Senin, 28 Januari 2019

(Ngaji of the Day) Sejarah Derivatisasi Usaha dalam Sistem Perbankan Syariah


Sejarah Derivatisasi Usaha dalam Sistem Perbankan Syariah

Pada tulisan yang lalu sudah disampaikan munculnya sejarah aqad wadi’ah yadu al-dlammanah ‘ala muthlaqati al-tasharruf yang merupakan modifikasi dari dalil asal aqad wadi’ah itu sendiri yang selanjutnya disebut wadi’ah yadu al-amaanah dalam dunia perbankan syariah. Pada tulisan kali ini penulis mengajak semua untuk mengkaji tentang sejarah bonus sebagai turunan dari bunga.

Sejarah yang kedua dari dunia perbankan setelah badan itu terbentuk lama, adalah bank berfungsi sebagai sarana menggalang dana masyarakat. Sejarah Inggris (1690) mencatat bahwa suatu ketika pemerintahan Inggris ingin memperkuat kembali armada lautnya agar mampu bersaing dengan armada laut Perancis. Namun, pemerielantah saat itu tidak memiliki keuangan sehingga membutuhkan peran serta sebuah lembaga yang mampu menggalang dana untuk mewujudkan hajat tersebut. Akhirnya dibentuklah sebuah lembaga intermediasi keuangan yang berbasis firma yang masih di bawah bank saat itu, dengan peran penggalangan dana. Terbukti dalam waktu 12 hari, ternyata firma tersebut berhasil mewujudkan dana yang dibutuhkan. Ini merupakan sejarah funding (pendanaan) pertama dalam dunia perbankan dalam bentuk investasi. Akhirnya saat itu, peran bank ditambah, yaitu selain sebagai money changer, ia berperan juga dalam aktifitas funding dan investasi atau penanaman modal.

Sejarah kedua ini setidaknya menjadi catatan bahwa bank selain fungsinya sebagai money changer, ia mencatatkan diri juga sebagai lembaga sarana penggalangan dana masyarakat dan investasi usaha. Penggalangan dana saat itu berasal dari dana titipan masyarakat dalam bentuk tabungan yang siap ditukar nominalnya. Akar sejarah ini setidaknya bisa menjadi alasan mengapa perbankan syariah juga turut melakukan pengelolaan terhadap dana tabungan non-investasi yang dititipkan oleh masyarakat ke bank. Dengan demikian, definisi dari tabungan al-wadi’ah yadu al-dlammanah dalam perbankan syariah memiliki dasar akar sejarah perkembangan dari yang semula titipan yang bisa ditukar dan dijamin nominalnya menjadi titipan yang bisa ditukar dan dijamin nominal serta keamanannya di bawah pengelolaan perbankan, sehingga aqad menjadi al-wadi’ah yadu al-dlammanah ‘ala muthlaqi al-tsahharruf.

Adanya pertukaran mensyaratkan pihak bank melakukan hubungan antar bank lainnya. Dengan demikian, idzin kebolehan uang ditukar sebagai resiko penggunaan jasa bank adalah mensyaratkan idzin juga bolehnya bank melakukan pertukaran itu dengan bank lainnya. Makna dari pertukaran ini secara tidak langsung adalah meliputi makna tasharruf (pengelolaan). Karena tidak mungkin adanya pertukaran dalam tubuh bank tanpa adanya tasharruf. Dari hasil tasharruf ini bank membiayai perjalanan administrasi dan operasionalnya. Bila ranah tasharruf adalah meliputi sebuah kegiatan usaha, maka pihak bank yang mendapat keuntungan bisnis dari hasil menggunakan wadi’ah yadu al-dlamanah ‘ala sabili muthlaqati al tsaharruf, dibenarkan bila memberikan bonus (عطايا) kepada nasabah yang sudah mempercayakan keuangannya. Dalam perbankan konvensional, konsep bonus ini dikemas dalam format bunga tabungan yang selanjutnya dipandang sebagai riba. 

Sejatinya masalah riba atau bukan--pada konsep fiqih--adalah karena terletak pada adanya persyaratan di muka. Andaikan bank konvensional tidak menentukan pensyaratan bonus ini di muka, maka bonus tersebut tidak dipandang sebagai riba. Dan konsep menentukan di belakang ini diadopsi oleh lembaga perbankan syariah. Teks sharih (tersurat) dalil memang jelas menyebutkan demikian, bahwa semua bentuk kembalian utang (yang disyaratkan di muka) yang memberi manfaat kepada pihak yang memberi utang adalah riba dan hukumnya haram (Lihat Ibnu Qudamah, al-Mughny, Daru al-Fikr: 6/43!). Sementara konsep Islam memandang dari sisi ‘urfy dan adab, bahwa: sebaik-baik orang adalah orang yang paling baik dalam membayar utang. Nabiullah Muhammad SAW bersabda:

اعطوه فإن من خيار الناس أحسنهم قضاء

Artinya: “Berikanlah, karena sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar utangnya.” HR. Bukhary (Abdu al-Qadir Syaibatu al-Hamd, Al-Fiqhu al-Islam Syarhu Bulughi al-Maram, Mathabi’u al-Rasyid: 5/175)

Pengertian “paling baik dalam membayar utang” pada potongan hadits di atas, memang menyangkut beberapa hal, yakni: (1) tidak menunda-nunda pembayaran, (2) tepat waktu sesuai yang dijanjikan, dan (3) bisa karena memberikan bisyarah kepada pihak yang memberi utang, yaitu sebuah ungkapan kebahagiaan dan balas jasa (pemberian) atas utang yang pernah diberikan. Untuk pandangan yang ketiga ini, merupakan pandangan yang pernah diperselisihkan oleh kalangan ulama pada waktu itu dalam beberapa forum kajian, karena memandang persentase bunga yang terbilang kecil. Dari hasil perdebatan itu akhirnya ditarik sebuah kesimpulan bahwa bisyarah yang disyaratkan di muka, maka hukumnya adalah haram karena memahami makna dhahir hadits dan kebiasaan rentenir saat itu. Sementara bisyarah yang tidak disyaratkan di muka, hukumnya masih dipandang boleh. Imam al-Qasthalany memberikan penjelasan terhadap hadits di atas sebagai berikut:

وهذا من مكارم أخلاقه وليس هو من قرض جرى منفعة إلى المقرض المنهي عنه ما كان مشروطا في القرض كشرط رد صحيح عن مكسر أو رده بزيادة في القدر أو الصفة 

Artinya: “Ini adalah bagian dari akhlaq yang baik dan tidak termasuk bagian dari utang yang mengambil manfaat kepada orang yang berutang – sebagaimana hal ini dilarang selagi disyaratkan di muka kala berutang, misalnya disyaratkan mengembalikan berupa barang yang utuh atas utang berupa barang pecah, atau disyaratkan mengembalikan dengan takaran lebih dan/atau sifat yang lebih baik.” (Lihat Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al Khathib al Qasthalany, Irsyadu al-Sary li Syarhi Shahih al-Bukhary wa bi-Hamisyihi Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawy, Al-Mathba’atu al-Amiriyah, 1323 H: 4/218!).

Kesimpulan dari teks di atas adalah memberikan hadiyah/bonus/‘athaya kepada pihak yang diutangi adalah boleh, selagi tidak ditetapkan kadarnya. Masalahnya kemudian, bagaimana jika pihak bank menetapkannya dalam aturan internal, sementara hal itu tidak disampaikan kepada pihak nasabah? Apakah hal ini sudah cukup untuk tidak disebut sebagai riba? Padahal jika kita mengacu pada catatan buku tabungan yang dibawa nasabah, di sana selalu tertulis berupa bentuk pengembalian setiap bulannya yang diberikan oleh perbankan syariah kepada nasabahnya. Mungkin ada satu pihak yang menjawab bahwa karena kembalian itu tidak disampaikan ke nasabah di awal, maka bukan termasuk riba. Pihak lain juga pasti akan menjawab, meski tidak diberitahu, tapi catatan tabungan itu sendiri yang memberi tahu bahwa ada kembalian dengan persentase bulanan yang jumlahnya tetap dari pihak perbankan syari’ah per saldo tabungan nasabah di bank. 

Dilematika ini melahirkan sebuah keputusan hukum bahwa selagi pihak nasabah “tidak berorientasi pada bonusnya”melainkan “keamanan dananya,” maka menabung di bank syariah dengan aqad wadi’ah yadu al-dlamanah ‘ala muthlaqati al-tasharruf adalah boleh. Inilah yang selanjutnya dianggap sebagai wujud dari derivatisasi aqad pada bank syariah tersebut. Derivatisasi akad yang lain, akan disajikan pada pembahasan-pembahasan selanjutnya. Insyaallah! 

Wallahu a’lam bish shawab

[]

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar