Keadaban Politik di Tengah Ancaman Serigala Berbulu Domba
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Pada era politik setelah kebenaran sejak beberapa tahun terakhir,
sebagian manusia telah menghina dirinya sendiri dengan membiarkan martabatnya
jatuh tersungkur ke jurang yang dalam. Melakukan dusta, ujaran kebencian,
menebar fitnah, menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan, bertopeng, dan
sederet perilaku busuk lainnya adalah pakaian hariannya.
Budaya malu sudah lama berpisah dengan dirinya. Akal sehat
digantikan oleh ketidakwarasan, nurani telah lama tumpul. Orang seperti saya
bisa saja terjebak dalam lingkaran setan politik kekuasaan ini, jika tidak
ekstraawas.
Jika fenomena buruk ini berlanjut, tidak mustahil sebuah bangsa
akan menggali kuburan masa depannya, justru di tangan anak-anaknya sendiri yang
bersumbu pendek. Tentu kita berharap bahwa situasi Indonesia belum seburuk itu,
tetapi sikap antisipatif diperlukan agar virus ahistoris tidak semakin
menggerogoti kewarasan kultur bangsa ini.
Adalah Abdallah Laroui, pemikir kiri dari Moroko, yang berpendapat
bahwa risiko dari pandangan ahistoris hanya satu: orang gagal membaca realitas!
Artinya, realitas kekinian adalah buah dari kelampauan kita yang sudah
menyejarah, dan kompleks sekali. Orang tidak akan paham tentang masalah-masalah
kekinian jika abai terhadap masa silam, yang jauh atau yang dekat.
Saat saya mengikuti kuliah teori sejarah dari alm. Prof. Ibrahim
Alfian sekitar tahun 1960-an, definisi sejarah Allan Nevins, sejarawan Amerika,
pernah dikutipnya: “Sejarah adalah jembatan penghubung masa lampau dengan masa
kini, dan sekaligus menunjukkan arah ke masa depan.” Tanpa pengetahuan sejarah
yang memadai, jembatan penghubung itu tidak akan pernah terlihat. Dan arah masa
depan juga akan kabur.
Saya khawatir sebagian generasi milenial berada pada posisi rantai
yang terputus ini. Indonesia sebagai bangsa dan negara punya sejarah yang
panjang dan berliku. Banyak tikungan tajam yang harus dilaluinya sampai
terbentuknya peta keindonesiaan seperti yang kita kenal sekarang. Dalam
menempuh tikungan itu, korbannya banyak dan berdarah-darah.
Mengapa pendapat Laroui dan Nevins harus saya kutip? Alasannya
sederhana saja. Bagi saya, apa yang disebut politik setelah kebenaran dengan
segala topeng artifisialnya yang berbahaya, terutama disebabkan oleh
terputusnya rantai dengan akar sejarah dan budaya sebuah bangsa. Salah satu
akibatnya adalah keadaban politik dan rasa tanggung jawab kolektif kita
terhadap kepentingan dan kelangsungan bangsa dan negara menjadi tipis, jika
bukan telah sirna sama sekali.
Dalam menghadapi pileg dan pilpres pada April 2019, rasa tanggung
jawab moral bersama ini yang mulai luntur dan kabur. Syahwat kekuasaan telah
meredupkan rasa tanggung jawab itu. Jika tidak hati-hati, pengalaman getir
tahun 2016 berupa terbelahnya bangsa ini bisa terulang. Sungguh nista, sungguh
mencemaskan. Dan ongkosnya sungguh sangat mahal. Si sumbu pendek tidak peduli
dengan akibat buruk ini semua.
Dalam suasana yang serbakeruh itu, para demagog yang buta sejarah
Indonesia itu dengan sengaja memainkan kartu politik ahistorisnya dengan
dalil-dalil agama secara tidak bertanggung jawab. Mata batin mereka telah
terbutakan oleh hasrat kuasa yang tak terbendung. Amat disayangkan sebagian
politisi kita malah bergandengan tangan dengan rombongan demagog ini.
Asal tujuan tercapai, setidak-tidaknya begitulah impian mereka,
segala cara menjadi halal dan pertimbangan moral menjadi tidak penting. Bung
Karno pernah menyampaikan bahwa musuh generasi pendiri bangsa lebih mudah
dihadapi karena asing sifatnya. Tetapi, berurusan dengan anak merdeka akan jauh
lebih sukar karena sama jenisnya.
Dalam khazanah klasik Melayu kita kenal ungkapan ini: musang
berbulu ayam, serigala berbulu domba. Orang yang bermental ayam dan bermental
domba tidak selalu awas tentang terkaman predator yang sudah berada di
depannya. Persis, pandangan yang ahistoris terwakili oleh ayam dan domba yang
malang ini: menyediakan dirinya untuk jadi mangsa makhluk lapar yang bertopeng
itu.
Akhirnya, agar bangsa dan negara ini selamat dalam meniti
perjalanan masa depannya yang panjang, mudah-mudahan adil, berdaulat, dan
bermartabat, maka pilar-pilar keadaban politik harus diperkuat dan dijaga terus
menerus. Tidak boleh lengah! Jangan korbankan bangsa dan negara untuk
kepentingan politik sesaat. []
REPUBLIKA, 8 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar