Memahami Ideologi Kaum Fundamentalis
Judul
: Ideologi Kaum Fundamentalis: Menjawab Kegalauan Persoalan Agama & Negara
Penulis
: A. Dwi Hendro Sunarko Ginting dan Abdul Ghopur
Penerbit
: LKSB
Cetakan
: I, April 2018
Tebal
: xliii + 307 halaman
ISBN
: 978-602-50585-1-6
Peresensi
: Rizky Afriono, Sekretaris Lembaga Kajian Strategis Bangsa
Jika ada penganut keagamaan berani bunuh diri
dan meledakkan bom maka tesis “atas nama iman, atas nama teks” dan berperang
demi Tuhan, berperang demi agama sedang mengalami faktualisasinya, maka inilah
potret mutakhir hari-hari kita menyaksikan bom dan ancaman terorisme tak
berkesudahan di Indonesia. Sebuah zaman yang menandakan lahirnya kekuatan
fundamentalisme agama guna melawan neo-kapitalisme yang digerakan oleh Amerika
dan sekutunya.
Tentu saja fundamentalisme-terorisme agama
dan hegemoni kapitalisme AS merupakan dua kutub antagonis yang berseberangan.
Sebab, fundamentalisme-terorisme agama harus dikecam (ditinggalkan),
fundamentalisme - terorisme demokrasi (prosedural) — yang didesain sehingga
melahirkan perlawanan dan kekejaman yang sama — juga harus dikutuk ramai-ramai
(lihat Bagian Keenam, hlm. 133).
Dari fenomena tersebut pertanyaannya adalah,
efektifkah perlawanan atas nama Tuhan dan atas nama agama? Manusiawikah
memberangus fundamentalisme - terorisme berbasis agama dengan
fundamentalisme-terorisme berbasis demokrasi? Menurut para analis, pakar
politik, pers dan dalam pengertian yang paling sederhana, mereka yang berani
melawan Amerika adalah para fundamentalis, radikalis, dan teroris. Tetapi,
siapakah para begundal penganut fundamentalisme itu?
Fundamentalisme sering dimaknai sebagai
perilaku keagamaan berdasarkan normative approach (penghayatan normative) yang
skriptural (berdasar teks semata) tanpa melihat persoalan-persoalan substansial
lainnya (misal; sejarah, peradaban, iptek). Perilaku normative approach ini
kemudian melahirkan sibling rivalry yaitu permusuhan antar saudara kandung
(maksudnya, Abrahamic Religions—Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan
mengedepankan sikap truth claim, merasa paling benar dengan
menyalah-menyesatkan agama dan pemeluk lainnya.
Ideologi dan agama (termasuk agama Islam)
sebenarnya merupakan dua hal yang berbeda, karena ideologi pada prinsipnya
adalah hasil pemikiran manusia, sedangkan Islam dipercaya sebagai agama yang
diturunkan Allah untuk keselamatan umat manusia (lihat Bagian Kesatu &
Kedua, hlm. 22 & 17). Dalam agama Islam ternyata selain mengandung
ajaran-ajaran yang menata hubungan Tuhan dan manusia, juga mengatur hubungan
antarmanusia dalam kaitan hubungan antarindividu dan kemasyarakatan. Karena
kenyataan inilah ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits
diadopsi/digunakan dalam ideologi, yang kemudian disebut ideologi Islam.
Islam Fundamental sebetulnya merupakan
istilah yang digunakan oleh dunia Barat untuk menamai sebuah gerakan Islam
(lihat Bagian Ketiga, hlm. 68). Menurut para pengikutnya, gerakan tersebut
didasari oleh semangat pemurnian ajaran Islam dan dilaksanakannya ajaran Islam
secara kaffah. Dalam perkembangannya, ternyata gerakan ini menampakkan sifat
dan sikap radikal dalam perjuangan, terutama untuk menghadapi pihak-pihak atau
golongan yang bukan ikhwan atau yang menjadi musuh-musuh Islam. Sifat dan sikap
keradikalan tersebut, diantaranya ditunjukkan melalui pemahaman konsep jihad
dalam perjuangannya (lihat Bagian Ketiga, hlm. 39), yang diaktualisasikan dalam
bentuk terorisme.
Buku yang ditulis oleh A. Dwi Hendro Sunarko
Ginting (Pengamat Kajian Global and Strategic) dan Abdul Ghopur (Direktur
Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa) ini hadir dan berusaha menjawab
beragam persoalan di atas, terutama berbicara persoalan pemahaman keagamaan
kelompok-kelompok garis keras yang mengusung tema rigiditas dan kemurnian
Islam.
Sebut saja soal konsep Jihâd fi Sabilillâh
dan mati syahid (lihat Bagian Ketiga, hlm. 39), amar ma’ruf nahi munkar, siapa
kafir dan bukan kafir, siapa selamat dan yang tidak selamat, siapa teman
(ikhwan) siapa lawan/musuh? (lihat Bagian Ketiga, hlm. 41), tak mau mengakui
madzhab-madzhab besar dalam Islam (4 Madzhab), Perjuangan Islam serta Negara
Islam (Daulah Islamiyah), dan lain-lain, yang dirasa oleh para penulis perlu
diluruskan dan dibenahi agar selaras dengan tujuan akhir Islam, yakni Islam
yang rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi semesta alam (lihat Bagian Ketujuh &
Kedelapan).
Pertemuan antara kedua penulis ini, seperti
pertemuan “tumbu dengan tutup” – sampun klop, istilahnya kalau Guitar itu sudah
nyetem, tinggal mereka bermain musik yag seirama dengan segenap jiwa, yaitu
Jiwa Islam dan Kebangsaan, Islam Nusantara, Islamnya Indonesia yang menjadi
rahmat dan berkah bagi segenap alam semesta raya atau Rahmatan lil 'alamin.
Bung Ghopur sejak lama ingin menulis tentang
ideologi kelompok fundamentalis agama (Islam) yang ternyata banyak dalil dalam
Al-Qur’an dan Hadits apabila ditelisik dapat menjawab serta mengkonter
(menderadikalisasi) nilai-nilai ideologi kelompok fundamentalis, untuk kemudian
memberikan gambaran awal bagaimana menjawab “pertentangan” dan kegalauan agama
dan negara dalm konteks Indonesia yang seharusnya sinergis dalam nilai-nilai
“ideologi tengah” Pancasila dan NKRI (lihat, Bagian Kedelapan).
Buku yang bermula dari sebuah skripsi yang
ditulis Mas Anton dan telah diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
pada tahun 2006 dengan judul Ideologi Teroris Indonesia, yang diambil dari
judul Skripsi “Latar Belakang Ideologis Kelompok Tersangka Kasus Bom Bali –
Identifikasi Ideologi, Proses Internalissasi dan Kajian Tentang Jaringan
Teroris”, sebagai salah satu hasil penelitian terhadap kasus Bom Bali I (lihat
Bagian Keempat & Kelima).
Kedua penulis ini yakin dan sadar bahwa
berbicara agama (Islam) dan negara (Nasionalisme) tak perlu dipertentangkan dan
diperhadap-hadapkan, tetapi sebaliknya, saling membutuhkan, menunjang dan
memperkuat satu sama lain (lihat Pengantar Penulis Abdul Ghopur, hlm. xxvi).
Sebab, bernegara tanpa landasan nilai-nilai moral “agama”, kehidupan berbangsa
akan kering-kerontang, dan beragama tanpa aras dan bingkai-bingkai (batasan)
kebangsaan hanya akan menjadi kehidupan yang pincang bahkan “over dosis” agama,
mengerikan.
Oleh sebab itu, keduanya sepakat dan berjuang
untuk “menegakkan” agama dalam bingkai keindonesiaan, Pancasila dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). insyaAllah melalui buku ini, sumbangsih
pemikiran mereka dapat sedikit memberikan penyegaran pemahaman berbangsa dan
bernegara sekaligus beragama yang ramah. Meski kita sadar bahwa inti persoalan
dan ontran-ontran kebangsaan kita adalah tentang pemenuhan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia yang belum rampung-rampung dan berwujud juga.
Singkat kata, kemunculan gerakan-gerakan
radikal di dalam kalangan Islam terutama dalam penafsiran konsep jihad yang
dipahami yang pada umumnya dipahami sebagai perang suci. Jihad yang dipahami
dipahamam secara internal (dari dalam sebuah negara) bentuk sebuah kewajiban
muslim dalam meneggakan kalimat Allah melalui kekuatan dan peperangan, yang
mengakibatkan, banyak kaum muslim rela hanya menjadi mortir melakukan perang
dalam konteks teror bom bunuh diri atas nama agama, untuk secara eksternal
(dari luar Negara) dalam bentuk aksi modernisasi yang dilakukan dunia barat ke
dunia Islam yang berdasal dan didorong dari sosial ekonomi internasional yang
dianggap tidak adil bagi kaum muslim yang kalah dengan arus globalisasi.
Oleh sebab itu, penulis buku merasa perlu
meluruskan sikap, pandangan dan tindakan para penganut fundamentalisme dan
rigiditas dalam beragama dengan pandangan dan sikap yang lebih bijak dan
tentunya substantif dalam menerapkan nilai-nilai atau syariat agama yang
tentunya memiliki prinsip dan tujuan kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Kiranya, sebagai bahan referensi dan
masukan-masukan yangsangat berharga, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan
atau pihak terutama pihak pemerintah dan penganut rigiditas nilai-nilai
keagamaan secara khusus, serta masyarakat luas pada umumnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar