, bermusuhan karena perbedaan pendapat,
dengan predikat “iman tidak sempurna”.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya
penghargaan terhadap orang lain. Sampai-sampai hal-hal yang sangat prinsipil,
yakni akidah (iman), dihubungkan dengan sikap sosial manusia. Seolah-olah nabi
ingin mengatakan bahwa tingkat iman kita berbanding lurus dengan perilaku kita
dalam bermasyarakat.
Al-Qur’an sendiri mengingatkan kita dengan
pesan:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا، كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ
Artinya: "Dan berpegang teguhlahlah kamu
semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan
ingatlah nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan,
lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi
bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu
Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran:103)
Demikianlah, Allah memerintahkan, dan dan Rasul-Nya
telah meneladankan. Semoga kita sebagai umat Nabi diberi kesadaran dan
kemampuan untuk menjunjung tinggi kemerdekaan pendapat orang lain, kesabaran
dalam mengajak kepada kebaikan, dan kekuatan dalam memegang teguh iman. Wallahu
a’lam.
بَارَكَ
الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ
بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا
فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ
اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ
وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا
وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ
ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar