Senin, 21 Januari 2019

Kang Komar: Konspirasi


Konspirasi
Oleh: Komaruddin Hidayat

Perubahan ekonomi, sosial, dan politik yang berlangsung sedemikian cepat dan sulit diprediksi  akibat globalisasi dan industrialisasi membuat masyarakat bingung, panik, merasa terancam, tetapi sulit untuk menunjuk siapa aktor di balik semua ini. Kita mengalami ”intellectual dislocation” atau ketidakmampuan untuk memahami apa yang tengah terjadi dan siapa aktor-aktor di belakangnya.

Dari sinilah berkembang teori konspirasi yang mudah dimakan masyarakat untuk mengurangi kekesalan dan kebingungannya. Teori konspirasi ini muncul di kalangan masyarakat terdidik karena bagi mereka yang menerima ataupun menolak memerlukan penalaran yang rumit dan tinggi meskipun sulit diverifikasi kebenarannya secara faktual.

Diperlukan orang yang cukup cerdas dan berwawasan luas untuk membuat teori konspirasi agar apa yang dikatakan terasa logis dan benar.

Sebaliknya, untuk mematahkan sebuah teori konspirasi juga tak mudah kalau seseorang tak memiliki penalaran yang setingkat. Makanya, pengaruh teori konspirasi bisa menjadi lebih mendalam dan bertahan lama ketimbang hoaks yang mudah diungkap kebohongannya.

Masyarakat yang senang cerita takhayul dan mitos akan mudah percaya pada teori konspirasi karena sudah terbiasa menikmati dongeng-dongeng fiktif. Misalnya mitos tentang Nyai Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan.

Siapa pun yang akan melaut mencari ikan mesti permisi pada Nyai Roro Kidul agar selamat dan memperoleh ikan yang banyak. Atau ketika keluar rumah hendak bepergian kemudian melihat kucing hitam atau ular memotong jalan, sebaiknya kepergiannya diurungkan karena ular dan kucing hitam merupakan isyarat kesialan jika perjalanan diteruskan.

Demikianlah, sampai hari ini masih banyak takhayul yang berkembang dan dipercayai masyarakat yang secara mental mengondisikan mereka mudah percaya pada teori konspirasi.

Matinya kepakaran

Teori konspirasi berkembang bersamaan dengan tren  masyarakat yang fanatik pada gawai. Orang bebas menulis dan menyebarkan gagasan apa saja dalam media sosial (medsos) berbasis internet.

Dalam bukunya The Death of Expertise (2017), Tom Nichols menceritakan bahwa masyarakat Amerika yang selama ini dianggap paling berpendidikan ternyata pengetahuan mereka tentang peta dunia sangat lemah.  Mereka menganggap Amerika sebagai pusat dunia sehingga merasa tidak perlu mempelajari tentang negara-negara lain.  Misalnya, mereka tahu Pulau Bali, tetapi tidak tahu di mana Indonesia.

Dengan berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan sampai ke ranting-ranting yang kecil, posisi pakar yang dulunya berada di puncak piramida keahlian sekarang dianggap ilmuwan biasa saja. Tidak asing, seorang pasien mendebat dokternya tentang resep obat yang diberikan. Kepercayaan dan penghormatan kepada pakar menurun drastis.

Apa yang dikemukakan Tom Nichols itu sekarang menggejala di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Orang mudah sekali mengakses informasi, bahkan dibanjiri informasi. Orang hanya mau mendengar dan membaca yang sesuai dengan seleranya dan menolak apa yang tidak disukai. Terlebih, ketika debat soal politik dan agama, orang hanya ingin mendengarkan yang sejalan dengan pilihan dan keyakinannya.

Pakar turun wibawa intelektualnya. Yang dimaksud pakar adalah mereka yang mendalami bidang ilmu secara konsisten dan mendalam, kaya pengalaman yang berkaitan dengan ilmunya, dan diakui oleh komunitas sejawatnya.

Saat ini, tiap orang merasa sama kepintarannya, tak ada hierarki antara pakar dan bukan pakar. Fenomena ini terlihat dalam acara debat di televisi.  Semua pembicara merasa sejajar, saling sahut-menyahut. Sebuah perdebatan yang dirancang agar seru bagi pemirsa guna menjaring iklan yang masuk.

Konspirasi politik

Oleh Tom Nichols acara seperti ini diibaratkan  sebuah pertandingan hoki tanpa wasit, bahkan penonton bisa nimbrung ikut bertanding. Semuanya menjadi pengamat dan analis, semuanya menjadi penonton dan pemain.

Ketika masyarakat bingung tidak mampu memahami apa yang terjadi di lingkungannya, sementara mereka juga tidak lagi percaya kepada pakar yang otoritatif, maka sebuah teori konspirasi mudah termakan oleh masyarakat.

Mirip hoaks, teori konspirasi berkembang dan beranak-pinak melalui medsos  yang berdampak signifikan terhadap sikap politik masyarakat, terlebih saat sebuah negara besar seperti Indonesia tengah menghadapi  pemilu.

Dulu sewaktu masih aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di Muntilan pada 1970-an, saya sangat antusias mendengarkan penceramah dari Jakarta yang sangat serius menekankan bahwa umat Islam Indonesia dalam bahaya. Indonesia menjadi sasaran gerakan Kristenisasi dunia yang akan mengubah Indonesia seperti Spanyol yang pernah menjadi pusat Islam.

Umat Islam akan dihabisi dan menjadi minoritas. Berbagai argumen dibangun, persentase umat Islam semakin mengecil, sementara orang Kristen meningkat tajam. Setelah keluar dari forum  saya merasa benci setiap melihat gereja. Namun, setelah sekian tahun berlalu, dan saya banyak melakukan perjalanan ke luar negeri, seperti Rusia, Amerika, dan Eropa, isi ceramah tadi terkoreksi.

Justru di sana perkembangan umat Islam dan jumlah bangunan masjid tumbuh jauh lebih pesat ketimbang gereja di Indonesia. Migrasi dan mobilitas penduduk antarnegara membuat masyarakat makin pluralistik. Di Barat bermunculan pusat-pusat studi keislaman yang bergengsi melekat pada universitas papan atas.

Saat ini teori konspirasi yang paling laku adalah adanya gerakan Zionisme dunia yang menguasai perekonomian dunia dan menjadikan Indonesia sebagai ”sapi perah” mereka. Semua malapetaka dan kekacauan politik dan ekonomi Indonesia yang menjadi biang keroknya adalah  jaringan Yahudi.

Bahkan, saya sempat mendengar penuturan, tsunami di Aceh, Ambon, dan Krakatau diawali dengan ledakan di dasar laut, sebuah konspirasi asing yang tengah melakukan uji coba nuklir.

Indonesia dipilih karena merupakan negara kepulauan yang memiliki gunung berapi sehingga mudah dikamuflase. Dalam ranah politik, sekarang teori konspirasi itu berkembang lagi. Ibarat kue, Indonesia tidak saja menjadi obyek kenduri kapitalisme Barat, tetapi juga komunisme China. Antara Amerika dan China kelihatannya bermusuhan, padahal mereka main mata untuk menikmati kekayaan alam Indonesia.

Berbagai data dan argumen dibangun sedemikian rupa agar narasi itu terasa rasional dan sulit dibantah kebenarannya. Baik kekuatan Barat maupun China tak menghendaki Indonesia menjadi kuat, tetapi jangan pula menjadi negara gagal karena akan menciptakan instabilitas politik dan ekonomi di Asia. Lalu, pikiran masyarakat pun terbangun, siapa saja pemimpin yang jadi antek Barat dan siapa antek China.

Jaka Tingkir

Di antara hoaks dan konspirasi yang dirancang untuk menimbulkan keresahan masyarakat, terdapat teori ketiga, yaitu teori ”memadamkan kebakaran”.

Diceritakan dalam sejarah babad  Tanah Jawi, dulu sekitar abad ke-16 hidup seorang pendekar sakti bernama Jaka Tingkir yang menginginkan jabatan di kerajaan di Demak. Untuk mencari perhatian dan simpati raja, Jaka Tingkir melepas ”kerbau sakti” yang sudah dia kondisikan dengan mantera-mantera untuk mengamuk menciptakan kekacauan dan ketakutan warga kota.

Rupanya rekayasa Joko Tingkir berhasil, warga kota takut dan berlarian, tak ada seorang pun yang bisa mengalahkan kerbau gila itu. Melihat pasukan kerajaan tak ada yang berhasil memadamkan kekacauan, Jaka Tingkir turun ke gelanggang. Dengan mudah, kerbau itu dia jinakkan karena memang dia yang mengendalikan. Setelah mendengar kesaktian Jaka Tingkir,  raja memanggilnya lalu diangkat menjadi Adipati Pajang, bergelar Adipati Adiwijaya.

Ada tafsiran, kerbau sakti yang mengacau itu adalah sebuah kiasan dari pasukan khusus yang ditugaskan oleh Jaka Tingkir untuk menimbulkan kepanikan dan kekacauan masyarakat, sebagai kamuflase bagi dia untuk tampil sebagai pahlawan pemadam kebakaran.

Baik teori konspirasi maupun drama menjinakkan amukan kerbau sakti selalu muncul dalam panggung sejarah dengan nama, aktor, dan setting sosial yang berbeda. Keduanya mengandung upaya pembodohan dan pengelabuan masyarakat. Pertanyaannya, apakah serendah itu integritas politisi kita dan sebodoh itu rakyat kita sehingga mudah percaya kepada teori konspirasi. Jangan-jangan itu tidak lebih dari upaya cuci tangan dan mencari kambing hitam atas kemalasan dan kebodohan kita mengatur bangsa dan negara. Berhentilah mencari kambing hitam. Hanya kita yang paling bertanggung jawab atas kemajuan atau kemunduran bangsa ini. []

KOMPAS, 18 Januari 2019
Komaruddin Hidayat | Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar