Apakah Boleh
Mengumandangkan Azan Shallu fi Rihalikum atau fi Buyutikum?
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online, sebuah video beredar yang
berisi kumandang azan dari sebuah masjid di Timur Tengah dengan lafal “Shallu
fi rihalikum.” Muazin dalam video ini meminta siapapun yang mendengar azannya
untuk melakukan shalat di rumah karena darurat Covid-19. Karena itu, sebagian
masjid di Indonesia juga mengumandangkan azan serupa. Pertanyaannya, apakah ada
keterangan mengenai masalah ini? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu
‘alaikum wr. wb.
Hamba Allah – Bekasi
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT
menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pada awal 2020, masyarakat dunia, tidak
terkecuali umat Islam, digemparkan dengan penyebaran Covid-19, sebuah virus
mematikan yang dapat menular melalui kontak langsung.
Umat Islam memutuskan untuk menghentikan
sementara ibadah yang dilakukan secara bersama-sama seperti ibadah shalat
Jumat, shalat berjamaah, dan peringatan keagamaan lain seperti haul, tabligh
akbar, isra mi’raj, dan lain sebagainya. Semua aktivitas ibadah terutama shalat
Jumat ditunda untuk sementara waktu, terutama pada zona merah Covid-19, dan
shalat berjamaah di masjid untuk dikerjakan di rumah.
Adapun soal penambahan atau perubahan lafal
azan, kita menemukan dalam hadits nabi pelbagai lafal serupa, yaitu shallu fi
rihalikum, shallu fi buyutikum, atau shallu fir rihal. Lafal tambahan atau
perubahan lafal ini dikumandangkan saat uzur hujan, angin kencang, atau uzur
lainnya.
Sahabat Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA
melafalkannya secara berbeda. Sahabat Ibnu Abbas menyisipkan lafal “shallū fir
rihāl” atau “shallū fī buyūtikum” sebagai pengganti seruan “hayya ‘alas
shalāh.” Sedangkan sahabat Ibnu Umar melafalkan “shallū fir rihāl” setelah
semua lafal azan dikumandangkan.
Ketentuan penambahan menurut Ibnu Umar RA
atau perubahan menurut Ibnu Abbas RA diangkat dalam fiqih mazhab Syafi’i antara
lain. Imam An-Nawawi mengulasnya dengan penjelasan yang hampir sama pada dua
kitab berbeda.
قوله
(العاشرة) قال الشافعي رحمه الله تعالي في آخر أبواب الاذان إذا كانت ليلة مطيرة
أو ذات ريح وظلمة يستحب ان يقول المؤذن إذا فرغ من اذانه الا صلوا في رحالكم قال
فان قاله في اثناء الاذان بعد الحيعلة فلا بأس هذا نصه وهكذا نقله البندنيجي وقطع
به وهكذا صرح به الصيدلانى وصاحب العدة والشاشى وآخرون ذكروه بحروفه التى نقلتها
واحتجوا له بالحديث الذى سأذكره ان شاء الله تعالي واستبعد امام الحرمين قوله في
اثناء الاذان وقال تغيير الاذان من غير سبب مستبعد ذكره في كتاب صلاة الجماعة وهذا
الذى استبعده ليس ببعيد بل هو الحق والسنة فقد ثبت ذلك في أحاديث كثيرة في
الصحيحين بعد الاذان وفي اثنائه
Artinya, “(Kesepuluh) Imam As-Syafi’i RA
mengatakan di akhir bab azan, jika malam hujan atau berangin dan gelap, muazin
dianjurkan menambahkan lafal “Alā shallu fi rihālikum” setelah menyelesaikan
lafal adzannya. Tetapi jika ia menyisipkannya setelah lafal hay‘alah (hayya
alas shalah dan hayya alal falah). Demikian nash As-Syafi’i. Nash ini dikutip
dan diputuskan oleh Al-Bandaniji. Demikian juga As-Shaydalani, penulis Kitab
Al-Uddah, As-Syasyi, dan ulama lain mengutipnya huruf per huruf persis seperti
yang saya kutip. Mereka berhujah dengan hadits yang insya Allah akan saya
sebutkan di depan. Imam Al-Haramain menganggap pendapat “disisipkan di tengah
azan” terlalu jauh. Menurutnya, perubahan atas lafal azan tanpa sebab itu
terlalu jauh sebagaimana disebutkannya pada bab shalat jamaah. Padahal pendapat
tersebut tidak jauh, bahkan benar dan sunnah sebagaimana didasarkan atas banyak
hadits pada riwayat Bukhari dan Muslim perihal penambahan lafal di tengah azan
berlangsung dan setelah azan selesai,” (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’, Syarhul
Muhazzab, [Beirut, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz III, halaman 119).
Pada Kitab Raudhatut Thalibin, Imam An-Nawawi
menjelaskan dengan uraian serupa. Di sini ia mengatakan bahwa penambahan atau
perubahan lafal azan tidak merusak azan, tentu sejauh ada uzur atau hajat yang
dibenarkan dalam syariat.
قال
في التهذيب لو زاد في الأذان ذكرا أو زاد في عدده لم يفسد أذانه… قال صاحب العدة
وإذا كانت ليلة مطيرة أو ذات ريح وظلمة يستحب أن يقول إذا فرغ من أذانه ألا صلوا
في رحالكم فإن قاله في أثناء الأذان بعد الحيعلة فلا بأس وكذا قاله الصيدلاني
والبندنيجي والشاشي وغيرهم واستبعد إمام الحرمين قوله في أثناء الأذان وليس هو
ببعيد بل هو الحق والسنة فقد نص عليه الشافعي رضي الله عنه في آخر أبواب الأذان في
الأم وقد ثبت في الصحيحين عن ابن عباس رضي الله عنهما
Artinya, “Dalam Kitab At-Tahdzib dikatakan,
seandainya muazin menambahkan zikir pada lafal azan atau menambah bilangan
lafal azan, maka tindakan itu tidak merusak azan…Penulis Kitab Al-Uddah
mengatakan, bila malam hujan, berangin kencang, atau gelap kelam, muazin
dianjurkan menambahkan lafal “Alā shallu fi rihālikum” setelah azannya selesai.
Tetapi jika ia menyisipkannya setelah lafal hay‘alah (hayya alas shalah dan
hayya alal falah), maka hal itu tidak masalah sebagaimana pendapat
As-Shaydalani, Al-Bandaniji, As-Syasyi, dan ulama lain. Imam Al-Haramain
menganggap pendapat terakhir terlalu jauh. Padahal pendapat tersebut tidak
jauh, bahkan benar dan sunnah sebagaimana nash Imam Syafi’i di akhir bab azan
Kitab Al-Umm. Pendapat ini didasarkan pada hadits Bukhari dan Muslim dari Ibnu
Abbas RA” (Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umadatul Muftin,[Beirut, Darul
Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz I, halaman 231-232).
Adapun berikut ini adalah hadits riwayat Imam
Muslim yang mengisahkan perintah Ibnu Abbas RA untuk menyisipkan “shallū fī
buyūtikum” sebagai pengganti seruan “hayya ‘alas shalāh.”
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ
إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي
بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ
مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ
وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata
kepada muazinnya pada hari hujan, ‘Bila kau sudah membaca ‘Asyhadu an lā ilāha
illallāhu, asyhadu anna muhammadan rasūlullāh,’ jangan kau teruskan dengan
seruan ‘hayya ‘alas shalāh,’ tetapi serulah ‘shallū fi buyūtikum.’’ Orang-orang
seolah mengingkari perintah Ibnu Abbas RA. Ia lalu mengatakan, ‘Apakah kalian
heran dengan masalah ini? Padahal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih
baik dariku. Sungguh Jumat itu wajib. tetapi aku tidak suka menyulitkanmu
sehingga kamu berjalan di tanah dan licin.’” (HR Muslim).
Adapun berikut ini adalah hadits riwayat Imam
Muslim yang mengisahkan kumandang azan Ibnu Umar RA untuk menyudahi seruan
azannya dengan “shallū fī rihālikum” karena pernah menyaksikan Rasulullah SAW
dalam suatu ketika meminta muazinnya berbuat serupa.
نَافِعٌ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ
وَمَطَرٍ فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا
صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ
أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Artinya, “Dari Nafi‘, dari Ibnu Umar bahwa ia
mengumandangkan azan pada malam yang dingin, berangin, dan hujan. Di akhir
adzan ia menyeru, ‘alā shallū fī rihālikum. Alā shallū fir rihāl.’ Lalu ia
bercerita bahwa Rasulullah pernah memerintahkan seorang muazin ketika malam
berlalu dengan dingin atau hujan dalam perjalanan untuk menyeru ‘alā shallū fī
rihālikum,’” (HR Muslim).
Demikian keterangan yang kita dapatkan
perihal penambahan atau perubahan lafal azan dalam situasi tertentu, termasuk
darurat penyebaran wabah Covid-19 pada awal 2020 ini.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar