Sejarah Derivatisasi Usaha
dalam Sistem Perbankan Syariah
Pada tulisan yang lalu sudah disampaikan
munculnya sejarah aqad wadi’ah yadu al-dlammanah ‘ala muthlaqati al-tasharruf
yang merupakan modifikasi dari dalil asal aqad wadi’ah itu sendiri yang
selanjutnya disebut wadi’ah yadu al-amaanah dalam dunia perbankan syariah. Pada
tulisan kali ini penulis mengajak semua untuk mengkaji tentang sejarah bonus
sebagai turunan dari bunga.
Sejarah yang kedua dari dunia perbankan
setelah badan itu terbentuk lama, adalah bank berfungsi sebagai sarana
menggalang dana masyarakat. Sejarah Inggris (1690) mencatat bahwa suatu ketika
pemerintahan Inggris ingin memperkuat kembali armada lautnya agar mampu
bersaing dengan armada laut Perancis. Namun, pemerielantah saat itu tidak
memiliki keuangan sehingga membutuhkan peran serta sebuah lembaga yang mampu menggalang
dana untuk mewujudkan hajat tersebut. Akhirnya dibentuklah sebuah lembaga
intermediasi keuangan yang berbasis firma yang masih di bawah bank saat itu,
dengan peran penggalangan dana. Terbukti dalam waktu 12 hari, ternyata firma
tersebut berhasil mewujudkan dana yang dibutuhkan. Ini merupakan sejarah
funding (pendanaan) pertama dalam dunia perbankan dalam bentuk investasi.
Akhirnya saat itu, peran bank ditambah, yaitu selain sebagai money changer, ia
berperan juga dalam aktifitas funding dan investasi atau penanaman modal.
Sejarah kedua ini setidaknya menjadi catatan
bahwa bank selain fungsinya sebagai money changer, ia mencatatkan diri juga
sebagai lembaga sarana penggalangan dana masyarakat dan investasi usaha.
Penggalangan dana saat itu berasal dari dana titipan masyarakat dalam bentuk
tabungan yang siap ditukar nominalnya. Akar sejarah ini setidaknya bisa menjadi
alasan mengapa perbankan syariah juga turut melakukan pengelolaan terhadap dana
tabungan non-investasi yang dititipkan oleh masyarakat ke bank. Dengan
demikian, definisi dari tabungan al-wadi’ah yadu al-dlammanah dalam perbankan
syariah memiliki dasar akar sejarah perkembangan dari yang semula titipan yang
bisa ditukar dan dijamin nominalnya menjadi titipan yang bisa ditukar dan dijamin
nominal serta keamanannya di bawah pengelolaan perbankan, sehingga aqad menjadi
al-wadi’ah yadu al-dlammanah ‘ala muthlaqi al-tsahharruf.
Adanya pertukaran mensyaratkan pihak bank
melakukan hubungan antar bank lainnya. Dengan demikian, idzin kebolehan uang
ditukar sebagai resiko penggunaan jasa bank adalah mensyaratkan idzin juga
bolehnya bank melakukan pertukaran itu dengan bank lainnya. Makna dari
pertukaran ini secara tidak langsung adalah meliputi makna tasharruf
(pengelolaan). Karena tidak mungkin adanya pertukaran dalam tubuh bank tanpa
adanya tasharruf. Dari hasil tasharruf ini bank membiayai perjalanan
administrasi dan operasionalnya. Bila ranah tasharruf adalah meliputi sebuah
kegiatan usaha, maka pihak bank yang mendapat keuntungan bisnis dari hasil
menggunakan wadi’ah yadu al-dlamanah ‘ala sabili muthlaqati al tsaharruf,
dibenarkan bila memberikan bonus (عطايا) kepada nasabah yang sudah mempercayakan
keuangannya. Dalam perbankan konvensional, konsep bonus ini dikemas dalam
format bunga tabungan yang selanjutnya dipandang sebagai riba.
Sejatinya masalah riba atau bukan--pada
konsep fiqih--adalah karena terletak pada adanya persyaratan di muka. Andaikan
bank konvensional tidak menentukan pensyaratan bonus ini di muka, maka bonus
tersebut tidak dipandang sebagai riba. Dan konsep menentukan di belakang ini
diadopsi oleh lembaga perbankan syariah. Teks sharih (tersurat) dalil memang
jelas menyebutkan demikian, bahwa semua bentuk kembalian utang (yang
disyaratkan di muka) yang memberi manfaat kepada pihak yang memberi utang
adalah riba dan hukumnya haram (Lihat Ibnu Qudamah, al-Mughny, Daru al-Fikr:
6/43!). Sementara konsep Islam memandang dari sisi ‘urfy dan adab, bahwa:
sebaik-baik orang adalah orang yang paling baik dalam membayar utang. Nabiullah
Muhammad SAW bersabda:
اعطوه
فإن من خيار الناس أحسنهم قضاء
Artinya: “Berikanlah, karena sesungguhnya
sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar utangnya.” HR.
Bukhary (Abdu al-Qadir Syaibatu al-Hamd, Al-Fiqhu al-Islam Syarhu Bulughi
al-Maram, Mathabi’u al-Rasyid: 5/175)
Pengertian “paling baik dalam membayar utang”
pada potongan hadits di atas, memang menyangkut beberapa hal, yakni: (1) tidak
menunda-nunda pembayaran, (2) tepat waktu sesuai yang dijanjikan, dan (3) bisa
karena memberikan bisyarah kepada pihak yang memberi utang, yaitu sebuah
ungkapan kebahagiaan dan balas jasa (pemberian) atas utang yang pernah
diberikan. Untuk pandangan yang ketiga ini, merupakan pandangan yang pernah
diperselisihkan oleh kalangan ulama pada waktu itu dalam beberapa forum kajian,
karena memandang persentase bunga yang terbilang kecil. Dari hasil perdebatan
itu akhirnya ditarik sebuah kesimpulan bahwa bisyarah yang disyaratkan di
muka, maka hukumnya adalah haram karena memahami makna dhahir hadits dan
kebiasaan rentenir saat itu. Sementara bisyarah yang tidak disyaratkan di muka,
hukumnya masih dipandang boleh. Imam al-Qasthalany memberikan penjelasan
terhadap hadits di atas sebagai berikut:
وهذا
من مكارم أخلاقه وليس هو من قرض جرى منفعة إلى المقرض المنهي عنه ما كان مشروطا في
القرض كشرط رد صحيح عن مكسر أو رده بزيادة في القدر أو الصفة
Artinya: “Ini adalah bagian dari akhlaq yang
baik dan tidak termasuk bagian dari utang yang mengambil manfaat kepada orang
yang berutang – sebagaimana hal ini dilarang selagi disyaratkan di muka kala
berutang, misalnya disyaratkan mengembalikan berupa barang yang utuh atas utang
berupa barang pecah, atau disyaratkan mengembalikan dengan takaran lebih
dan/atau sifat yang lebih baik.” (Lihat Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al
Khathib al Qasthalany, Irsyadu al-Sary li Syarhi Shahih al-Bukhary wa
bi-Hamisyihi Shahih Muslim bi Syarhi al-Nawawy, Al-Mathba’atu al-Amiriyah, 1323
H: 4/218!).
Kesimpulan dari teks di atas adalah
memberikan hadiyah/bonus/‘athaya kepada pihak yang diutangi adalah boleh,
selagi tidak ditetapkan kadarnya. Masalahnya kemudian, bagaimana jika pihak
bank menetapkannya dalam aturan internal, sementara hal itu tidak disampaikan
kepada pihak nasabah? Apakah hal ini sudah cukup untuk tidak disebut sebagai
riba? Padahal jika kita mengacu pada catatan buku tabungan yang dibawa nasabah,
di sana selalu tertulis berupa bentuk pengembalian setiap bulannya yang diberikan
oleh perbankan syariah kepada nasabahnya. Mungkin ada satu pihak yang menjawab
bahwa karena kembalian itu tidak disampaikan ke nasabah di awal, maka bukan
termasuk riba. Pihak lain juga pasti akan menjawab, meski tidak diberitahu,
tapi catatan tabungan itu sendiri yang memberi tahu bahwa ada kembalian dengan
persentase bulanan yang jumlahnya tetap dari pihak perbankan syari’ah per saldo
tabungan nasabah di bank.
Dilematika ini melahirkan sebuah keputusan
hukum bahwa selagi pihak nasabah “tidak berorientasi pada bonusnya”melainkan
“keamanan dananya,” maka menabung di bank syariah dengan aqad wadi’ah yadu
al-dlamanah ‘ala muthlaqati al-tasharruf adalah boleh. Inilah yang selanjutnya
dianggap sebagai wujud dari derivatisasi aqad pada bank syariah tersebut.
Derivatisasi akad yang lain, akan disajikan pada pembahasan-pembahasan
selanjutnya. Insyaallah!
Wallahu a’lam bish shawab
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar