Hukum Berwudhu dengan Air
Mustakmal
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, air
mustakmal yang dikaji sejak kita kecil dipahami sebagai air yang sudah
digunakan untuk bersuci atau menghilangkan najis dan tidak bisa lagi digunakan
bersuci. Tetapi kita dikejutkan dengan video seseorang di media sosial yang
menggunakan air mustakmal untuk berwudhu. Mohon penjelasan masalah ini. Terima
kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Hamba Allah – Tangerang
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT
menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Air mustakmal secara umum dipahami
sebagai air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil dan hadats
besar atau telah digunakan untuk menyucikan najis.
Kami akan mengutip pandangan mazhab perihal
air mustakmal dan kedudukan air tersebut dalam kaitannya dengan penggunaan
ulang air tersebut untuk bersuci.
Mazhab Hanafi menghitung air sebagai
mustakmal sesaat air tersebut terlepas dari anggota tubuh saat digunakan untuk
bersuci. Ketika air tersebut masih menempel di tubuh, air yang sedang digunakan
itu belum terbilang sebagai mustakmal.
وَالْمَذْهَبُ
عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّ الْمَاءَ يَصِيرُ مُسْتَعْمَلاً بِمُجَرَّدِ
انْفِصَالِهِ عَنِ الْبَدَنِ
Artinya, “Pandangan utama Mazhab Hanafi
mengatakan bahwa air menjadi mustakmal ketika terpisah dari tubuh,” (Lihat
Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,
[Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman
359).
Mazhab Maliki secara umum memiliki pemahaman
yang sama perihal air mustakmal. Hanya saja Mazhab Maliki memiliki penilaian
berbeda dari mazhab lainnya. Mereka menilai air mustakmal sebagai zat yang suci
dan menyucikan sehingga tetap dapat digunakan untuk kedua kalinya dan kali
berikutnya.
وَحُكْمُهُ
عِنْدَهُمْ أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ لَكِنْ يُكْرَهُ اسْتِعْمَالُهُ فِي رَفْعِ
حَدَثٍ أَوِ اغْتِسَالاَتٍ مَنْدُوبَةٍ مَعَ وُجُودِ غَيْرِهِ إِذَا كَانَ
يَسِيرًا
Artinya, “Hukum air mustakmal bagi mereka
(kalangan Maliki) adalah suci dan menyucikan, tetapi makruh digunakan untuk
penghilangan hadats atau pembasuhan sunah meski ada air lainnya bila air itu
sedikit,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul
Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H], cetakan
pertama, juz XXXIX, halaman 360).
Imam Syafi’i dalam qaul qadimnya memiliki
pandangan serupa dengan pandangan Mazhab Maliki, yakni kebolehan untuk
menggunakan air mustakmal. Sedangkan pada qaul jadidnya, Imam Syafi’i menilai
air mustakmal sebagai air suci dan tidak menyucikan sehingga air mustakmal
tidak dapat digunakan untuk bersuci untuk kali kedua dan kali berikutnya.
وَلأِنَّ
السَّلَفَ الصَّالِحَ - مَعَ قِلَّةِ مِيَاهِهِمْ - لَمْ يَجْمَعُوا الْمَاءَ
الْمُسْتَعْمَل لِلاِسْتِعْمَال ثَانِيًا بَل انْتَقَلُوا إِلَى التَّيَمُّمِ ،
كَمَا لَمْ يَجْمَعُوهُ لِلشُّرْبِ لأَِنَّهُ مُسْتَقْذَرٌ
Artinya, “Ulama terdahulu di tengah keterbatasan
air tidak menampung air mustakmal untuk penggunaan kedua kalinya. Mereka justru
berpaling pada tayamum sebagaimana mereka juga tidak menampungnya untuk diminum
karena air mustakmal terbilang kotor,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul
Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997
M/1418 H], cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 361).
Adapun pandangan Mazhab Hanbali perihal air
mustakmal secara umum serupa dengan pandangan mazhab lainnya, yaitu air yang
telah digunakan untuk mengangkat hadats atau menghilangkan najis .
قَال
الْحَنَابِلَةُ : الْمَاءُ الَّذِي اسْتُعْمِل فِي رَفْعِ حَدَثٍ أَوْ إِزَالَةِ
نَجَسٍ وَلَمْ يَتَغَيَّرْ أَحَدُ أَوْصَافِهِ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ لاَ
يَرْفَعُ حَدَثًا وَلاَ يُزِيل نَجِسًا وَهَذَا هُوَ ظَاهِرُ الْمَذْهَبِ
عِنْدَهُمْ. وَعِنْدَ أَحْمَدَ رِوَايَةٌ أُخْرَى أَنَّهُ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ
Artinya, “Ulama Mazhab Hanbali berpendapat
bahwa air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats atau najis–salah satu
sifatnya tidak berubah–maka ia terbilang suci tetapi tidak menyucikan, yakni
tidak lagi dapat menghilangkan hadats dan najis. Ini pandangan utama mazhab
mereka. Tetapi ada riwayat lain mengatakan bahwa Imam Ahmad menyatakan air
mustakmal suci dan menyucikan,” (Lihat Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah,
Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Shafwah: 1997 M/1418 H],
cetakan pertama, juz XXXIX, halaman 362).
Bagi Mazhab Hanbali, status air mustakmal
adalah suci dan tidak menyucikan sehingga air ini tidak dapat digunakan untuk
kedua kalinya.
وحكم
المستعمل: أنه لا يرفع الحدث ولا يزيل الخبث، كالشافعية
Artinya, “Hukum (air) mustakmal (bagi Mazhab
Hanbali) tidak dapat mengangkat hadats dan menghilangkan najis sebagaimana
pandangan Mazhab Syafi‘i,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz I, halaman
125).
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar