Selamat
Datang, Ramadan
Oleh: A.
Mustofa Bisri
RAMADAN kali ini datang dalam suasana
dan situasi yang lain. Ramadan-Ramadan kemarin datang dan pergi seperti tidak
meninggalkan bekas. Seperti hal-hal rutin lain yang datang: kita sambut
seperlunya, kita rayakan, dan kemudian sudah.
Yang kita
katakan ’’Ramadan Suci’’, kesuciannya tak (banyak) mempengaruhi pribadi kita,
setelah pergi. Pribadi kita rata-rata tak terlalu berbeda dengan sebelum
kedatangannya.
Memang,
suasana kehidupan kita pada saat Ramadan kentara sekali berubah. Tapi
perubahan-perubahan rutin juga yang setiap tahun begitu-begitu saja.
Jadwal
makan yang biasanya di siang, menjadi malam hari dengan menu yang agak istimewa.
Kebersamaan kita tetap kebersamaan yang lebih bersifat seremonial. Tarawih,
tadarus, dan buka bersama.
Ini pun
harus bersaing dengan tontonan televisi yang disiapkan secara spesial.
Menyambut Bulan Suci dengan tayangan-tayangan semalam suntuk; untuk mengawani
dan menghibur mereka yang di siang hari berjuang melawan lapar dan haus.
Pendek
kata, keistimewaan Ramadan kemarin-kemarin justru lebih terlihat dari
’’kemeriahan’’-nya. Perbedaan lain –dibandingkan dengan kesibukan sehari-hari
sebelum Ramadan– ialah: jatah kebersamaan kita dengan keluarga relatif agak
lebih banyak.
Ramadan
demi Ramadan, yang selalu kita sebut sebagai bulan suci, kemarin datang,
umumnya tidak sampai kita cermati sebagai Saat anugerah Ilahi bagi penyucian
diri, khususnya penyucian batin. Sebelas bulan, kebanyakan kita boleh dikata
tidak pernah istirahat, sibuk dengan dunia kita dan sering kali kesibukan itu
tidak sempat terpikirkan manfaat-mudaratnya.
Sebelas
bulan, kebanyakan kita nyaris tidak pernah dengan sengaja bersendiri dengan
diri sendiri dan Allah untuk sekadar merenungkan apa yang sudah kita lakukan
–sebagai hamba mukmin– selama 11 bulan kehidupan kita bagi kepentingan kita
pribadi, terutama di alam keabadian kelak.
Jangankan
dengan diri dan Tuhan kita, dengan keluarga kita sendiri, banyak di antara kita
yang berjarak. Dunia dan duniawi benar-benar telah menyihir kita sedemikian
rupa, sehingga kita tak mampu lagi membedakan antara mana yang muhim (penting)
dan yang tidak; apa pula antara yang muhim dan yang aham (yang lebih penting)
bagi kepentingan hakiki kita.
Untunglah,
Allah begitu baik dan sayang kepada kita. Alih-alih Dia murka karena kita tak
juga mengindahkan ’’pelajaran’’ atau isyarat-Nya berulang-ulang untuk ’’membuat
jarak’’ dengan dunia yang menipu, Dia justru menolong kita dengan cara yang
unik. Menolong dan sekaligus memberi pelajaran yang dahsyat kepada kita.
Kalau
selama ini kita –yang sebenarnya diangkat menjadi khalifah-Nya, menjadi
penguasa dunia– justru seperti takluk dan tunduk di bawah kekuasaan dunia, maka
melalui makhluk-Nya yang mahalembut, Dia paksa dunia seisinya –termasuk kita
yang sok akbar– untuk berhenti berputar.
Kita
sendiri dipaksa membuat jarak dengan sesama makhluk, untuk dapat menyendiri
dengan Sang Khalik. Sesuatu yang mungkin luput dari pemahaman kita setiap kali
datang Ramadan selama ini; satu dan lain hal karena kita terlalu fokus pada
menahan lapar-haus dan pahalanya saja.
Kini
Ramadan datang dalam kondisi yang sangat membantu kita untuk sepenuhnya
menghayati kesuciannya. Bukan hanya menahan lapar di siang hari dan kemudian
kembali ’’ingar-bingar’’ di malam hari. Dalam kesenyapan dan kesendirian,
kesyahduan ibadah kita menjadi semakin terpusat.
Dengan
perhatian kita yang semakin sungguh terhadap kesucian raga, kita menjadi
teringat kepada pentingnya kesucian jiwa pula. Dengan ’’istirahat’’-nya dunia
dan kendurnya godaan segala yang bersifat duniawi, kita bisa lebih kondusif dan
khusyuk menyendiri dengan diri kita dan Tuhan kita. Dan kita bisa lebih fokus
kepada bagian kehidupan kita yang lebih hakiki dan abadi. Masa depan kita yang
sesungguhnya. Akhirat.
Selamat
datang, Ramadan. Semoga kedatanganmu kali ini lebih memberi manfaat dan
keberkahan kepada kita. Semoga kali ini kita –hamba-hamba yang daif ini– dapat
lebih mendahulukan hak Allah dan kewajiban kita daripada hanya mengedepankan
kepentingan kita sendiri. Semoga. []
JAWA POS,
23 April 2020
A. Mustofa
Bisri | Pengasuh Pondok
Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar