Senin, 28 Januari 2019

Azyumardi: Islamisitas, Parameter Ekonomi


Islamisitas: Parameter Ekonomi
Oleh: Azyumardi Azra

Kegagalan atau sedikitnya ketidaktepatan dalam mengukur berbagai hal yang berhubungan dengan apa yang disebut Rehman dan Askari (2010) sebagai ‘Islamic’ (Islami) yang dapat menggambarkan tingkat ‘Islamisitas’ berkaitan arah penelitian yang mereka lakukan. Pada kenyataannya, kedua peneliti ini awalnya hanya berusaha mengungkapkan dampak atau pengaruh agama dan religiositas terhadap kehidupan ekonomi, pembangunan ekonomi, keuangan, politik, dan pandangan sosial warga apa pun agamanya di negara-negara tertentu dengan mempertimbangkan demografi keagamaan.

Karena itu, tujuan penelitian tentang tingkat Islamisitas menurut Rehman dan Askari adalah dua: Pertama, "untuk menguji apa yang kami pandang sebagai ajaran-ajaran penting Islam yang mesti membentuk kebijakan-kebijakan sebuah negara yang dilabeli sebagai ‘Islamic”.
Kedua, “untuk mengukur tingkat kepenganutan kepada ajaran dan doktrin agama di negara-negara yang kami label sebagai Islami, dengan mengembangkan indeks yang mengukur tingkat ‘Islamisitas’ negara-negara berdasarkan ajaran Islam”.

Meski demikian, secara kontradiktif keduanya tidak menguji tingkat Islamisitas hanya pada negara-negara Islam atau bermayoritas penduduk Muslim, tetapi juga mencakup negara mayoritas non-Muslim tempat kaum Muslim hanya menjadi kelompok minoritas. Hal pokok yang dilihat bukan keimanan dan pengamalan Islam as such, melainkan sejauh mana negara tertentu kondusif dalam prinsip-prinsip Islam.

Penting ditekankan, dalam mengukur Islamisitas ekonomi perlu dilihat empat hal: Pertama, pasar bebas dan kinerja ekonomi yang kuat; kedua, good government governance dan rule of law; ketiga, aktualisasi kesetaraan dan HAM secara mapan; dan keempat, hubungan baik dengan negara-negara lain dan kontribusi kepada masyarakat internasional.

Dilihat dari keempat perspektif ini, bisa segera dibayangkan jika negara Islam atau mayoritas Muslim umumnya lemah dalam keempat hal tersebut. Dan sebaliknya, negara-negara mayoritas non-Muslim memiliki skor tertinggi dan tinggi. Tidak ada penjelasan substantif lain yang diberikan Rehman dan Askari tentang distorsi dan inakurasi yang mereka buat.

Kenyataan bahwa umumnya negara-negara Islam atau mayoritas Muslim ‘terpuruk’ dalam hal apa yang disebut Rehman dan Askari sebagai tingkat ‘Islamisitas’, hemat saya berakar pada dan terkait dengan banyak faktor yang sama sekali tidak disinggung keduanya. Faktor-faktor ini semestinya dipertimbangkan dalam menentukan Islamisitas negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim.

Dalam pandangan saya, sejauh menyangkut keempat faktor tadi, sedikitnya terdapat empat faktor yang membuat negara-negara Islam dan mayoritas Muslim gagal mencapai skor yang tinggi.

Pertama, faktor sejarah, yaitu banyak kawasan Dunia Muslim mengalami penjajahan Eropa dalam waktu relatif lama yang mengakibatkan terjadinya retardasi dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan masyarakat Muslim. Akibatnya, meski kemudian negara-negara Islam dan mayoritas Muslim mencapai kemerdekaan pasca-Perang Dunia II, mereka umumnya hingga sekarang tetap berada dalam retardasi dan keterbelakangan.

Kedua, faktor struktural, terkait dengan penjajahan Eropa, yang mengakibatkan terciptanya ketimpangan, disparitas, dan gap dalam berbagai bidang kehidupan tadi. Ketika banyak kawasan Dunia Muslim mencapai kemerdekaan seusai Perang Dunia II, ketimpangan-ketimpangan struktural itu karena berbagai faktor juga terus bertahan sampai sekarang.

Ketiga, faktor politik bahwa sampai sekarang ini, banyak negara Islam dan mayoritas Muslim masih menganut otoritarianisme dan totalitarianisme. Sebagian lain memang sudah menjadi demokrasi atau tengah dalam transisi menuju demokrasi. Tetapi juga, segera jelas, kelompok negara-negara terakhir ini yang masih jauh dari stabil itu mampu memperbaiki keadaan ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.

Keempat, lemahnya penegakan hukum. Terkait dengan faktor ketiga di atas, banyak negara Islam dan mayoritas Muslim bukan hanya belum mampu menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, melainkan juga sangat lemah atau tidak berdaya sama sekali menegakkan hukum dan ketertiban.

Tak kurang penting, beberapa negara Islam semacam Yaman, Afghanistan, Irak, Suriah, atau Somalia sudah dapat dikatakan merupakan negara gagal karena tidak mampu menegakkan hukum, menciptakan ketertiban, dan melindungi warga dari beragam bentuk tindak kekerasan di antara berbagai kelompok warganya sendiri. []

REPUBLIKA, 24 Januari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar