Ketika Mbah Kiai Abdul Mannan Temukan Berlian
di Jalan
Pada suatu hari Mbah Kiai Abdul Mannan, salah
seorang pendiri Pondok Pesantren Al-Muayyad mangkuyudan Surakarta, menemukan
sebuah berlian di jalan pada tahun 1960-an. Beliau tidak tahu berlian itu milik
siapa. Ukurannya cukup besar dan sudah pasti harganya sangat mahal. Kemudian
beliau membuat pengumuman barangsiapa kehilangan berlian dipersilakan datang ke
rumah Mbah Kiai Abdul Mannan.
Beberapa hari kemudian, datanglah seorang
juragan batik ke rumah Mbah Kiai Abdul Mannan di Mangkuyudan untuk memastikan
berlian tersebut miliknya atau bukan.
“Assaamualaikum, Mbah Kiai,” sapa sang
juragan mengawali pembicaraan.
”Wa’alaikumussalam,” jawab Mbah Kiai
Abdul Mannan singkat.
“Saya mendengar Mbah Yai menemukan sebuah
berlian,” kata sang juragan batik yang disertai istrinya.
“Ya betul. Kamu kehilangan?”
“Inggih Mbah, istri saya yang kehilangan
dalam perjalanan pulang dari acara resepesi pernikahan kerabat dekat,” kata
sang juragan batik.
“Benar Mbah, berlian saya hilang tiga hari
lalu,” sambung istri sang juragan.
Mbah Kiai Abdul Mannan kemudian meminta istri
juragan itu untuk bercerita tentang ciri-ciri berliannya yang telah hilang dan
di mana kira-kira tempat jatuhnya di jalan.
Istri juragan itu kemudian menceritakan
secara detail ciri-ciri berliannya dan di sepanjang jalan mana kira-kira tempat
jatuhnya. Mbah Kiai Abdul Mannan menyimak cerita itu dengan seksama sambil
mengingat-ingat ciri-ciri berlian yang ditemukannya. Tak lama setelah itu Mbah
Kiai Abdul Mannan beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil berlian yang
telah ditemukannya. Berlian itu dibungkusnya dalam sebuah kertas buku
tulis.
“Äpakah kamu membawa cincinnya?” Tanya Mbah
Kiai Abdul Mannan kepada istri juragan.
“Inggih Mbah, menika (iya Mbah ini),”
jawabnya sambil menunjukkan cincin yang dimaksud.
Mbah Kiai Abdul Mannan kemudian mencoba
memasang berlian itu ke cincin yang baru saja diterimnya dari istri juragan
batik.
“Pas dan cocok,” kata Mbah Kiai Abdul Mannan.
“Jadi ini berlianmu?”
“Leres Mbah (betul Mbah),” jawab istri
juragan batik.
Setelah Mbah Kiai Abdul Mannan yakin berlian
itu milik istri juragan batik, beliau kemudian menyerahkan berlian itu
kepadanya.
“Ini saya serahkan, terimalah.”
“Matur nuwun sanget Mbah (terima kasih
banyak Mbah),” kata sang juragan dan istrinya serempak.
Tak lama setelah itu, sang juragan batik
bertanya kepada Mbah Abdul Mannan. Inilah pertanyaannya:
“Mbah Kiai ingin meminta apa? Saya akan
penuhi sebagai rasa terima kasih kami kepada Mbah Kiai sekaligus rasa syukur
saya kepada Allah SWT.”
“Saya tidak meminta apa-apa,” jawab Mbah Kiai
Abdul Mannan pelan tapi tegas.
“Mbah, saya serius Mbah. Saya tidak bercanda.
Mbah Kiai ingin meminta apa?
“Saya tidak meminta apa-apa,” jawab Mbah Kiai
Abdul Mannan sekali lagi. Jawaban kali ini dengan nada lebih tinggi dari pada
jawaban pertama.
“Saestu Mbah, panjenengan ngersaaken
punapa? (benar Mbah, Anda meminta apa?),” kata sang juragan itu untuk
ketiga kalinya.
Mendengar hal itu, Mbah Kiai Abdul Mannan
bangkit dan berdiri tegak, lalu mengatakan:
“Apa kalian tidak paham dengan maksud saya,”
kata Mbah Kiai Abdul Mannan dengan nada tinggi. Ditinggalkannya pasutri itu di
ruamg tamu.
Tak lama setelah itu, datanglah istri Mbah
Kiai Abdul Mannan menemui pasutri itu untuk menyampaikan pesan dari Mbah Kiai
Abdul Mannan. Intinya, pasutri itu diminta segera pulang. Mbah Kiai Abdul
Mannan tidak berkenan ketika ditanya hingga tiga kali minta balasan apa atas
berlian yang ditemukannya. Bagi Mbah Kiai Abdul Mannan, meminta sesuatu berupa
materi kepada sesama manusia adalah tabu karena hal ini sama dengan tamak.
Apalagi meminta balasan atas suatu kebaikan yang telah dilakukannya. Itu buruk
sekali.
Dalam ilmu tasawuf, seseorang dianjurkan
menjaga muruáh, yakni menjaga akhlak dari melakukan hal-hal buruk sehingga
tidak menampakkan kehinaannya. Meminta sesuatu yang bersifat duniawi kepada
orang lain sebagaimana dimaksud juragan batik kepada Mbah Kiai Abdul Mannan
untuk meminta balasan atas berlian yang ditemukannya bertentangan dengan
prinsip muruáh dan qanaáh yang dipegangi kuat-kuat oleh Mbah Kiai
Abdul Mannan. Untuk itu bisa dipahami mengapa Mbah Kiai Abdul Mannan menolak
dengan tegas hal seperti itu.
Demikianlah kisah ini berdasarkan penuturan
Mbah Ngismatun Sakdullah Solo-biasa dipanggil Mbah Ngis-kepada penulis beberapa
waktu sebelum beliau wafat pada tahun 1994. Mbah Ngis adalah salah seorang
putri Mbah Kiai Abdul Mannan. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama
Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar