Jumat, 18 Januari 2019

Zuhairi: Manuver "Solusi Satu Negara" Israel


Manuver "Solusi Satu Negara" Israel
Oleh: Zuhairi Misrawi

Sejauh ini harus diakui, Israel selalu memenangkan pertarungan dan konflik yang menyejarah di kawasan Palestina. Setelah tahun 1948 berhasil mendirikan negara Israel di tanah Palestina, hingga saat ini Israel selalu memenangkan segala persengketaan dan konflik. Bahkan, sejarah sama sekali tidak berpihak pada Palestina yang hingga sekarang ini belum merasakan kemerdekaan.

Alih-alih ingin merasakan nikmatnya anugerah kemerdekaan, Palestina justru harus menghadapi masa depan yang sama sekali tidak menguntungkan mereka. Sebab, narasi yang sedang mengerucut dibangun oleh Israel yang didukung sepenuhnya oleh Amerika Serikat (AS) adalah solusi satu negara (one state solution).

Palestina harus menghadapi tembok dan tantangan yang tidak mudah pada masa mendatang. Ambisi Israel mewujudkan solusi satu negara merupakan mimpi mereka. Benjamin Netanyahu dalam kampanye Pemilu 2014 lalu sudah menegaskan bahwa ia berjanji tidak akan memperbolehkan berdirinya negara Palestina. Ia terpilih sebagai Perdana Menteri, dan skenario tersebut berjalan dengan efektif.

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS semakin memantapkan ambisi solusi satu negara Israel. Tidak seperti Presiden Barack Obama, Trump cenderung mengamini seluruh garis kebijakan Israel. Langkah Trump memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem merupakan lonceng kematian solusi dua negara (two-state solution).

Bahkan kalau mau jujur, saat ini hanya ada satu negara yang konsisten menegaskan komitmen solusi dua negara, yaitu Indonesia. Presiden Jokowi sangat konsisten dan kokoh menjelaskan di forum-forum internasional, seperti di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerja Sama Negara-Negara Islam.

Namun, kalau melihat fakta dan realitas politik yang menggelinding di lapangan, justru sejumlah negara mengamini kebijakan yang diambil oleh Trump. Padahal kebijakan tersebut juga ditentang oleh sebagian besar anggota PBB dalam sebuah voting. Satu per satu beberapa negara telah memindahkan kantor kedutaannnya dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Maka dari itu, langkah yang diambil oleh Trump dengan memenangkan dan meloloskan ambisi Israel yang ingin menguasai penuh Jerusalem dengan cara menjadikan kota suci itu sebagai ibu kota Israel. Sebab, pada umumnya kantor kedutaan besar ada di ibu kota. Israel mengambil langkah berani dengan cara menjadikan Jerusalem secara simbolik sebagai ibu kota Israel. Meskipun selama ini kantor pemerintahan dan parlemen Israel berada di Jerusalem, tetapi langkah simbolik memindahkan kantor kedutaan dari Tel Aviv ke Jerusalem mempunyai makna politik yang sangat terang benderang.

Dalam situasi seperti ini, tidak mudah bagi Palestina untuk melakukan manuver yang sangat berarti dalam rangka mengembalikan isu solusi dua negara. Di tengah polarisasi dan peta geopolitik kawasan yang sangat runyam seperti sekarang ini, maka momentum sangat tidak menguntungkan Palestina. Bahkan jika tidak ada dukungan yang menguat dari negara-negara Eropa perihal solusi dua negara, maka solusi satu negara terus menguat. Pada akhirnya, kemerdekaan Palestina hanya akan menjadi mimpi bagi rakyat Palestina dan negara-negara Asia-Afrika yang sejak tahun 50-an sudah beriktikad untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina.

Meskipun, bagi Israel juga bukan persoalan mudah. Sebab narasi satu negara yang sedang diusung oleh Israel bersama-sama dengan AS akan menimbulkan polemik yang tidak kalah menarik di masa mendatang. Pasalnya Israel baru saja mensahkan undang-undang yang sengaja merevisi konstitusi Israel.

Dalam konstitusi terbaru, Israel resmi menjadi "Negara Yahudi", yang sebenarnya banyak mendapatkan protes keras dari kelompok minoritas non-Yahudi. Selama ini Israel dikenal sebagai negara yang menjamin keragaman dan multikulturalisme, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, khususnya terhadap kelompok minoritas.

Namun, perubahan klausul dalam konstitusi, Israel menjadi "Negara Yahudi" telah dianggap oleh banyak pihak di dalam negeri Israel sendiri sebagai sebuah kemunduran bagi nilai-nilai universal yang dianut dalam demokrasi modern. Israel secara diam-diam hendak membangun "negara agama" yang dapat mengancam eksistensi agama-agama lain dan komunitas lainnya. Apalagi partai-partai kanan ekstrem Yahudi mulai mendikte pemerintahan Israel, sehingga Israel dikhawatirkan menjadi "negara apartheid" yang dapat menindas kelompok non-Yahudi.

Jadi, solusi satu negara masih akan menghadapi tantangan yang serius pada masa mendatang, karena di dalam negeri Israel masih terdapat pertentangan yang sangat serius perihal konstitusi baru yang disahkan mayoritas anggota parlemen Israel. Di dalamnya terdapat masalah yang sangat kompleks, karena Israel sudah masuk jebakan "nalar ekstremis" yang dapat mengancam keragaman agama dan kelompok yang selama ini sudah nyaman di bawah konstitusi yang menjamin hak asasi manusia dan multikulturalisme.

Dalam konteks itulah, Israel-Palestina ini sebenarnya sedang memasuki masalah yang sangat serius. Di satu sisi, Palestina harus mendapatkan haknya untuk merdeka sebagai negara yang berdaulat. Di sisi lain, Israel harus realistis terhadap aspirasi dunia yang menghendaki solusi dua negara sebagai prioritas dalam mengakhiri konflik dan perang yang menyejarah itu.

Pasalnya, masalah Palestina tidak hanya berdampak terhadap instabilitas politik di kawasan mereka, tetapi juga mempunyai dampak-dampak destruktif di dunia. Kelompok-kelompok teroris-ekstremis pada umumnya selalu mendapatkan "bensin" dari isu Palestina.

Solusi satu negara yang diambil Israel dan disokong sepenuhnya oleh AS akan menjadi bola liar pada masa mendatang. Solusi tersebut sangat tidak ideal, karena akan menimbulkan protes keras dari negara-negara Asia-Afrika yang sejak beberapa dekade sebelumnya telah melantangkan suara perihal kemerdekaan Palestina.

Maknanya, tidak ada pilihan lain bagi Israel dan AS kecuali secara lapang dada menerima kenyataan perihal Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, hidup berdampingan secara damai dengan Israel. Hanya itu satu-satunya jalan untuk mewujudkan perdamaian dunia. []

DETIK, 17 Januari 2019
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar