Hukum Mempelajari Kitab
Wafaq
Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online. Perkenalkan
nama saya Ngainul Ngizi berasal dari Lampung. Saya pernah mendengar
larangan-larangan mempelajari kitab al-Aufâq seperti yang pernah saya dengar
dari ustadz ahli ruqyah di salah satu stasiun televisi swasta.
Bagaimanakah pandangan dari para ulama? Terima kasih. Wassalamu 'alakum wr. wb.
Ngainul Ngizi – Lampung
Jawaban:
Assalamu ’alaikum wr.wb.
Penanya yang budiman, Saudara Ngainul Ngizi,
semoga diberikan pemahaman agama yang baik. Mempelajari Kitab Al-Aufâq (wafaq)
dan/atau menggunakannya untuk tujuan yang dibolehkan (mubah) hukumnya boleh,
tidak ada larangan syar'i.
Ilmu ini bermanfaat untuk mencapai berbagai
hajat, melepaskan tawanan, mempermudah persalinan, dan maksud-maksud yang lain.
Tetapi, mempelajari ilmu wafaq untuk tujuan yang dilarang, maka tidak boleh.
Dalam hal tujuan yang haram, maka merupakan ilmu sihir, tidak boleh dipelajari.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami (909-974 H), mufti
Syafii berkebangsaan Mesir, menjelaskan masalah ini dalam kitab fatwa-fatwanya,
Al-Fatâwî Al-Hadîtsiyyah:
وَسُئِلَ) فَسَحَ
اللّٰهُ فِيْ مُدَّتِهِ، مَا حَكْمُ الْأَوْفَاقِ؟ (فَأَجَابَ) نَفَعَ
اللّٰهُ بِعُلُوْمِهِ بِأَنَّ عِلْمَ الْأَوْفَاقِ يَرْجِعُ إِلَى مُنَاسَبَاتِ
الْأَعْدَادِ وَجَعْلِهَا عَلَى شَكْلٍ مَخْصُوْصٍ، وَهَذَا كَأَنْ يَكُوْنَ
بِشَكْلٍ مِنْ تِسْعِ بُيُوْتٍ مَبْلَغُ الْعَدَدِ مِنْ كُلِّ جِهَةٍ خَمْسَةُ
عَشَرَ، وَهُوَ يَنْفَعُ لِلْحَوَائِجِ وَإِخْرَاجِ الْمَسْجُوْنِ وَوَضْعِ
الْجَنِيْنَ وَكُلِّ مَا هُوَ فِيْ هَذَا الْمَعْنَى... وَكَانَ الْغَزَالِيُّ
رَحِمَهُ اللّٰهُ يُعِثُّنِيْ بِهِ كَثِيْرًا حَتَّى نُسِبَ إِلَيْهِ، وَلَا
مَحْذُوْرَ فِيْهِ إِنِ اسْتُعْمِلَ لِمُبَاحٍ، بِخِلَافِ مَا إِذَا اسْتُعِيْنَ
بِهِ عَلَى حَرَامٍ، وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ جَعْلُ الْقَرَافِيُّ الْأَوْفَاقَ مِنِ
السِّحْرِ (فَتَاوِي الْحَدِيْثِيَّةِ لِابْنِ حَجَرٍ اَلْهَيْتَمِيِّ، ص 4
Artinya, (Ia ditanya)–Semoga Allah
melapangkan kehidupannya–. Apakah hukum wafaq? (Ia menjawab)–Semoga Allah
memberikan manfaat ilmu-ilmunya–. Ilmu wafaq itu mendasarkan kepada persesuaian
bilangan-bilangan dan dibuat dalam bentuk yang khusus. Ini misalnya berupa bentuk
sembilan kotak, yang jumlahnya dari setiap sudutnya berjumlah lima belas. Ilmu
wafaq ini bermanfaat untuk tercapainya berbagai hajat, melepaskan dari tawanan
(penjara) dan mempermudah proses melahirkan anak, dan maksud-maksud yang
serupa....
Imam Al-Ghazali (w. 505 H) sering mendorong
saya menggunakan ilmu wafaq sehingga ilmu wafaq dinisbatkan (dihubungkan)
kepadanya. Ilmu wafaq tidak dilarang bila digunakan untuk sesuatu yang boleh,
berbeda bila dipergunakan untuk sesuatu yang haram. Dalam hal ini, Al-Qarafî
memaknai wafaq yang digunakan untuk sesuatu yang haram sebagai ilmu sihir.
(Lihat Ibnu Hajar Al-Haitamî, Al-Fatâwî Al-Hadîtsiyyah, [Beirut, Dârul
Ma‘rifah: tanpa tahun] halaman 3).
Kitab wafaq merupakan satu di antara beberapa
media untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hakikat kitab wafaq
ini penting dipahami sebagaimana tampak dalam penjelasan imam besar dan ahli
hikmah, Abûl ‘Abbâs Ahmad ‘Ali Al-Bûnî (w. 622 H). Dalam mukaddimah kitab
masyhurnya, Syamsul Ma‘ârifil Kubrâ, ia mengatakan:
إِنَّ
الْمَقْصُوْدَ مِنْ فُصُوْلِ هَذَا الْكِتَابِ اَلْعِلْمُ بِشَرْفِ أَسْمَاءِ
اللهِ تَعَالَى وَمَا أَوْدَعَ اللهُ تَعَالَى فِيْ بَحْرِهَا مِنْ أَنْوَاعِ
الْجَوَاهِرِ الْحِكْمِيَّاتِ وَلَطَائِفِ الْإِلَهِيَّةِ وَكَيْفِ التَّصَرُّفِ
بِأَسْمَاءِ الدَّعَوَاتِ وَمَا تَابِعِهَا مِنْ حُرُوْفِ السُّوَرِ وَالْأٰيَاتِ،
وَجَعَلْتُ هٰذَا الْكِتَابَ فُصُوْلًا لِيَدُلُّ كُلُّ فَصْلٍ عَلَى مَا
اخْتَارَهُ وَأَحْصَاهُ مِنْ عُلُوْمٍ دَقِيْقَةٍ يُتَوَصَّلُ بِهَا لِلْحَضْرَةِ
الرَّبَّانِيَّةِ مِنْ غَيْرِ تَعَبٍ وَلَا إِدْرَاكِ مَشَقَّةٍ وَمَا يُتَوَصَّلُ
بِهَا إِلَى رَغَائِبِ الدُّنْيَا وَمَا يَرْغَبُ فِيْهِا.... ( شَمْسُ
الْمَعَارِفِ الْكُبْرَى لِلْإِمَامِ عَلِيْ اَلْبُوْنِي، ص 3
Artinya, “Bahwa tujuan dari penulisan kitab
ini adalah untuk mengetahui kemuliaan asma (nama-nama) Allah SWT dan segala
yang Allah SWT simpan dalam samudera asma-Nya: beragam permata kebijaksanaan,
isyarat atau rahasia ketuhanan (al-lathâ’iful Ilahiyyah), dan tata cara
mengamalkan asma untuk doa-doa, serta segala yang mengikuti asma-asma tersebut
berupa huruf-huruf surat dan ayat-ayat... mencakup ilmu-ilmu yang mendalam yang
dipergunakan untuk bersimpuh ke hadapan Tuhan tanpa susah payah dan tanpa
kesukaran, juga mencakup ilmu-ilmu yang dipergunakan untuk mencapai kesenangan
dan kemewahan dunia.
Oleh karena itu, saya namakan kitab yang
merupakan ilmu yang sangat berharga ini dengan nama Syamsul Ma‘ârif
wa-Lathâ’iful ‘Awarif, karena mengandung lathâ’ifut tashrîfât wa‘awârifut
ta’tsîrât (Berbagai kelembutan instruksional dan kemakrufan yang berdampak
positif)... Ia merupakan kitabnya para wali, orang-orang saleh, orang-orang
taat, para murid (para penapak jalan kebajikan), orang-orang yang mengamalkan
ilmu dan cinta kebaikan (al-‘âmilîn ar-râghibîn). Maka pegang teguhlah kitab
itu...” (Lihat ‘Alî Al-Bûnî, Syamsul Ma‘ârifil Kubrâ, [Beirut, Al-Maktabah
Asy-Sya‘biyyah: 1985], halaman 3).
Demikian penjelasan ini semoga dapat dipahami
dengan baik. Kami terbuka dalam menerima masukan dari pembaca yang budiman.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr.wb.
Ahmad Ali MD
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar