Riwayat Hidup dan
Perjuangan KH Syam’un
Kisah Samson atau
Simson sangat dikenal akan kekuatannya. Kisahnya digambarkan dalam komik, buku,
hingga film. Terkait kekuatannya, ia seperti Herkules yang menggunakan kekuatan
fisiknya yang luar biasa saat melawan musuh-musuhnya.
Di dalam kitab
Durrotun Nasihin dikisahkan, suatu ketika Nabi Muhammad mendapat berita dari
seorang yang tua dari kaum Israil, kisah seorang pejuang Allah yang bernama
Syam'un Al-Ghazi. Syam’un memiliki senjata semacam pedang yang terbuat dari
tulang rahang unta bernama Liha Jamal. Konon, hanya dengan pedang satu ini dia
dapat membunuh ribuan orang kafir. Siapa pun musuh yang berhadapan dengannya,
pasti akan hancur dengan pedang ajaibnya.
Di Indonesia, ada
seorang kiai dari Banten yang bernama Syam’un. Namun, sayang kisah hidup dan
perjuangannya dalam mengusir penjajah jarang diketahui orang. Namun,
belakangan, jasanya itu kemudian terungkap, kemudian dihargai negara dengan
menahbiskannya sebagai pahlawan nasional.
Silsilah Leluhur dan
Keilmuan
KH Syam’un lahir pada
5 April 1894 dari pasangan H Alwiyan dan Hj Hajar di Banten. Di dalam darahnya
mengalir darah tokoh pejuang di masa sebelumnya dalam melawan dan upaya
mengusir penjajah. Ia merupakan keturunan dari KH Wasid tokoh pemberontakan
yang dikenal Geger Cilegon pada 1888.
Masa kecil KH Syam’un
memperoleh pendidikan di pesantren Dalingseng milik KH Sa’i pada 1901. Dia
pindah ke Pesantren Kamasan, asuhan KH Jasim di Serang pada 1904. Tahun
berikutnya, KH Syam’un belajar ke Mekkah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di
tanah suci kepada ahli-ahli keislaman terbaik di dunia saat itu. Lalu ia
melanjutkan pencarian ilmunya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dari 1910
hingga 1915.
Menurut sejarawan
Agus Sunyoto, ia memiliki kemampuan bahasa asing yang fasih, setidaknya tiga bahasa
yaitu Arab, Inggris, dan Belanda. Dari kemampuan berbahasa itu, kemungkinan dia
untuk menyerap ilmu dari berbagai sumber sangat besar melengkapi dan
mengembangkan kemampuannya. Reputasinya dalam bidang keilmuan, terutama agama,
ditunjukkan dengan ia mampu mengajar di Masjidil Haram, Mekkah.
Sebagaimana
dijelaskan Rahayu yang dikutip Historia.id, seusai memperoleh ijazah Al-Azhar,
KH Syam’un kembali ke Mekkah untuk mengajar di Masjid al-Haram. Muridnya dari
berbagai negara aneka suku bangsa. Namun, yang terbanyak dari Jawa. Meskipun
cuma setahun mengajar, di sini namanya mulai sohor sebagai ulama Banten yang
besar.
Ia melanjutkan
reputasi ulama-ulama Nusantara dari masa sebelumnya yang mampu mengajar di
masjid prestisius itu, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Tremas,
dan lain-lain.
Perjuangan Mengusir
Penjajah
“Suara senapan mesin
Jepang terdengar dari pinggir pantai Bojong Anyer, Banten. Anggota Pembela
Tanah Air (PETA) lagi menembaki sebuah kapal selam milik Sekutu. Badan kapal
tak tampak. Sepenuhnya berada di dalam air. Hanya periskop kelihatan sedikit di
permukaan. Kapal selam itu cepat masuk air. Tembakan dari anggota PETA pun
berhenti. Seorang penembak kapal selam itu bernama KH Syam’un,” demikian situs
Historia.id membuka tulisan yang mengupas perjuangan tokoh tersebut. Waktu itu
ia merupakan daidanco (komandan batalion) PETA wilayah Cilegon-Serang, Banten,
sejak November 1943.
Situs tersebut
menyerap data dari catatan Mansyur Muhyidin dalam Karya Ilmiah Berdasarkan
Pengalaman Anak-Anak K.H. Sjam’un seperti dikutip oleh Rahayu Permana dalam
"Kiai Haji Sjam’un: Gagasan dan Perjuangannya," tesis di Universitas
Indonesia.
Di dalam buku Fatwa
dan Resolusi Jihad (2017) karangan KH Agus Sunyoto, KH Syam'un adalah perwira
tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA), Komandan Batalyon berpangkat
daidancho atau mayor tahun 1943. Tahun 1944 dilantik jadi Komandan Batalion
PETA berpangkat mayor, memimpin 567-600 orang pasukan. Saat TKR dibentuk 5
Oktober 1945, pangkatnya naik jadi kolonel, Komandan Divisi l TKR dengan
memimpin 10.000 orang pasukan. Tahun 1948, ia naik pangkat brigadir jenderal.
Ia memimpin gerilya di wilayah Banten, sampai wafatnya tahun 1949.
Sementara data lain,
menurut penelusuran Ahmad Baso, setelah proklamasi diangkat sebagai bupati
Serang, diangkat oleh Residen Banten KH Tubagus Achmad Chatib. Dengan
koordinasi Chairul Saleh dan Tan Malaka membawa massa Banten ke lapangan Ikada
September 1945.
Mengembangkan
Pesantren dan Aktif di NU
Sebagai orang yang
lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, ketika pulang ke tempat
kelahirannya, ia mengembangkan pesantren juga. KH Syam’un pulang ke Hindia
Belanda pada 1915.
Menurut Rahayu,
lagi-lagi sebagaimana dikutip Historia, KH Syam’un meletakkan ilmu pada tingkat
paling atas dalam pencapaian kehidupan manusia. Dia juga memiliki gagasan
tentang hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
“Bahwa pendidikan
merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi segala persoalan hidup,”
ungkap Rahayu.
Wujud gagasan KH
Syam’un terlihat dari pendirian pesantren di Citangkil, Cilegon, pada 1916.
Sepuluh tahun awal, materi ajarnya masih terbatas pada ilmu agama seperti tata
bahasa Arab, fiqih, hadits, tafsir, dan akidah. Santrinya pun hanya berjumlah
puluhan. Lama-kelamaan pesantren Citangkil berkembang. Tidak hanya dari jumlah
santri, melainkan juga materi ajar dan metode pembelajaran.
Masih dikutip dari
Historia.id dari sumber Abdul Malik dkk., dalam Jejak Ulama Banten Dari Syekh
Yusuf Hingga Abuya Dimyati, KH Syam’un menggabungkan pola pendidikan
tradisional pesantren dengan sekolah modern pada 1926.
“KH Syam’un berusaha
mengembangkan rasionalitas Islam dengan seruan kembali kepada ajaran Islam yang
pokok,” tulisnya.
Kemungkinan karena
merasa satu visi dengan kiai-kiai asal pesantren, di dalam berorganisasi ia
memilih aktif di Nahdlatul Ulama. Ia tercatat sebagai salah seorang syuriyah
dari NU Serang. Buktinya sebagai pengurus, menurut data yang ditemukan di
Majalah Swara Nahdlatoel Oelama dan Berita Nahdlatoel Oelama, ia hadir di
muktamar NU. Paling tidak, di Muktamar NU kelima di Pekalongan pada 1930 dan Banjarmasin
1936. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar