Senin, 28 Januari 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Berwudhu dengan Air Mustakmal


Hukum Berwudhu dengan Air Mustakmal

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, air mustakmal yang dikaji sejak kita kecil dipahami sebagai air yang sudah digunakan untuk bersuci atau menghilangkan najis dan tidak bisa lagi digunakan bersuci. Tetapi kita dikejutkan dengan video seseorang di media sosial yang menggunakan air mustakmal untuk berwudhu. Mohon penjelasan masalah ini. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Hamba Allah – Tangerang

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Air mustakmal secara umum dipahami sebagai air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil dan hadats besar atau telah digunakan untuk menyucikan najis.

Kami akan mengutip pandangan mazhab perihal air mustakmal dan kedudukan air tersebut dalam kaitannya dengan penggunaan ulang air tersebut untuk bersuci.

Mazhab Hanafi menghitung air sebagai mustakmal sesaat air tersebut terlepas dari anggota tubuh saat digunakan untuk bersuci. Ketika air tersebut masih menempel di tubuh, air yang sedang digunakan itu belum terbilang sebagai mustakmal.

وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّ الْمَاءَ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلاً بِمُجَرَّدِ انْفِصَالِهِ عَنِ الْبَدَنِ

Artinya, “Pandangan utama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa air menjadi mustakmal ketika terpisah dari tubuh,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 359).

Mazhab Maliki secara umum memiliki pemahaman yang sama perihal air mustakmal. Hanya saja Mazhab Maliki memiliki penilaian berbeda dari mazhab lainnya. Mereka menilai air mustakmal sebagai zat yang suci dan menyucikan sehingga tetap dapat digunakan untuk kedua kalinya dan kali berikutnya.

وَحُكْمُهُ عِنْدَهُمْ أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ لَكِنْ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوِ اغْتِسَالاَتٍ مَنْدُوبَةٍ مَعَ وُجُودِ غَيْرِهِ إِذَا كَانَ يَسِيرًا

Artinya, “Hukum air mustakmal bagi mereka (kalangan Maliki) adalah suci dan menyucikan, tetapi makruh digunakan untuk penghilangan hadats atau pembasuhan sunah meski ada air lainnya bila air itu sedikit,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 360).

Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya memiliki pandangan serupa dengan pandangan Mazhab Maliki, yakni kebolehan untuk menggunakan air mustakmal. Sedangkan pada qaul jadidnya, Imam Syafi’i menilai air mustakmal sebagai air suci dan tidak menyucikan sehingga air mustakmal tidak dapat digunakan untuk bersuci untuk kali kedua dan kali berikutnya.

وَلأِنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ - مَعَ قِلَّةِ مِيَاهِهِمْ - لَمْ يَجْمَعُوا الْمَاءَ الْمُسْتَعْمَل لِلاِسْتِعْمَال ثَانِيًا بَل انْتَقَلُوا إِلَى التَّيَمُّمِ ، كَمَا لَمْ يَجْمَعُوهُ لِلشُّرْبِ لأَِنَّهُ مُسْتَقْذَرٌ

Artinya, “Ulama terdahulu di tengah keterbatasan air tidak menampung air mustakmal untuk penggunaan kedua kalinya. Mereka justru berpaling pada tayamum sebagaimana mereka juga tidak menampungnya untuk diminum karena air mustakmal terbilang kotor,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 361).

Adapun pandangan Mazhab Hanbali perihal air mustakmal secara umum serupa dengan pandangan mazhab lainnya, yaitu air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats atau menghilangkan najis . 

قَال الْحَنَابِلَةُ : الْمَاءُ الَّذِي اسْتُعْمِل فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَةِ نَجَسٍ وَلَمْ يَتَغَيَّرْ أَحَدُ أَوْصَافِهِ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ لاَ يَرْفَعُ حَدَثًا وَلاَ يُزِيل نَجِسًا وَهَذَا هُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ عِنْدَهُمْ. وَعِنْدَ أَحْمَدَ رِوَايَةٌ أُخْرَى أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ

Artinya, “Ulama Mazhab Hanbali berpendapat bahwa air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis–salah satu sifatnya tidak berubah–maka ia terbilang suci tetapi tidak menyucikan, yakni tidak lagi dapat menghilangkan hadats dan najis. Ini pandangan utama mazhab mereka. Tetapi ada riwayat lain mengatakan bahwa Imam Ahmad menyatakan air mustakmal suci dan menyucikan,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 362).

Bagi Mazhab Hanbali, status air mustakmal adalah suci dan tidak menyucikan sehingga air ini tidak dapat digunakan untuk kedua kalinya.

وحكم المستعمل: أنه لا يرفع الحدث ولا يزيل الخبث، كالشافعية

Artinya, “Hukum (air) mustakmal (bagi Mazhab Hanbali) tidak dapat mengangkat hadats dan menghilangkan najis sebagaimana pandangan Mazhab Syafi‘i,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz I, halaman 125).

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar