Ramadhan di Saat Perang Badar
dan Fathu Makkah
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan umatnya menjumpai dua peperangan yang terjadi di bulan
Ramadhan; Waq’atul Badr (Perang Badar) dan Fathu Makkah (Pembebasan
Makkah). Kenyataan ini membuat kita menanyakan beberapa hal. Dari sekian banyak
pertanyaan, kita akan mengumpulkannya dalam tiga tema penting. Pertama,
apakah puasa Ramadhan telah disyariatkan ketika perang Badar terjadi? Kedua,
apakah Rasulullah dan para sahabatnya tetap berpuasa? Ketiga, apakah para
sahabat di sela-sela kesibukannya berperang masih mencari malam lailatul qadr?
Mari kita simak pembahasannya.
Pertama, puasa Ramadhan
mulai disyariatkan di tahun kedua hijriah, dan Rasulullah sepanjang hidupnya
bertemu dengan sembilan kali bulan puasa. Dalam catatan Imam Abu Ja’far
al-Thabari, puasa Ramadhan mulai disyariatkan di tahun yang sama dengan
diubahnya arah kiblat shalat, dari menghadap Baitul Maqdis (Yerussalem) ke arah
Baitul Haram (Ka’bah). Para ulama sepakat peristiwa tersebut terjadi di tahun
kedua hijriah, tapi mereka berbeda pendapat soal rincian waktu diubahnya
kiblat. Imam Ibnu Ishaq mengatakan, perpindahan kiblat terjadi di bulan Sya’ban
sekitar delapan belas bulan pasca-hijrah. Imam al-Waqidi mengatakan,
perpindahan kiblat terjadi saat dhuhur di hari Selasa di pertengahan bulan
Sya’ban. Imam Qatadah berpendapat, perpindahan kiblat terjadi enam belas bulan
pasca hijrah (Imam Abu Ja’far bin Jarir al-Thabari, Tarîkh al-Thabarî: Tarîkh
al-Umam wa al-Mulûk, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2011, juz 2, h. 18).
Perang Badar sendiri terjadi di bulan
Ramadhan, tahun pertama umat Islam diwajibkan berpuasa di dalamnya. Mengenai
hari atau tanggalnya, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpendapat,
“kânat waq’atu badr yauma tis’ah ‘asyar min syahri ramadlân—perang Badar
terjadi di hari ke sembilan belas bulan Ramadhan,” (Imam Abu Ja’far bin Jarir
al-Thabari, Tarîkh al-Thabarî: Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk, 2011, juz 2,
h. 19). Dalam riwayat lain dikatakan, “anna waq’ata badr kânat yaumal
jumu’ah shabîhah sab’a ‘asyrata min syahri ramadhân—perang Badar terjadi di
hari Jum’at pagi, (hari) ketujuh belas dari bulan Ramadhan,” (Imam Abu ‘Umar
Yusuf al-Qurthubi, al-Istî’âb fî Ma’rifah al-Ashhâb, Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiyyah, 2010, juz 1, h. 137).
Hal ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan telah
disyariatkan satu bulan sebelum perang Badar terjadi. Karena menurut banyak
riwayat, perang Badar terjadi di bulan Ramadhan, sedangkan syariat wajibnya
puasa turun di bulan Sya’ban. Imam Abu Ja’far al-Thabari menulis:
قال
أبو جعفر: وفي هذه السنّة فُرِض—فيما ذكر—صوم رمضان, وقيل: إنه فُرِض في شعبان
منها
“Abu Ja’far berkata: ‘dan di tahun
inilah—seperti yang disebutkan di atas—(mulai) diwajibkannya puasa Ramadhan.’
Dikatakan: ‘sesungguhnya puasa (mulai) diwajibkan di bulan Sya’ban dari tahun
(kedua) ini.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir al-Thabari, Tarîkh al-Thabarî:
Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk, juz 2, h. 18)
Kedua, ada banyak riwayat
yang membahas persoalan ini, salah satunya adalah (HR. Imam al-Tirmidzi):
عَنْ
ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ فَحَدَّثَ
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ غَزْوَتَيْنِ يَوْمَ بَدْرٍ وَالْفَتْحِ
فَأَفْطَرْنَا فِيهِمَا
“Dari (Sa’id) bin Musayyab, sesungguhnya
ia ditanya soal puasa di waktu perjalanan, lalu ia menceritakan (sebuah
riwayat) bahwa Umar bin Khattab berkata: “Kami berperang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallah di bulan Ramadhan sebanyak dua kali, yakni perang
Badar dan pembebasan Makkah, dan kami berbuka (tidak berpuasa) di kedua
peperangan tersebut.” (Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zâd al-Ma’âd,
Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994, juz 2, h. 52)
Riwayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah
dan para sahabatnya tidak berpuasa di saat berperang, baik di perang Badar
maupun Fathu Makkah (pembebasan Makkah). Meski demikian, ada riwayat lain yang
isinya sedikit berbeda. Berikut riwayatnya (HR. Imam Muslim):
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسِتَّ عَشْرَةَ مَضَتْ مِنْ
رَمَضَانَ فَمِنَّا مَنْ صَامَ وَمِنَّا مَنْ أَفْطَرَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ
عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Dari Abu Sa’id al-Khudri radiyallahu
‘anhu, ia berkata: “Kami berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pada tanggal enam belas Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa,
ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka,
dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.” (Imam Ibnu
Mulaqqin, al-Badr al-Munîr fî Takhrîj al-Ahâdîts wa al-Âtsâr al-Wâqi’ah fî
al-Syarh al-Kabîr, Riyadh: Darul Hijrah, 2004, juz 5, h. 716)
Dua riwayat di atas terkesan seakan-akan
bertentangan, padahal tidak. Keduanya memiliki objek pandang yang berbeda. Yang
pertama, menjelaskan apa yang benar-benar diamalkan Rasulullah, dan yang kedua,
menjelaskan realitas di kalangan sahabat yang tergabung dalam pasukan Islam.
Hal ini bisa diidentifikasi dari riwayat lain (HR. Imam Muslim) yang
menceritakan, ketika sampai di Kura’ al-Ghamim (tempat di antara Makkah dan
Madinah), rombongan (Fathu Makkah) kelelahan, sehingga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam meminta satu kantong air setelah shalat ashar dan
meminumnya di depan muka umum. Kemudian salah satu sahabat berkata kepadanya, “inna
ba’dlan nâs qad shâma—sebagian orang masih tetap berpuasa.” Rasulullah
menjawab, “ûlaikal ‘ushâh, ûlaikal ‘ushâh—mereka adalah orang yang
bermaksiat.”
Ini menunjukkan pentingnya menerima rukhsah
(keringanan) dari Tuhan dan tidak memberatkan diri sendiri, sampai
Rasulullah menggelari orang yang tetap berpuasa sebagai pelaku maksiat, tentu
saja tujuannya agar mereka semua berbuka. Dalam riwayat lain, Rasulullah
memerintahkan para sahabatnya secara langsung untuk berbuka, dengan tujuan
untuk memperkuat diri saat menghadapi musuh. Bisa dikatakan riwayat ini adalah
kelanjutan dari riwayat sebelumnya. Berikut riwayatnya (HR. Imam Muslim):
سَافَرْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَكَّةَ—يعني في
فتح مكة—وَنَحْنُ صِيَامٌ، فَنَزَلْنَا مَنْزِلا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّكُمْ قَدْ دَنَوْتُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ
وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ, فَكَانَتْ رُخْصَةً، فَمِنَّا مَنْ صَامَ، وَمِنَّا
مَنْ أَفْطَرَ، ثُمَّ نَزَلْنَا مَنْزِلا آخَرَ، فَقَالَ: إِنَّكُمْ مُصَبِّحُو
عَدُوِّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ، فَأَفْطِرُوا, وَكَانَتْ عَزْمَةً
فَأَفْطَرْنَا
“(Abu Sa’id al-Khudri berkata): “Kami
berpergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallah menuju Makkah—yakni
dalam tujuan pembebasan kota Makkah—dan kami berpuasa. Kami singgah di sebuah
tempat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
kalian telah dekat dengan musuh, dan berbuka lebih menguatkan kalian.” Ini
merupakan rukhsah (disepensasi/keringanan), karena itu sebagian dari kami tetap
berpuasa, dan sebagian lainnya berbuka. Kemudian kami singgah di tempat
lainnya, Rasulullah (kembali) bersabda: “Sesungguhnya kalian sudah berada di
depan musuh, dan berbuka lebih menguatkan kalian, maka berbukalah.” Dan ini
bukanlah rukhsah (keringanan/disepensasi), maka kami pun berbuka.” (Imam
Ibnu Mulaqqin, al-Badr al-Munîr fî Takhrîj al-Ahâdîts wa al-Âtsâr al-Wâqi’ah
fî al-Syarh al-Kabîr, 2004, juz 5, h. 720-721)
Di riwayat terakhir, Rasulullah meningkatkan
level urgensinya, yang semula rukhsah (dispensasi) menjadi perintah
(sebuah keharusan), sehingga semua sahabat membatalkan puasanya dan berbuka.
Setelah berhasil membebaskan kota Makkah,
Rasulullah memberikan amnesti kepada hampir semua penduduk Makkah, kecuali yang
terus melawannya. Beliau menghimbau para sahabatnya agar berlaku penuh kasih
dengan mengatakan:
لا
تُجْهِزَنَّ عَلَى جَرِيحٍ، وَلا يُتْبَعَنَّ مُدْبِرٌ. وَلا يُقْتَلَنَّ أَسِيرٌ،
وَمَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ
“Janganlah kalian menyerang orang yang
terluka, janganlah kalian mengikuti orang yang melarikan diri, janganlah kalian
membunuh tawanan, dan barangsiapa yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman.”
(Imam Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Futûh al-Buldân, Beirut: Maktabah
al-Hilal, 1988, h. 49)
Imam al-Waqidi berkata, pembebasan Makkah
terjadi pada bulan Ramadhan, tahun ke-8 hijriah, dan Rasulullah bermukim di Makkah
sampai hari raya Idul Fitri. (Imam Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Futûh
al-Buldân, 1988, h. 49).
Ketiga, para sahabat nabi
atau generasi pertama Islam memang generasi terbaik. Di saat genting dan
terpepet sekalipun, mereka tetap menjalankan ibadah sebagaimana mestinya.
Mereka tidak goyah dan takut dengan ancaman yang menghadang di depannya. Ini
ditunjukkan oleh banyaknya riwayat yang mengaitkan lailatul qadr dengan yaum
badr (hari perang Badar). Sayyidina Abdullah bin Mas’ud mengatakan:
إِلْتَمِسوا
لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تِسْع عَشرة لَيْلة من رمضان, فإنّها ليلةُ بَدْر
“Kalian carilah lailatul qadr di malam ke-19
bulan Ramadhan, karena sesungguhnya (malam ke-19) adalah malam perang Badar.”
(Imam Abu Ja’far bin Jarir al-Thabari, Tarîkh al-Thabarî: Tarîkh al-Umam wa
al-Mulûk, juz 2, h. 19)
Riwayat di atas menggabungkan lailatul
qadr dengan lailatul badr (malamnya perang Badar). Artinya, para
sahabat merasakan pengalaman spiritual di malam perang Badar yang mereka bawa
ke medan perang. Pengalaman spiritual ini yang membuat mereka meningkatkan
ibadah mereka di bilangan ganjil tertentu. Mereka mendasarkan pengalaman di
malam Badar sebagai ciri bahwa lailatul qadr tidak jauh dari sekitar itu.
Sayyidina Kharijah bin Zaid bin Tsabit menceritakan:
أنه
كان لا يُحْيِي ليلةً من شهر رمضان كما يُحْيي ليلة تسع عشرة وثلاث وعشرين, ويصبح
وجهه مصفرًا من أثر السهر, فقيل له, فقال: إن الله عز وجل فرّق في صبيحتها بين
الحق والباطل
“Sesungguhnya (ayahnya, Zaid bin Tsabit)
tidak menghidupkan malam di bulan Ramadhan seperti halnya ia menghidupkan malam
ke-19 dan ke-23, sampai terlihat pucat wajahnya karena tidak tidur.” Kemudian
seseorang mengatakan itu kepadanya, lalu ia berkata: “Sesungguhnya Allah Azza
wa Jalla telah memisahkan di antara yang hak dan yang batil di pagi harinya (malam
ke-19/ke-23).” (Imam Abu Ja’far bin Jarir al-Thabari, Tarîkh al-Thabarî:
Tarîkh al-Umam wa al-Mulûk, juz 2, h. 19)
Perkataan, “farraqa fî shabîhatihâ—telah
memisahkan di pagi harinya,” merujuk pada perang Badar. Karena di pagi harinya,
ketika perang terjadi, meski kalah jumlah dan perlengkapan, pasukan Muslim
berhasil mengalahkan tentara Quraisy. Anugerah dan nikmat ini (memenangi perang
Badar) dianggap oleh Sayyidina Zaid bin Tsabit sebagai salah satu pertanda lailatul
qadr. Karena itu, Sayyidina Zaid bin Tsabit akan menghidupkan malam ke-19
dan ke-23 melebihi malam lainnya. Tindakan semacam ini hanya mungkin dilakukan
oleh orang yang merasakan langsung pengalaman spiritual di malam perang Badar.
Dalam riwayat lain, Sayyidina Abdullah bin
Mas’ud menyarankan agar umat Islam mencari lailatul qadr di tanggal
ganjil seperti 17, 19, dan 21. Imam al-Aswad dan ‘Alqamah, bercerita, bahwa
Sayyidina Abdullah bin Mas’ud menafsirkan ayat (QS. Al-Anfal: 41): “yaumal
taqâl jam’âni—hari bertemunya dua pasukan,” sebagai “perang Badar.” Perang
Badar terjadi di sekitar tanggal ganjil yang disebutkan sebelumnya, sehingga ia
memprediksi lailatul qadr jatuh tidak jauh dari “yaum badr.”
(Imam Abu Ja’far bin Jarir al-Thabari, Tarîkh al-Thabarî: Tarîkh al-Umam wa
al-Mulûk, juz 2, h. 19).
Maka dari itu, kita harus bisa meneladani
para sahabat nabi. Mereka menjalani puasa Ramadhan di saat-saat sulit, meski
secara lahir mereka tidak berpuasa (berbuka), tapi secara hakikat, mereka terus
berpuasa. Artinya, dalam keadaan perang sekalipun, mereka mampu menahan diri
dari amarah, kebencian, dan kedengkian. Hal itu dibuktikan dengan perlakuan
mereka terhadap penduduk Makkah yang penuh kasih sayang. Misal pun ada yang
bersikap keras, nasihat Rasulullah seketika mengubahnya menjadi orang yang
pengertian. Ingat, pengendalian diri bukan melulu soal kemampuan mengendalikan
dirinya sendiri, tapi juga kemampuan menerima nasihat baik dari selainnya. Dan
itulah kenapa kita harus berpuasa. Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah,
Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar