Konspirasi
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Perubahan
ekonomi, sosial, dan politik yang berlangsung sedemikian cepat dan sulit
diprediksi akibat globalisasi dan industrialisasi membuat masyarakat
bingung, panik, merasa terancam, tetapi sulit untuk menunjuk siapa aktor di
balik semua ini. Kita mengalami ”intellectual dislocation” atau ketidakmampuan
untuk memahami apa yang tengah terjadi dan siapa aktor-aktor di belakangnya.
Dari
sinilah berkembang teori konspirasi yang mudah dimakan masyarakat untuk
mengurangi kekesalan dan kebingungannya. Teori konspirasi ini muncul di
kalangan masyarakat terdidik karena bagi mereka yang menerima ataupun menolak
memerlukan penalaran yang rumit dan tinggi meskipun sulit diverifikasi
kebenarannya secara faktual.
Diperlukan
orang yang cukup cerdas dan berwawasan luas untuk membuat teori konspirasi agar
apa yang dikatakan terasa logis dan benar.
Sebaliknya,
untuk mematahkan sebuah teori konspirasi juga tak mudah kalau seseorang tak
memiliki penalaran yang setingkat. Makanya, pengaruh teori konspirasi bisa
menjadi lebih mendalam dan bertahan lama ketimbang hoaks yang mudah diungkap
kebohongannya.
Masyarakat
yang senang cerita takhayul dan mitos akan mudah percaya pada teori konspirasi
karena sudah terbiasa menikmati dongeng-dongeng fiktif. Misalnya mitos tentang
Nyai Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan.
Siapa pun
yang akan melaut mencari ikan mesti permisi pada Nyai Roro Kidul agar selamat
dan memperoleh ikan yang banyak. Atau ketika keluar rumah hendak bepergian
kemudian melihat kucing hitam atau ular memotong jalan, sebaiknya kepergiannya
diurungkan karena ular dan kucing hitam merupakan isyarat kesialan jika
perjalanan diteruskan.
Demikianlah,
sampai hari ini masih banyak takhayul yang berkembang dan dipercayai masyarakat
yang secara mental mengondisikan mereka mudah percaya pada teori konspirasi.
Matinya kepakaran
Teori
konspirasi berkembang bersamaan dengan tren masyarakat yang fanatik pada
gawai. Orang bebas menulis dan menyebarkan gagasan apa saja dalam media sosial
(medsos) berbasis internet.
Dalam
bukunya The Death of
Expertise (2017), Tom Nichols menceritakan bahwa masyarakat
Amerika yang selama ini dianggap paling berpendidikan ternyata pengetahuan
mereka tentang peta dunia sangat lemah. Mereka menganggap Amerika sebagai
pusat dunia sehingga merasa tidak perlu mempelajari tentang negara-negara
lain. Misalnya, mereka tahu Pulau Bali, tetapi tidak tahu di mana
Indonesia.
Dengan
berkembangnya berbagai cabang ilmu pengetahuan sampai ke ranting-ranting yang
kecil, posisi pakar yang dulunya berada di puncak piramida keahlian sekarang
dianggap ilmuwan biasa saja. Tidak asing, seorang pasien mendebat dokternya
tentang resep obat yang diberikan. Kepercayaan dan penghormatan kepada pakar
menurun drastis.
Apa yang
dikemukakan Tom Nichols itu sekarang menggejala di seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Orang mudah sekali mengakses informasi, bahkan dibanjiri informasi.
Orang hanya mau mendengar dan membaca yang sesuai dengan seleranya dan menolak
apa yang tidak disukai. Terlebih, ketika debat soal politik dan agama, orang
hanya ingin mendengarkan yang sejalan dengan pilihan dan keyakinannya.
Pakar
turun wibawa intelektualnya. Yang dimaksud pakar adalah mereka yang mendalami
bidang ilmu secara konsisten dan mendalam, kaya pengalaman yang berkaitan
dengan ilmunya, dan diakui oleh komunitas sejawatnya.
Saat ini,
tiap orang merasa sama kepintarannya, tak ada hierarki antara pakar dan bukan
pakar. Fenomena ini terlihat dalam acara debat di televisi. Semua
pembicara merasa sejajar, saling sahut-menyahut. Sebuah perdebatan yang
dirancang agar seru bagi pemirsa guna menjaring iklan yang masuk.
Konspirasi politik
Oleh Tom
Nichols acara seperti ini diibaratkan sebuah pertandingan hoki tanpa
wasit, bahkan penonton bisa nimbrung ikut bertanding. Semuanya menjadi pengamat
dan analis, semuanya menjadi penonton dan pemain.
Ketika
masyarakat bingung tidak mampu memahami apa yang terjadi di lingkungannya,
sementara mereka juga tidak lagi percaya kepada pakar yang otoritatif, maka
sebuah teori konspirasi mudah termakan oleh masyarakat.
Mirip
hoaks, teori konspirasi berkembang dan beranak-pinak melalui medsos yang
berdampak signifikan terhadap sikap politik masyarakat, terlebih saat sebuah
negara besar seperti Indonesia tengah menghadapi pemilu.
Dulu
sewaktu masih aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) di Muntilan
pada 1970-an, saya sangat antusias mendengarkan penceramah dari Jakarta yang
sangat serius menekankan bahwa umat Islam Indonesia dalam bahaya. Indonesia
menjadi sasaran gerakan Kristenisasi dunia yang akan mengubah Indonesia seperti
Spanyol yang pernah menjadi pusat Islam.
Umat
Islam akan dihabisi dan menjadi minoritas. Berbagai argumen dibangun,
persentase umat Islam semakin mengecil, sementara orang Kristen meningkat
tajam. Setelah keluar dari forum saya merasa benci setiap melihat gereja.
Namun, setelah sekian tahun berlalu, dan saya banyak melakukan perjalanan ke
luar negeri, seperti Rusia, Amerika, dan Eropa, isi ceramah tadi terkoreksi.
Justru di
sana perkembangan umat Islam dan jumlah bangunan masjid tumbuh jauh lebih pesat
ketimbang gereja di Indonesia. Migrasi dan mobilitas penduduk antarnegara
membuat masyarakat makin pluralistik. Di Barat bermunculan pusat-pusat studi
keislaman yang bergengsi melekat pada universitas papan atas.
Saat ini
teori konspirasi yang paling laku adalah adanya gerakan Zionisme dunia yang
menguasai perekonomian dunia dan menjadikan Indonesia sebagai ”sapi perah”
mereka. Semua malapetaka dan kekacauan politik dan ekonomi Indonesia yang menjadi
biang keroknya adalah jaringan Yahudi.
Bahkan,
saya sempat mendengar penuturan, tsunami di Aceh, Ambon, dan Krakatau diawali
dengan ledakan di dasar laut, sebuah konspirasi asing yang tengah melakukan uji
coba nuklir.
Indonesia
dipilih karena merupakan negara kepulauan yang memiliki gunung berapi sehingga
mudah dikamuflase. Dalam ranah politik, sekarang teori konspirasi itu
berkembang lagi. Ibarat kue, Indonesia tidak saja menjadi obyek kenduri
kapitalisme Barat, tetapi juga komunisme China. Antara Amerika dan China
kelihatannya bermusuhan, padahal mereka main mata untuk menikmati kekayaan alam
Indonesia.
Berbagai
data dan argumen dibangun sedemikian rupa agar narasi itu terasa rasional dan
sulit dibantah kebenarannya. Baik kekuatan Barat maupun China tak menghendaki
Indonesia menjadi kuat, tetapi jangan pula menjadi negara gagal karena akan
menciptakan instabilitas politik dan ekonomi di Asia. Lalu, pikiran masyarakat
pun terbangun, siapa saja pemimpin yang jadi antek Barat dan siapa antek China.
Jaka Tingkir
Di antara
hoaks dan konspirasi yang dirancang untuk menimbulkan keresahan masyarakat,
terdapat teori ketiga, yaitu teori ”memadamkan kebakaran”.
Diceritakan
dalam sejarah babad Tanah
Jawi, dulu sekitar abad ke-16 hidup seorang pendekar sakti bernama
Jaka Tingkir yang menginginkan jabatan di kerajaan di Demak. Untuk mencari
perhatian dan simpati raja, Jaka Tingkir melepas ”kerbau sakti” yang sudah dia
kondisikan dengan mantera-mantera untuk mengamuk menciptakan kekacauan dan
ketakutan warga kota.
Rupanya
rekayasa Joko Tingkir berhasil, warga kota takut dan berlarian, tak ada seorang
pun yang bisa mengalahkan kerbau gila itu. Melihat pasukan kerajaan tak ada
yang berhasil memadamkan kekacauan, Jaka Tingkir turun ke gelanggang. Dengan
mudah, kerbau itu dia jinakkan karena memang dia yang mengendalikan. Setelah
mendengar kesaktian Jaka Tingkir, raja memanggilnya lalu diangkat menjadi
Adipati Pajang, bergelar Adipati Adiwijaya.
Ada
tafsiran, kerbau sakti yang mengacau itu adalah sebuah kiasan dari pasukan
khusus yang ditugaskan oleh Jaka Tingkir untuk menimbulkan kepanikan dan
kekacauan masyarakat, sebagai kamuflase bagi dia untuk tampil sebagai pahlawan
pemadam kebakaran.
Baik
teori konspirasi maupun drama menjinakkan amukan kerbau sakti selalu muncul
dalam panggung sejarah dengan nama, aktor, dan setting sosial yang berbeda. Keduanya
mengandung upaya pembodohan dan pengelabuan masyarakat. Pertanyaannya, apakah
serendah itu integritas politisi kita dan sebodoh itu rakyat kita sehingga mudah
percaya kepada teori konspirasi. Jangan-jangan itu tidak lebih dari upaya cuci
tangan dan mencari kambing hitam atas kemalasan dan kebodohan kita mengatur
bangsa dan negara. Berhentilah mencari kambing hitam. Hanya kita yang paling
bertanggung jawab atas kemajuan atau kemunduran bangsa ini. []
KOMPAS,
18 Januari 2019
Komaruddin Hidayat | Dosen pada Fakultas
Psikologi UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar